Salah satu kesulitan bagi beberapa orang adalah mendeskripsikan masalanya
sendiri. Otaknya tertalu rumit, sehingga kata kata yang keluar pun ikut ikutan
rumit. Termasuk aku. Aku adalah salah seorang yang rumit mendeskrisikan
kesulitan kesulitan dalam diriku. Apalagi yang berkaitan dengan masalah
psikologis. Jadi, aku membenarkan general
characteristic dari Blood B, bahwa tipe golongan B adalah dia tidak mau
berpusing pusing dengan masalah, dia lebih baik mengacuhkan masalah tersebut,
dan mengatakan “I am good”.
Namun, kali ini aku ingin belajar untuk mendecompose masalah psikologis yang sedang aku alami hari ini, 29
Maret 2015. Karena, tantangan kedepan, aku akan menjadi manusia bermasyarakat
yang berhubungan dengan banyak orang, yang akan menghadapai masalah, dan yang
akan memecahkan masalah itu secara bersama sama dengan the one who I live with.
Umurku sekarang 25 tahun, dan aku belum bekerja. Aku baru saja lulus dari
program profesi guru pada tanggal 28 Februari 2015 lalu, jadi genap satu bulan
aku tidak mempunyai status. Setiap ditanya dengan orang orang yang tidak
bertemu lama, “Sekarang kamu dimana? Kerja apa?”, aku dengan memaksa untuk
tegar menjawab, “Aku dirumah. Sedang mencari kerja. Dirumah membantu ibu.”.
Namun, dalam kurun waktu sebulan itu, aku tidak selamanya bisa untuk selalu
tegar. Tepat di akhir bulan ini, harus kuakui I am down. My head is
spinning when I am thinking about the future. Hari ini, 29 Maret 2015, aku merasa sangat
tertampar ketika bapakku menawariku uang saku, untukku jalan ke Jogja. Kemarin,
ibuku masuk kamarku dan bertanya, “Wis
duwe dit durung nggo tuku kado?”. Hey, umurku 25, dan aku masih minta duit
orang tua. Sebelumnya, aku merasa tidak apa apalah untuk meminta duit orang
tua, toh mereka seneng seneng aja, yang penting aku juga seneng. Namun, hari
ini, 29 Maret 2015, aku berfikir dengan cara yang lain. Tidak selamanya aku
tidak membandingkan diriku dengan yang lain. Tidak selamanya aku hanya akan
mengejar kebahagiaan diri. Terkadang, kita perlu untuk membandingkan. Sekali
waktu, kita perlu untuk tidak berbahagia. Tidak usah lama lama, sebentar saja. It is not because I am strong or whatever
but because this is a part of life. Dan aku mulai terbandingkan dengan
mereka yang di umur 25 sudah mempunyai karya kemana mana, sudah mempunyai karir
yang bagus, sudah mempunyai keluarga yang kompak, sudah menjelajahi berbagai
macam negara, sudah menguasai berbagai macam kertampilan, dan sudah melakukan
banyak pengabdian kepada masyarakat luas. And,
what about me? Even now, I don’t now what i want to be. The worst time in a
life is when there is no clarity about what you live for.
Seketika aku mencapai puncak saat saat terlemahku, aku memutar otak untuk
mengatasinya. Pusing sekali. Urat urat pundak dan leherku menegang. Badanku
mendadak sangat panas.
I am in a trouble so I have to fix
it. Aku menyadari bahwa kedepan
aku juga akan mengalami kondisi seperti ini lagi, lemah semangat, bosan, dan
merasa terpuruk.
Jadi begini, sangat wajar ternyata mengalami masa masa terpuruk, apalagi di
umur umur 25an. Dalam ilmu psikologi, ini dinamakan sebagai a quarter of life’s fear. Di salah satu
situs-stratejoy.com-,menyatakan bahwa the
quarterlife crisis is a real experience of women in their twenties and early
thirties. Dan tanda tandanya adalah you
feel disconnected from your life and confused about your next steps, you’re
disappointed in your day-to-day but overwhelmed by all the possibilities out
there, you panic when you think about everything you were supposed to do by age
30, you’ve run out of milestones to hit (graduate! Get a job) and aren’t sure
what comes next.
Kemudian, setelah aku menyadari akan apa yang terjadi dalam diriku, aku
mulai berusaha untuk mengatasinya. I need
motivation. Maka, pertama pertama
yang kulakukan pasti adalah mengadukan masalahku pada Tuhan. Aku solat. Aku
menangis. Aku memohon. Aku membaca kalamNya. Dan tidak hanya berdoa saja,
karena Allah tidak ingin semua masalah selesai dengan berdoa, namun harus ada
action/usaha/ikhtiar . Ada novel yang belum kubaca. Judulnya adalah Ranah 3
Warna by Ahmad Fuadi. Maka kubacalah novel tersebut. Baru mendapat 25 halaman,
kepalaku sudah mulai pusing. Bukan karena susah, namun aku tertampar karena
deskripsi kisah perjuangan Alif mengejar cita citanya tembus UMPTN, dimana ia
harus mengurung diri dikamar selama dua bulan untuk mempelajari 3 bukit buku
pelajaran. Heh, wow sekali perjuanganya! Wow sekali mimpinya!
Yeah, aku tidak boleh bermalas malasan. Ketika aku kehilangan mimpiku, maka
aku harus mencarinya lagi. Aku harus mengusahakanya. Aku ingin mempunyai
pekerjaan yang baik dan berkah dan bergaji tinggi, maka aku harus belajar
mengasah ketrampilanku. Aku perlu banyak membaca dan latihan. No pain no gain. Mereka yang sudah
mencapai mimpinya hari ini, pastilah sudah berusaha mati matian lebih dulu, di
saat mungkin waktu itu aku masih bersenang senang tidak berguna.
Ketika “the downs” datang, maka aku perlu untuk menulis dan mencari
solusinya. Menulis itu mampu untuk mengurai benang benang rumit yang ada dalam
kepalaku. Aku mencari beberapa artikel tentang a quarter of life crisis. Dan
akhirnya kembali menyadari bahwa hal itu sekali lagi wajar. Maka, aku hanya
perlu untuk bersabar.
And, I feel better now, four hours
after the spinning head moment.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar