Mereka tertawa sore itu. Bebas
dan lepas. Aku sempat tertegun melihat tawa pecah mereka. Setelah 8 bulan
bersama, baru kali ini kulihat rona bahagia itu. Aku pun ikut lega dan gembira
tentunya. Itulah tujuanku selama ini. Menjadi jembatan untuk anak-anak agar
gembira ketika belajar. Aku ingin mereka senang belajar. Antusias dengan ilmu.
Suka membaca buku. Berani bertanya untuk apapun yang tidak tahu. Meskipun ini
jamanya sudah maju, tapi untuk yang hidup di desa juga sama saja. Pendidikan
masih menjadi hal yang kurang untuk diperhatikan dan dimaksimalkan.
Di tengah tawa mereka,
tiba-tiba ada satu pertanyaan lewat di telingaku, “Apa yang membuatmu melakukan
semua ini?”. Mataku rasanya hangat. Ada air yang memaksa untuk mengalir.
“Kesedihan”. Tanpa sempat berkoordinasi dengan otak, hatiku mengatakan itu.
Seketika. Mungkin itulah kejujuran dan yang sebenarnya terjadi. Hatiku mungkin
sudah lelah untuk ditutup-tutupi keasliannya. Sesak dia harus dibungkam setiap
harinya. Karena otak lalai, sore itu, dia memilih untuk jujur. Ya, kesedihan
yang membuat aku memulai semua ini, Rumah Belajar untuk anak-anak pedesaan.
8 bulan yang lalu, di sebuah
rumah kecil di desa, aku menangis. Aku sedih melihat kondisi dan nasibku.
Tertinggal daripada yang lain. Semua sudah berlayar dan mengarungi samudera,
aku masih duduk bengong di dermaga hingga semakin hari semakin tua. Tidak
mempunyai daya untuk bangkit dan mulai membuat rakit. Hanya bisa merebahkan
tubuh dan menutup mata ketika kenyataan jelas-kelas di depan mata. Hatiku
sangat rentan. Dan ketika terbangun, aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya.
Aku biarkan air mataku jatuh berlinangan. Aku
biarkan tangisku terisak. Aku
berikan ruang untuk diriku melakukan itu.
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil
berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun
rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil
menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk
memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja
sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu
pagi
.
Sampai
pada detik kesekian, aku pun tenang kembali. Aku ingin berubah. Aku ingin
hidupku lebih bermanfaat. Dengan modal seadanya, keesokan harinya, aku mengumumkan
kepada tetanggaku bahwa aku menyediakan waktu untuk membantu mengajari
anak-anak belajar. Alhamdulilah, respon positif diberikan pada program
tersebut. Awalnya hanya empat orang yang hadir, alhamdulilah sekarang sudah
sampai 8 orang.
Dan
kesedihan tidak selamanya buruk. Allah menghadirkan kesedihan untuk kita
melesat lebih tinggi. Di balik kesedihan ada kekuatan yang ternyata Allah sudah
siapkan untuk kita. Alhamdulilah tsumma Alhamdulilah.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar