Ibuku adalah
seorang warga masyarakat kampung yang jarang sekali mengikuti pengajian yang
diadakan di lingkungan sekitar. Ibuku bukanya tidak mau, namun kesibukan
dirumah membuatnya tidak bisa pergi kemana-mana. Bayangkan saja, beliau harus
mengurusi masak untuk seluruh anggota keluarga, kadang-kadang juga untuk
pekerja yang sedang mengurus sawah, ngurusin Simbok (red:Nenek) yang sudah
tidak bisa apa-apa, dan juga Pak Uwo (red: Kakek) yang masih sehat fisiknya
namun tak mau mandi jika tidak dimandiin, dan tidak mau makan kalau tidak
dilayani. Dalam sehari semalam pun waktu
kadang terasa kurang. Dan waktu yang tersisa hanya untuk tidur malam saja.
Aku? Yah, aku
pergi pagi, pulang malam.
Hari Ahad
kemarin, 9 Agustus 2015, Bapakku menyindir Ibuku gegara Ibu melakukan sedikit
kesalahan bersikap kepada tetangga. Bapakku mengatakan bahwa kesalahan bersikap
itu adalah akibat dari tidak pernahnya Ibu mengikuti majelis taklim. Bapak
adalah model bapak jaman dahulu yang mungkin belum paham bahwa akan salah satu kewajiban
seorang suami untuk mendidik istrinya. Maka, bapak memarahi ibuk sebagai wujud
dari didikanya.
Ibuk pun tidak
terima tiap waktu didiemin Bapak gara-gara tidak mau ikut pengajian. Akhirnya,
hari Ahad kemarin, ditengah-tengah keasyikanku makan kue maryam yang kubeli di acara car-free
day di Jl. Pemuda Klaten, Ibuku pun menyeletuk “Ayok, kancani bue pengajian nang Jatiwiro”.
Ngek. Rasanya tidak ada alasan aku untuk menolaknya. Tidak
baik. Aku sudah berazam untuk merubah sikapku kepada Ibukku untuk tidak marah-marah dan akan melakukan
segala perintah yang diutus. “Oke”,
itulah jawabanku.
Cap cis
cus. Sampailah kami ke sebuah acara pengajian di kampung yang beratribut
ijo-ijo dan sedikit ada putihnya. Acara pengajian ini diadakan setiap hari Ahad
legi di beberapa tempat berbeda di
Kecamatan kami. Rebana dan sholawatan adalah salah satu kekhasan
irama yang digunakan selama acara berlangsung. Ibuku tau acara ini karena
beberapa hari sebelumnya salah satu pengurusnya berbelanja ke warung Ibu untuk
membeli bahan-bahan dasar membuat snack. Aku pun masuk dan bersalam-salaman
dengan jamaah pengajian disana.
Haha, that’s predictable. Isinya mak-mak,
bapak-bapak, dan anak-anak kecil yang ngintil orang tuanya. Ada gap. Tidak ada
pemuda atau remaja disana. Ups ada dink. Aku
dan juga pemain-pemain rebananya.
Aku dan Ibu
datang agak telat, jadi kami lumayan menarik perhatian jamaah, apalagi kami
langsung disuruh menempati tempat duduk paling depan. Wiiing, acaranya sungguh
berbeda dengan acara-acara pengajian yang sering kuikuti di kampus. Acara
pertama dibuka dengan pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an oleh seorang Ibu yang
cantik dan lembut namun lengan bajunya tersingkap sampai siku dan juga konon kata
Ibuku si Ibu Pembaca Al-Qur’an tersebut ditinggal mati suaminya dengan
meninggalkan tiga orang anak. Setelah itu, dilanjutkan dengan membacakan
doa tahlil untuk para tokoh-tokoh pendiri jamaah, dan ulama-ulamanya, serta
para tokoh penting di setiap kelurahan di kecamatan kami. Beuuuh. Sembari
mereka membacakan nama-nama itu, aku pun asyik nge-googling tentang hukum
tahlilan sebenarnya seperti apa sih. Maklum, selama ini masalah itu pro-kontra,
aku tak pernah melirik untuk mendalaminya. Baru hari itu aku tertarik untuk
melirik sedikit lewat laman www.rumahfiqih.com. Dan,
jawabannya pun kudapat. Sampai akhirnya aku selesai nge-googling, nama-nama
lelulur itu pun belum selesai disebut. Kwkwkwkw.
Acara tahlilan
pun dimulai. Sama-sama yang dibaca, bisa jadi sampainya juga akan beda-beda.
Tergantung niat bukan? Mereka berniat mendoakan leluhur mereka, aku berniat
untuk berdzikir. Lumayan, banyak wirid yang kusuka disana, salah satunya adalah
Istighfar dan Asmaul Husna. Aku berusaha berdamai dengan perbedaan yang ada.
Never mind. Inilah caraku belajar tentang kehidupan. Kuak-kuak-kuak.
Setelah tahlil
selesai, ada sambutan dari seorang ketua panitianya yang sudah sepuh serta
murah senyum dan juga bapak Camat yang baru. Hey hey, selama 25th aku tercatat
sebagai penduduk kecamatan itu, baru kali ini ku lihat tampang pemimpin ku itu
yang mohon maaf sekali kurang bagus dalam berpidato. Kemana aja
bapak-bapak camatku selama ini? Kecamatan kita mah kagak luas –luas amat,
sering-sering berkunjunglah ketempat para rakyatmu pak, seperti yang bapak
lakukan hari itu. Hehe. (Semoga harapanku ini terdengar bersama angin, kwkwkw).
Horas Pak!
