Suami Seakidah

Bismillah.
Sabtu lalu ada teman saya menginap di rumah. Sebut saja namanya Anastasia. Orangnya pinter. Dari sejak SD hingga kuliah, dia selalu menjadi juara. Dia suka mengobrol. Kalau mengobrol denganya, pasti sudah sampai mana-mana. Ga kenal waktu. Bisa sampai subuh begadangnya. Seru deh pokonya.

Namun, ada yang membuat saya rada terhenyak pada obrolan kemarin. Tiba-tiba dia mengatakan seperti ini, "Aku ga suka kalau apa-apa langsung dikaitkan dengan azab. Ada gemba, dikira azab. Ada tsunami, dikira banyak orang lupa diri."

Hmmm, berbeda dengan keyakinan saya sih. Ya dari segi science, gempa itu sudah menjadi gejala alamiah. Namun, dibalik itu, saya tetap meyakini bahwa an earthquake is a warning for human being.

Saya ga ambil pusing dengan pendapat teman saya tadi. Wong dia hanya teman saya. Ga hidup serumah. Ga sering WAnan. Beda akidah ya tidak masalah.

Yang saya kemudian berfikir adalah tentang suami. Suami itu kan belahan hati yak. (Kwkwkwkw).
Suami itu adalah harapan untuk membimbing kita menuju surgaNya. Sampai mati ya cuma sama dia. Saya berharap suami dan saya mempunyai akidah yang sama. Kita sama-sama menjadikan Allah sebagai tujuan akhir hidup ini. Kita sama-sama mengerjakan perintahNya dengan maksimal (dengan guideline Al Quran dan Sunnah). Pun juga berjuang untuk tidak melakukan apa yang dilarang.

Ada teman saya namanya Kiki. Dia sadar betul bahwa orang yang beriman itu pasti diuji. Therefore, pas sebelum nikah, harapan dia adalah begini "Apapun masalah yang dihadapi nanti, aku pengenya dihadapi berdua sama suamiku. Tidak satu-satu".

Teman saya bernama Dita mengatakan begini, "Sepasang suami istri itu adalah ibarat satu team. Mereka harus kompak."

Allhualam.

Be First to Post Comment !
Posting Komentar