I got all I
need when I got you and I
I look around
me, and see a sweet life
I’m stuck in
the dark but you’re my flashlight
You’re
getting me, getting me through the night
(Jessie J)
Lagu berjudul
Flashlight yang dibawakan oleh Jessie J memang sedang menjadi top song bagi
para penggemar musik barat akhir-akhir ini. Beat musiknya cukup ampuh untuk
mengolah rasa para pendengarnya bersemangat dan bergairah. Aku memasukkan lagu
tersebut kedalam playlist-ku untuk menemani keseharian pekerjaan kantoran yang
rasanya seperti daun sirih (sssttt…off the record yak). Pertama kali
mendengarkan lagu, maka alunan musiknyalah yang menjadi daya pikatnya. Baru
setelah berhari-hari mendengarkanya, aku biasanya akan mencari tau makna dari
lagu tersebut.
In my opinion, lagu tersebut
adalah sebuah ungkapan kebersyukuran karena seseorang telah menemukan cahaya
yang selama ini ia butuhkan untuk menemukan kehidupan yang lebih indah setelah
dia terperangkap dalam kegelapan. Cahaya dalam lagu tersebut kemungkinan adalah
seorang partner hidup (red:belahan hati).
Speaking of flashlight,
aku kemudian teringat akan pertanyaan salah seorang guruku pada suatu hari.
Beliau tertiba menanyakan,”Kapan kamu merasakan seperti terlahir kembali
dan menjadi seperti ini?”. Dengan kata lain, beliau menanyakan kepadaku apa yang
membuatku berubah dari kehidupan yang
dulu ke jalan kehidupan yang sekarang. Dengan kata yang lebih sederhana lagi
adalah kapankah titik balik itu dirasakan. Titik balik dari jalan yang
tersasar, ke jalan yang sudah semestinya dilalui. Titik kembali kepada Tuhanku
dengan hati yang rida dan diridaiNya (Al Fajr: 28).
Rasanya sudah lama
sekali aku tidak ditanyai seperti itu. Dulu, ketika ada orang lama yang bertemu
denganku, maka mereka pasti akan menanyakan apa yang membuatku berubah. Dan
obrolan itu pastilah akan menghabiskan waktu sampai larut malam jika aku
menceritakaanya sampai detail. Kemarin, jawabanku kepada guru ngajiku hanya
kujelaskan secara singkat. Namun, kali ini aku ingin menuliskannya kembali
perjalananku menemukan flashlight-Nya.
Kelas tiga SMA, aku
masih diamanahi untuk menjadi bendahara kelas. Uang yang harus aku bawa jumlahnya
selalu banyak, dan semua orang pasti tau kalau tiap hari aku membawanya ke
sekolah. Pada suatu pagi, sebelum aku pergi ke lapangan untuk mata pelajaran
kesehatan jasmani dan rohani, kusempatkan mengambil uang pribadiku di dompet.
Disana ada sejumlah uang LKS sebanyak 400an ribu lebih sedikit.
Setelah olahraga
selesai, aku pun masuk ruangan kelas kembali untuk mengambil baju ganti. Ketika
mengambil baju dari tas, tak sengaja lambaikan bajuku membuka kancing dompetku
sehingga aku bisa mengetahui isi dompet. Bisa menebak bukan apa yang terjadi? Yup,
benar sekali. Uangnya hanya tersisa 30rb. Kemudian kemana yang lainya? Aku tak
tau. Aku hanya bisa terpaku dan membeku waktu itu, ditambah dengan cucuran air
keluar dari mataku. Tak ingin banyak orang yang tau tangisanku, aku pun lari
mencari tempat yang sepi sampai jam pulang. Kenapa aku menangis? Karena aku
yakin bahwa uang tersebut hilang dan ada yang mengambil. Kemungkinan terbesar
yang mencuri adalah warga sekolah. But who? Bagaimana bisa tega mencuri uang
anak sekolah? Bagaimana aku dapat mengetahui pelakunya? Kalau tidak ketemu,
bagaimana aku akan mengembalikan uangnya?
