#2011
#Yogyakarta
Beberapa waktu yang lalu sahabatku, bernama Dita mengajakku untuk belajar merajut. Kebetulan dia baru tahu kalau temanya yang bernama mbak Niniek juga sedang belajar merajut. Yang benar saja, dalam hatiku. Mbak niniek merajut?? Ternyata benar, mbak niniek merajut dan ngakunya merajut adalah untuk teman menggosip. Haha…lucu kali alasan itu.
Kalau aku sih
menerima tawaran Dita untuk belajar merajut karena aku ingin membuat kaos kaki
untuk ponakanku Al. Biar terkesan berharga dan penuh perjuangan ketika
membuatnya. Tapi sebenarnya biar ngirit sih. Selain itu, aku juga pengen punya
kebisaan, meskipun hanya merajut. Namun seiring bergantinya jam, ada lagi
alasanku belajar merajut yakni karna arti kata merajut sendiri. Selama ini para
pujanggis-pujanggis atau puitiorpuitior sering menggunakan kata merajut dalam
syair-syair ataupun puisi-puisi mereka. Nah, aku sendiri pun juga pernah
menggunakan kata itu untuk sebuah perumpamaan. Namun, aku sebelumnya belum
pernah merasakan bagaimana sih merajut itu.
Pagi itu,
setelah kami pulang dari belajar merajut, aku pulang. Kucoba-coba lagi merajut.
Kuposisikan benang pada posisi yang nyaman, kukaitkan satu tali ke tali yang
lain. Baris pertama memang gampang, yang sulit hanyalah yang awalan saja yakni
pada bagian menyimpulkan. Hati-hati sekali untukku mengkaitkan satu benang ke
benang berikutnya. Kemudian, langkah mau menuju baris yang kedua. Ini
menggunakan tali ganda, yang ini lebih rumit dari yang baris pertama tadi.
Pelan-pelan kucoba memasukkan benang kedalam lubang yang sangat kecil. Sulit.
Namun, kuterus-terus merajut saja. Namnya juga permulaan. Ketika aku melihat
seluruh rajutanku yang masih berupa
garis lurus, agak kecewa karena tidak begitu rapi, namun juga bangga karena aku
bisa merajut.
Disitu, aku bisa
merefleksikan merajut dengan sebuah kehidupan. Jika dalam produk asli merajut
adalah tas, syal, kaos kaki, namun dalam kehidupan hasil dari merajut adalah
persahabatan, cinta, dan kesuksesan. Yang dirajut bukanlah benang, melainkan
waktu. Persahabatan menjadi persahabatan karena rajutan waktu-waktu yang ada.
Aku dan dita, tidak menjadi sahabat hanya dalam sekali jepret saja. Namun, kami
merajutnya selama bertahun-tahun. Kami sering mengalami masa-masa sulit ketika
ego kami sama-sama tidak mau mengalah, ketika kami tidak mampu mengontrol
emosi, dll. Namun, kami berusaha untuk menahan itu semua, mengatur itu semua.
Akhirnya, kami sekarang bisa menyebut hubungan kami adalah persahabatan.
Cintaku padaNya adalah rajutan dari kumpulan waktu-waktu. Kurajut cinta padaNya
dengan solat-solatku, tilawahku, dan kesabaranku. Tidak jarang aku memberontak,
tidak jarang aku tersungkur. Namun, semakin banyak kesulitan itu, rajutanku
semakin kuat.semakin kuat.
Benang rajutanku masih sisa banyak lho tam, dulu gak sempet nglanjutin hehe..
BalasHapus