People change, and their perspective
either. Begitu pula dengan
saya. Bebberapa tetangga saya di kampung
memilih untuk tidak melanjutkan jenjang sekolah namun melanjutkan bekerja di
negeri orang. Berbagai alasan mereka ucapkan. Pengen kaya, tidak punya duit
untuk sekolah, ingin jalan jalan, dan lain lain. Tetapi bagi saya, mereka
hanyalah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang malas untuk berusaha
bersekolah, ingin dapat uang banyak dalam waktu singkat, ingin naik pesawat,
dan ingin bisa membeli ini itu. Tambahan lagi, mereka hanyalah orang orang yang
tidak dapat membuat Indonesia ini lebih maju dan baik di mata negara asing,
karena mereka harus keluar negeri untuk menjadi buruh pabrik, atau bahkan
(hanya) menjadi seorang pembantu rumah tangga.
Namun, segala cara pandang saya tersebut ditampar oleh kisah seorang anak
yang bernama Fendi. Dia adalah salah
satu tetangga saya dikampung yang menjadi seorang buruh pabrik di negara
tetangga. Sebagai warga negara yang baik, dia berusaha menyelesaikan pendidikan
wajibnya hingga tingkat STM. Tidak ada sama sekali dalam planning hidupnya
untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi. Alasan klasik, tidak ada biaya dan
sudah tidak kuat untuk berfikir. Orientasi dia setelah lulus hanyalah bekerja
dan bekerja. “Aku mau bekerja aja mbak. Aku mau ke Malaysia”, ucap Fendi 3
tahun yang lalu kepada saya. Otak saya memberikan respon spontan terhadap
statement tersebut. Underestimate seperti biasanya.
Tiga tahun berjalan begitu cepatnya. Saya diberi kesempatan bertemu dengan
ibunya Fendi. Si Ibu bercerita bahwa dia baru saja pulang dari mengembalikan
hutang kepada tetangganya. Tiap bulan Si
Ibu mendapat kiriman uang dan khusus ditujukan untuk melunasi hutang hutang
keluarga yang menumpuk. Kecaman sosial menjadi makanan keluarga Si Ibu setiap
harinya. Namun hari itu beliau bisa berucap “Alhamdulilah”. Fendi masih harus
bekerja disana lebih lama lagi karena rumah di kampung sudah reyot mau ambruk,
dan belum mempunyai WC sendiri. Dan tentunya, Fendi juga masih harus menanggung
kehidupan dua adiknya yang masih bersekolah.
Hari itu adalah titik balik cara pandangku terhadap seorang TKI. Mereka
tidak ada pilihan lagi ditengah tengah kondisi ekonomi dan kecaman sosial yang
mengimpit keluarganya. Pergi keluar negeri, menjadi buruh, mendapat gaji, dan
hutang lunas adalah hal mendesak yang harus segera dilakukan. Mengingat hutang
adalah hal yang panas, sebelum nyawa dicabut, sesegera mungkin hutang harus
dilunasi.
Mungkin saja, si Fendi tidak pernah berkeinginan untuk menjadi TKI. Menjadi
TKI berarti dia harus hidup berlama lama juah dari keluarga, menyimpan rindu
tiap harinya, berusaha bertahan untuk hidup di negeri orang, dan mengurus
segala kebutuhanya sendiri. Jika masih bisa memilih, pasti menjadi TKI sudah
dicoretnya pertama kali.
Terimakasih Fendi sudah untuk indirect
advicemu yang membukakan kacamata saya untuk lebih memberikan respect
kepada para TKI.
Kaum TKI adalah bukanlah orang orang terpinggirkan dari kehidupan sosial
ini. Mereka sebenarnya adalah seorang petarung hidup sejati. Mereka adalah pahlawan
untuk kelangsungan hidup keluarganya. Mereka pun juga adalah seorang pelajar
kehidupan.
#Tulisan Ini Diikutsertakan Lomba Blog Buruh Migrant Indonesia Bersama Melanie Subono
Be First to Post Comment !
Posting Komentar