Setelah cuap-cuap
berakhir, masuklah ke acara inti, yakni tausiyah oleh Sang Ustadz dengan topik
yakni Silaturahim. Maklum, momenya masih syawal. Well, it’s also predictable
about the content. Yakni, isinya nanti pasti akan membawa tawa yang menggelegar
dari para jamaahya. See. Belum lama, baru beberapa menit tawa para jamaah sudah
terdengar. Ya, ustadznya sangat kreatif. Beliau menggunakan media wayang untuk
menyampaikan isi materinya. The whole content adalah tentang beberapa contoh
sikap-sikap orang yang tidak mau silaturahim, dan juga orang yang suka
silaturahim. Tidak ada dalil, atau perkataan sahabat siapa gitu. Yang ada
hanyalah cerita tentang fenomena-fenomena sosial yang berkaitan dengan
silaturahim. Itulah kekhasan lain pengajian di jamaah ini. Dan masyarakatku
menyukai hal itu, kontentnya ringan dan disambungkan dengan realitas-realitas
sosial yang sering dijumpai disekitar. Maka, isi pengajianya akan impactfulkepada para jamaahnya. Kereen kan. Ibuku sepertinya menikmatinya, dan aku pun
juga menikmatinya, bukan isinya, namun menikmati untuk menganalisis situasi.
Azan dhuhur
berkumandang, dan selesailah acara. Kubawa lah bungkus snackku tadi untuk
dibuang ditempat sampah. Namun, apa yang terjadi, tidak ada tempat sampah, dan
para jamaah lain meninggalkan sampahnya begitu saja ditempat mereka duduk.
Kufikir, nanti akan ada panitia yang akan membersihkanya. Ya sudahlah, aku pun
juga demikian, meninggalkan itu sampah di tempat dudukku tadi.
Sampai rumah,
maka aku menguraikan analisasaku tentang apa yang telah kulihat dalam acara
pengajian tersebut.
Aku adalah seorang
muslim yang pernah mengikuti suatu jamaah tertentu. Aku suka nilai-nilai yang
dibawanya. Meskipun aku mengikuti prinsip-prinsip jamaah tertentu, maka aku
berjanji dalam diri sendiri untuk berpandangan luas dan tidak menjelek-jelekkan
golongan yang lain. Aku sungguh sangat menghindari untuk menganggap bahwa
golonganku adalah golongan yang paling benar. Tidak. Bukan itu. Manusia
diciptakan beragam, begitu pula Islam itu. Beragam pula golongan-golongan
sesuai dengan jalan fikiran yang di-approved asalkan satu yang dipegang adalah
prinsip-prinsip Islam yang fundamental yakni Al-Qur’an dan Al-Hadist yang
menjadi dasarnya.
Meskipun aku
mengikuti suatu jamaah tertentu, aku tidak membatasi diri untuk mengikuti
kajian dari jamaah yang lain. Menurutku, inilah salah satu caraku untuk tumbuh
menghargai perbedaan. Kita melihat mereka tidak dari media tulisan dan
omong-omongan saja, namun terjun langsung untuk mengetahui sendiri ada apa
disana. Asal tidak sering-sering untuk mengikutinya, hanya tempo-tempo saja.
Namun, catatan dariku adalah, hampir disemua lintas pengajian jamaah, ada isi
menjelek-jelekkannya. Ini terkadang yang membuatku tidak nyaman. Pfft.
Yang kedua adalah
tentang prinsip-prinsip Islam yang dibawa dalam jamaah. Aku sangat sepakat
dengan perkataan Sekjen MUI Indonesia, Ust. Bachtiar Natsir yang dengan
pendirian teguhnya untuk tetap memilih pemimpin Muslim yang memperjuangkan
tegaknya syari’at Islam di muka bumi ini. Aku tidak sependapat dengan
perkataannya ketua panitia pengajian yang kuikuti hari itu yang mengatakan
bahwa yang penting adalah karya untuk menjadi pemimpin, meskipun dia bukan
muslim. Innalilahi.
Yang ketiga
adalah tentang cara menyampaikan risalah (red:dakwah). Berbeda sasaran dakwah,
tentunya berbeda pula caranya. Sang Ustadz di acara pengajian itu menggunakan
media wayang dimana wayang itu sendiri sangat dekat dengan kehidupan masyarakat
jawa. Sangat kreatif. Beliau juga menggunakan cerita untuk lebih banyak memikat
para sasaran dakwah. Dan, cara beliau menyampaikan ceramah mungkin akan sangat
wordless ketika dibawa kepada audience di kota Yogyakarta agak pinggiran
(red:Sleman) dimana masyarakatnya menyukai isi ceramah yang padat dengan ilmu
pengetahuan.
Yang terakhir
adalah tentang kebersihan dan kerapian. Islam itu adalah agama yang bersih dan
menyukai kebersihan. Untuk itulah bab taharah adalah ilmu yang dipelajari
pertama kali ketika mempelajari hukum fiqih. Sangat disayangkan ketika ada
pengajian, namun sandal-sandalnya berantakan, sampah berserakan kemana-mana,
merokok tak kenal tempat, dan kamar mandi baunya tak tertahankan. Kita ini
adalah seorang agent muslim yang menjadi respresentatif akan Islam. Jika kita
berantakan, dan kumuh, maka orang lain akan memandang kita buruk juga. Ini
bukan soal tidak peduli dengan “apa kata orang”, namun ini sudah berbicara
tentang nilai-nilai prinsip beragama Islam.
*namun akhirnya
sampai keesokan harinya, sampah itu tetap berserakan di tempat tersebut, dan
aku adalah salah satu penyumbang kekotoran tersebut. Hehehe.
Akhirnya, sebuah
perjalanan melihat dunia yang berbeda adalah sangat berharga. Berharga untuk
pertumbuhan kita, dan berharga untuk masa depan generasi. InsyaAllah.
Astaghfirullah. Alhamdulilah.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar