“Miss
Tami Jahat”, ucap Moses sambil berbalik menjauhi saya. Perkataan salah satu
murid saya itu membuat saya sangat kaget. Belum pernah ada yang mengatakan hal
yang demikian pada saya dan saya sebaliknya belum pernah menghukum siswa hingga
mereka mengatakan bahwa saya jahat.
Semester
baru saya awali dengan semangat baru untuk mengajar. Saya bertekad untuk
menjadi seorang guru yang ekstraordinari bagi anak didik saya. Saya mengingat
ingat kekurangan cara mengajar saya di semester sebelumnya, saya membaca banyak
jurnal, dan saya mendaftar permasalahan permasalahn yang terjadi di semester
sebelumnya. Kemudian, saya mencoba menyusun rencana belajar untuk beberapa
pertemuan kedepan sekaligus membuat media dengan peralatan sederhana yang saya
punya. I am on my mood dan berusaha untuk semangat serta tersenyum menghadapi
anak anak. Dalam keyakinan saya, energi positif pasti akan menular.
Great.
Kuawali pertemuan pertama dengan vocabulary game. Semua kelas sangat senang.
Termasuk kelasnya Moses. Pada pertemuan berikutnya sudah mulai untuk materi.
Waktu itu kupilih pelajaran listening (mendengarkan) untuk menjadi skill
pertama yang diajarkan. Karena tidak ada sambuangn listrik di kelas kelas, maka
saya memilih teknik dictation yakni dengan guru membaca kemudian siswa
mencatatnya. Hari yang full pelajaran, panas yang terik, dan perut yang
keroncongan. “No excuse”, tekad saya dalam hati. Saya harus tetap semangat
mengajar mereka.
Panjang
kalimat yang di dekte adalah satu paragrapah yang terdiri dari 6 baris. Dan
saya harus mengulangi setiap katanya kadang 5 sampai 6 kali. Perlu diketahui,
disemester sebelumnya, saya tidak pernah marah. Ketika siswa tidak mencatat,
maka saya memberi kebebasan mereka untuk memilih tinggal di kelas dengan
mencatat, atau tidak mencatat namun harus meninggalkan kelas. Namun, jika
peraturan itu tidak dipatuhi, maka ya sudah saya tetap mengijinkan mereka di
kelas. Saya masih tetap berangapan bahwa mereka mungkin akan menyerap apa yang
saya sampaikan meski tidak mencatat. Namun, sepertinya anggapan saya tersebut
tidak cocok untuk diterapkan di murid murid sini.
Hari
itu saya marah melihat murid murid saya di kelas tidak mencatat. Saya merasa
mereka kurang menaruh hormat kepada gurunya. Seorang Guru sudah berteriak
teriak lantang berusaha agar murid muridnya mendengar dan jelas, serta menulis
di papan tulis, namun semua hal itu tidak dihargai. Mereka tidak menghargai
guru dan ilmu pengetahuan. Padahal, saya diberi tugas pula untuk menanamkan nilai
kehormatan tersebut pada siswa. Akhirnya raut muka saya berubah. Saya menyuruh
lima orang anak yang tidak mau mencatat keluar kelas. Mereka boleh masuk hanya
ketika sudah menyalin paragraph yang saya tulis tadi sebanyak 20 kali dan harus
mengahadap wali kelas mereka. Mereka senang kalau disuruh keluar kelas. Hari
berikutnya mereka belum menulis 20 kali juga. Sampai pada pertemuan keempat.
Dalam hati saya terus berdoa semoga ketika mereka menulis, paling tidak mereka
mengenal dan hafal bagaimana cara penulisan kata kata itu dalam bahasa inggris.
Dikelas
yang lain juga, ketika tidak membawa buku bahasa inggris, maka mereka harus
menulis sebuah paragraph sebanyak 10 kali.
Oh
God. I really hope this will work. I don’t know how to face them anymore.
Apakah saya mengajar dengan keras? Saya kira tidak. Saya hanya mencoba untuk
tegas dengan mereka dan membuat mereka merasa memiliki ilmu. That’s all.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar