Allah
mempertemukan untuk satu alasan.
Entah untuk
belajar atau mengajarkan
Entah hanya
untuk sesaat atau selamanya
Entah akan
menjadi bagian terpenting atau hanya sekedarnya
Akan tetapi,
tetaplah menjadi yang terbaik di waktu tersebut
Lakukan dengan
tulus
Meski tidak
menjadi seperti apa yang diinginkan
Tidak ada yang
sia-sia
Karena Allah
yang mempertemukan
(A Quote)
Seorang teman bernama
Mbak Puri dari Malinau sering memajang quote tersebut di PP (Profile Picture)
WA ataupun BBMnya. Ketika melihat tulisanku itu, fikiranku kemudian
mengingat-ingat akan beberapa pertemuan dengan orang-orang yang tidak
disangka akan dipertemukan dengannya. Salah satunya adalah seorang teman sewaktu
tinggal di Jogja dulu, Yessy Triana.
Yessy Triana adalah
wanita yang sangat unik dan aneh menurutku. Bisa juga dibilang langka. Ya,
selangka golongan darah yang dia punyai, AB.
Saat itu kami sama-sama
tinggal di satu asrama mahasiswi, dan kami berasal dari dua kampus yang berbeda.
Awalnya, aku hanya mengenal Yessi dari kejuahan. Bagiku, dia adalah otaknya
sebuah gengs. Kamarnya adalah ibarat markas. Ketika malam, aku sering mendapati
markas tersebut dikunjungi banyak orang untuk berbincang, berdiskusi, tertawa
terbahak-bahak, dan bahkan menyanyi bersama. Kalau aku lewat, aku enggan
menyapanya. Baru ketika Yessy sendirian, aku sedikit mau untuk berkata, “Hi
Yessong”. Dia pun membalas, “Hi Temcong”.
Begitulah awalnya.
Hingga sampai tahun kedua hidup berasrama, pengelola asrama memutuskan untuk
mensatukamarkan aku dan Yessy. “What?”, “Is
it real?”, “Atas pertimbangan apa?”, begitulah kira-kira gemuruh hatiku
kala itu.
Kami pun pindahan. Aku
menyuruhnya menyuruh tempat tidur duluan. Sudah kuduga, pasti dia memilih
ranjang yang di bawah. Baiklah, aku yang diatas. Aku dan dia sama-sama bukan
tipe perempuan miskin barang. Kamar bagi kami adalah tempat dimana semuanya
harus ada. Jadi, bisa dikatakan, kamar aku dan Yessy waktu itu adalah kamar
yang mewah dan penuh dengan barang. Sungguh, apapun ada. Cemilan harus ada.
Lemari pakaian Yessy aja dua. Bukunya dan bukuku juga ga kalah banyak. Kipas
angin, kamar kami ada dua pula.
Bagaimana dengan
markas? Apakah juga berpindah? Seperti yang kubilang di awal, di balik muka
jutek dan errornya Yessy, dia itu seperti otaknya gengs. Markasnya pun
berpindah ke kamarku. Aku, yang notabenya suka ketenangan, sangat terganggu
dengan kelakukan Yessy. Tiap hari, ketika pulang kuliah di malam
hari, waktu dimana aku biasanya butuh ketenangan untuk belajar, dia dan
teman-temannya malah mengobrol di kamar Multazam 8, kamarku dan Yessy. Aku yang
saat itu dan sampai sekarang belum bisa menjadi seorang asertif pun hanya
dongkol dalam hati, “IIh, ini anak dimana sih rasa emphatinya?”, “IIh, dasar
kagak punya toleransi”, “iiih, rasanya pengen berteriak kemukanya sambil
berkata,”pergi””.
Aku mencoba
memperlihatkan raut muka ku yang marah. Bersikap judes sama dia. Berharap dia
sadar diri. Namun, apa coba? Aiiih, inilah letak ke-unikan Yessy. Dia bukan
manusia normal. Normalnya manusia itu kalau di sindir, atau di kasih perubahan
sikap, maka dia akan cepat merasa. Namun Yessy? Dia tidak merasa. Kata-kata
sindirian pun tak mempan untuk dia, apalagi aku yang kala itu hanya menggunakan
sindiran sikap. Capek sendiri aku jadinya. Boros perasaan betul waktu itu aku
menghadapi Yessy.
Belakangan ku ketahui
bahwa ternyata Yessy itu memang orang yang tidak kodal dengan yang namanya sindiran. Kalau mau menegurnya, maka ya
harus berkata-kata langsung di depanya. Dia makhluk berlogika, dan aku makhluk
berperasaan. Itulah satu alasanku dipertemukan dengan Yessy, untuk belajar
menyeimbangkan antara perasaan dan logika. Darinya aku belajar untuk tidak baper. Darinya aku belajar untuk tidak
banyak memendam perasaan hingga membusuk di hati. Darinya aku belajar untuk mengkendorkan
otak yang suka tegang dan spaneng.
Kwkwkwkw.
Setelah satu tahun
sekamar dengan Yessy, kami pun berpisah. Kami ngekost ditempat yang
berbeda. Rasanya waktu itu aku belum begitu dekat dengan Yessy, jadi ketika
berpisah dengannya pun, aku merasa biasa saja, tidak ada rasa kehilangan.
Bahkan aku merasa lega dan senang. Hahahaha.
Sudah tidak satu
asrama, sudah tidak satu kampus, sudah tidak satu organisasi, namun kenapa
waktu itu aku masih suka main ketempat kostnya Yessy? Waktu itu Yessy satu kost
dengan teman satu gengnya, Kiki dan Mba Ndi. Arrgh, entahlah, yang kuingat
waktu itu, ketika aku bertemu dengan Yessy, palingan cuma janjian makan. Makan
pun kalau aku sama Yessy aja berdua juga tidak jalan, karena aku sejatinya
tidak banyak bercerita dengan Yessy. Praktis kami waktu itu belum begitu akrab
juga, namun kenapa aku sama Yessy masih juga sering main bareng? Arrgh,
entahlah. Tapi Yessy itu mempunyai kekayaan kosakata lucu yang melebihi
kosakatanya Dodit, peserta stand up comedy. Ketika aku mendengar celotehnya,
aku bisa tertawa terbahak-bahak. Jika aku menyaksikan dia memaki-maki orang
yang memang sudah seharusnya dimaki-maki, inginku rasanya tertawa
terguling-guling. Berada di dekat Yessy itu, hidup menjadi indah dan tidak ada
beban. She brings happiness. Eaaaaa.
Waktu berjalan, dan
kondisi financial kami semakin menipis. Umurpun
bertambah, namun tidak dengan penghasilan di dompet. Tidak mampu lagi membiayai
kost yang lumayan mahal. Akhirnya, Yessy dan Avis (teman satu gengnya juga)
kost berdua dalam satu kamar. Aku tidak
ngeKost karena kesibukanku di jogja tidak terlalu padat. Akhirnya, kalau
aku ke Jogja, maka aku akan menginap di kamar Yessy dan Avis. Tidak hanya aku
saja ternyata, teman Yessy yang lain pun juga sering menjadikan kost Yessy-Avis
itu sebagai rumah persinggahan. Sampai akhirnya, rumah kost itu dijuluki
sebagai Rumah Singgah.
Rumah Singgah itu ada
pada tahun 2014. Berarti aku sudah kenal Yessy selama 4 tahun. Waktu itu umur
kami 25. Aku teringat akan perkataan seorang kepadaku, “Tami, di umur-umur kita
sekarang ini, bukan lagi masanya mencari sahabat, namun yang mesti kita lakukan
adalah menjaga sahabat yang sudah kita miliki”. Perkataan itu sampai pada
telingaku ketika aku masih di asrama bersama Yessy, jadi mungkin sekitar umur
kami 21-22 tahun. Yah, itulah kemudian yang menjadi prinsipku untuk bersahabat
dengan Yessy. Tidak peduli seberapa sebal aku dengan Yessy, aku telah mendaulat
dia menjadi sahabatku, jadi aku akan tetap menjaganya untuk menjadi sahabatku.
Di Rumah Singgah itu, persahabatanku
dengan Yessy mungkin mulai erat. Aku mulai menceritakan sedikit dari rahasia
hidupku. Yessy pun juga mulai menceritakan hal-hal privasi dari dirinya. Namun,
aku dan Yessy, kami tidak pernah membicarakan tentang lelaki yang pernah
singgah di hati kita (wakawakaka). Itulah susahnya bergaul dengan orang
bergoldar AB, tidak pernah sekalipun aku bisa mengetahui kisah asmaranya.
Bahkan sampai sekarangpun, aku tidak pernah tau kehidupan romantikanya Yessy. Pffft.
Kalau semasa di asrama,
aku belajar menyeimbangkan antara logika dan perasaan, di Rumah Singgah itu,
aku sedikit belajar untuk menjadi seorang yang asertif. Aku adalah orang yang
suka mengalah, tidak ada daya untuk melawan. Aku susah untuk berkata “tidak”. Sedangkan
Yessy adalah kebalikanya. Pernah suatu ketika Yessy gemes melihatku aku selalu
mengalah. Dia sering melihatku disuruh-suruh teman temanku yang lain. Akhirnya
suatu ketika, dia bilang padaku, “Ah Tam, kamu itu jangan mau disuruh kayak
gitu. Itu bukan tugasmu. Biarkan dia kerjakan sendiri tugasnya”. Aku yang waktu
itu pusing mengerjakan tugas itu, rethinking, “Benar juga kata Yessy yak.
Kenapa aku capek-capek fikiran mengerjakan tugas yang seharusnya tidak aku
kerjakan. Kenapa juga aku tidak menolak tawaran pekerjaan itu”. Seketika waktu
itu, aku mengambil handphone, dan kukirim pesan kepada temanku bahwa aku tidak
mau mengerjakan tugasnya.
Woaaah..itu seperti bom
waktu untukku. Aku bisa berkata setegas itu. Aku bisa menolak. Aku bisa
mengatakan “tidak”. Rasanya aku telah membunuh satu beruang ketakukan dalam
diriku. Rasanya aku telah berhasil melewati satu tangga yang begitu tinggi dan
terjal. (Aaah, lebai yak? Abaikan
saja..kwkwkw).
Dan sekarang, di tahun
2015 ini, aku dan Yessy benar-benar terpisah fisik jarak jauh. Umur kami sudah
26 (ngapain sih bawa-bawa umur), dan
kami kembali di daerah kami masing masing. Yessy di Kalimantan, aku di Jawa.
Kami sekarang sudah ada kedalam tahapan kehidupan mandiri financial. Dunia kita
sekarang adalah dunia pekerjaan. Dan persaudaraan aku dan Yessy sekarang masih
juga tidak rengang. Meskipun komunikasi tulis kami tidak sesering dulu, kami
masih sering menceritakan hal-hal pribadi kita, namun tetap bukan masalah
asmara. Meskipun kadang dua pekan tidak bertegur sapa, namun aku merasa
masing-masing diri kita sering menyapa satu sama lain di dalam doa.
Ah, memang benar, kita
dipertemukan untuk suatu alasan.