Aku mengalami shock
berhari-hari setelah kejadian tersebut. Otakku ruwet. Hatiku tak tenang. Melihat kedepan, sepertinya
sangat gelap dan buntu. Pihak sekolah tidak bisa apa-apa karena semua itu
adalah kesalahanku sendiri, ceroboh. Keluargaku menyalahkanku dan tidak mau
membantu. Aku pun tidak mempunyai
tabungan sama sekali. Sampai berada di titik terlemah, selepas pulang sekolah
dan sholat dhuhur, aku menangis tersedu-sedu (lagi). Aku menangis tapi aku tak pernah
memohon bantuanNya. Sampai akhirnya aku
melirik di atas lemariku, ada Al-Qur’an yang sudah berdebu. Sudah lama aku
tidak membacanya, dan hari itu, aku memulai lagi untuk membacanya. Sampai pada
ayat Hasbunallah wa nikmalwakil, nikmal
maula wa nikmanashir, my load on the shoulders, heart, and mind as if it
was gone. Tubuhku menjadi
sangat ringan. Hatiku damai tiada terkira. Aku telah menemukan titik terang,
bahwa yang akan membantuku adalah Only Him, My Creature.
Hore, aku pun bersorak.
Setelah sepekan menunggu, hari pertolongaNya pun tiba. Saat itu ketika pelajaran
sedang berlangsung, Dimdim, ketua kelas yang duduk dibelangkau, memberikan kode
untuk memperhatikan kawan yang duduk di depanku, si Sandi. Aku pun menuruti
perintah Pak Ketua Kelas. Si Sandi mulai memperlihatkan gerak-gerik aneh.
Mukanya makin tidak enak untuk dilihat. Gerak-gerik tubuhnya pun semakin tidak
tenang. Tanganya sepertinya sedang sibuk di laci meja. Pandangan mataku
mengikuti gerakan tanganya. Perlahan, tanganya masuk ke tas teman sebangkunya
yang ada di laci bawah meja. Perlahan, aku lihat jarinya mengeluarkan selember
uang 100rban dari tas itu.
Dan, kejadian itulah
yang membuatku menyadari bahwa He exists. Allah benar-benar ada dengan segala
yang disifatkanNya. Kemudian, perenungan mendalam setelah kejadian itu pun
berlanjut. Bahwa Allah sudah memberikanku everything,
layaknya orang tua yang mengasuhku, maka kemudian apa yang sudah kuperbuat
untuk menyenangkanNya? Di Al Qur’an (lagi), aku menemukan bahwa Allah hanya
ingin kita taat. Kemudian aku mencari lagi regulasi-regulasi yang ditetapkanNya
itu apa saja. Solat, puasa, sedekah, membaca Al-Qur’an sudah kulakukan (meski
belum berkualitas). Selanjutnya, di dalam Al Qur’an juga, aku menemukan
perintah untuk berjilbab. Dulu, aku punya fikiran, jilbab itu hukumnya wajib.
Berarti sama dengan solat, kalau tidak berjilbab, maka dosa. Hmm, akhirnya aku
mencari-cari jilbab yang dimaksudkan untuk dikenakan oleh wanita menurut Al Qur’an
itu seperti apa sih. Jaman dulu belum akrab dengan internet, maka aku pun ke toko
buku untuk mencari buku yang bisa menunjukkan jalan terang padaku tentang
jilbab. Ketemulah sebuah buku berjudul “Jilbab Pertamaku” karangan mbak Asma Nadia.
Aku mendalami isinya, dan langsung bertekad akan mengenakanya ketika aku sudah
berjilbab nanti. Tidak seperti kaum Anshor yang ketika ada perintah menggunakan
jilbab, maka mereka langsung menyobek kain seadanya untuk menutupi auratnya.
Aku terjebak sistem perekonomian keluargaku. Keluargaku tidak begitu sepakat akan
keputusanku mengenakan jilbab, dan tidak memberikanku uang untuk membeli baju penutup aurat. Akhirnya, aku putuskan ketika kuliah semester satu, bismillah
berjilbab.
Dari situlah,
petualangan spiritualku dimulai. Berlari kesana dan kemari. Jatuh bangun itu
pasti. Melakukan kesalahan dan kekhilafan sudah jelas sering terjadi. Terseok-seok
dan termehek-mehek menjadi makanan sehari-hari. Namun, disitulah nikmat akan
terasa. Nikmat bercakap-cakap dan bersandar kepadaNya. Nikmat kebahagiaan karena
sudah menemukan titik terang untuk jalan menuju pulang.
P.S.
Ketika membuat tulisan
ini, aku juga sedang bercakap online dengan kawan SMA yang tempat duduknya di
sebelah Sandi. Di akhir pembicaraan, dia mengakatan, “Kamu kan sudah baik Tam”.
Aku tidak meresponnya directly, namun dalam hatiku berucap, “proses untuk
menjadi baik itu tidak akan pernah berhenti”.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar