“Dan di bumi ini terdapat
bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan
pohon kurma yang bercabang dan yang tidak bercabang, disiram dengan air yang
sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebagian yang lain
tentang rasannya. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.”
(Qur’an Ar Ra’d: 4)
Beberapa
teman mengatakan bahwa beberapa postingan di facebook itu bagaikan non-renewable
digital garbage. Maka, postingan-postingan itu ibarat sampah yang tidak
berguna dan malah membuat penyakit. Contohnya, ada seseorang A memosting foto
pernikahanya di facebook dengan wajah
gembira dan berseri-seri. Disisi lain, ada seorang B yang melihat postingan si
A tersebut, kemudian tanpa pikir panjang, si B meng-unfriend si A, dan meng-deactivate
akun facebook-nya dan berakhir dengan
penyakit trauma yang berkepanjangan akan facebook.
(Info: si A ini dulunya adalah kekasih si B, dan si A masih berstatus bujang
ketika melihat foto pernikahan si B. hihi).
Ada pula orang yang terserang penyakit buruk
sangka ketika melihat postingan teman-temannya yang sedang liburan keliling
negeri. Dikiranya teman-temanya itu sedang pamer dan mempopularitaskan diri (wakaka, padahal faktanya iya). Usut di
usut, ternyata tipe orang ini adalah mereka yang terjebak pada tugas
skripsi/thesis yang belum kelar, dan kondisi saldo di rekening hampir gulung
tikar. Jadi, sebenarnya mungkin tipe orang semacam ini adalah tipe orang yang
berpenyakit iri.
Namun,
disisi lain, ada banyak orang yang menganggap bahwa personal post di facebook itu
adalah a box of ideas. Ada yang
sedang mengupload foto hasil masakanya, kemudian membuat si viewer ketularan ingin masak. Ada yang
mengunggah fotonya sedang bermain alat musik organ, dan user facebook
lainya terinspirasi untuk mengisi waktu luangnya dengan mempelajari bermain organ. Ada yang sedang membagikan cerita
tentang kerepotannya mengasuh anaknya yang kemudian membuat silent reader-nya mempunyai pandangan
baru bahwa urusan mengurus anak itu tidaklah mudah.
Apapun
itu, lakukanlah apa yang mampu membuatmu merasa sakinah dan bahagia, dan
tentunya Tuhanmu ridho melihatnya. (Apasih,
koq ga nyambung gini).
Well, mari kita balik ke alur cerita yang seharusnya
disampaikan. Jadi ceritanya, pada suatu hari di bulan November 2015, aku
melihat postingan seorang di facebook yang
membuatku sepakat 100% dengan apa yang beliau kemukakan. Well said, couldn’t agree anymore lah pokoknya. Apakah aku
mengenalnya dalam dunia nyata ataukah hanya mengenalnya di dunia maya? Aah, emangnya beliau itu adalah Benedict
Cumberbatch? Tentulah aku mengenalnya. Nama akun facebooknya adalah Bapak
Muhammad Gunawan. Photo profile-nya adalah beliau bersama seorang bidadari
surganya (hayo Tami, jangan nglantur
kemana-mana). Beliau ku kenal saat aku belajar hidup di Malinau. Bapak
Gunawan mengatakan bahwa dengan mendidik anak-anak untuk berkebun, maka mereka
akan belajar untuk menjadi generasi yang menghargai proses dan generasi yang
tidak cengeng.
Aha moment ku pun akhirnya terjadi kembali. “Aha, that’s absolutely right, pak Gun”,
respon reflekku kala itu. Namun, sebenarnya aku tidak tau detail bagaimana Pak
Gunawan akhirnya bisa menyimpulkan hal demikian, bahwa bertanam itu adalah
latihan untuk menghargai proses. Aku hanya kemudian teringat akan satu
pengalaman bertanamku, dan juga pemaparan beberapa tokoh yang menggunakan
filosofi bertanam untuk memaknai kehidupan.
Sembari
menunggu ketetapan Tuhan akan waktu yang tepat untuk bertemu dengan my partner (malah curhat), maka aku biasanya menghabiskan pagi di akhir pekan
dengan menanam. Kali ini, aku belajar untuk menaman aneka sayuran yang nantinya
akan menunjang my healthy life program.
Aku memulai dengan memindahkan sayuran keningkir yang ada di sawah bapak ke polybag
yang telah kupersiapkan di depan rumah. Ketika kupindah di pagi harinya, siang
sampai malamnya, keningkir segar itu menjadi layu. Dari jendela kamar, aku
memandangi keningkir itu dengan perasaan takut dan was-was, apakah mereka akan
mati? Keesokan harinya, bangun tidur langsung kubuka jendelaku untuk memastikan
keadaan keningkir-keningkir itu. Alangkah bahagianya perasaanku kala melihat
batang-batang kecil keningkir yang sudah berdiri tegak dan gagahnya. Mereka
terlihat segar seperti sedia kala.
Entah
kenapa waktu itu, aku kemudian kefikiran tentang salah satu moment hidup. Tentunya kita pernah
dipaksa untuk berpindah tempat bukan? Dan biasanya, berada di tempat baru itu
cukup menguras banyak tenaga dan fikiran kita. Tak jarang kita pun merasa sedih,
suntuk, dan layu seperti keningkir itu. Namun, day by day, dengan kesabaran akan waktu, keberadaan kita ditempat
baru tersebut akan dirasa lebih banyak manfaatnya daripada berada di tempat
yang lama. Ya, benar, dari keningkir aku belajar bahwa untuk berpindah (red: change, hijrah), kita mesti memang harus layu.
Next, aku pun juga teringat akan kisah tanaman yang
diceritakan oleh bapak Jamil Azzaini di salah satu episode Kick Andy. Bapak
Jamil Azzaini ini dulunya adalah anak dari keluarga petani yang sangat miskin
dan sering dihina oleh masyarakatnya. Jamil kecil sering membantu ayahnya
menanam jagung di ladang. Ketika melubangi tanah untuk meletakkan benih jagung,
ayahnya selalu bertutur, “Jamil, jagung itu harus kau tutup dengan tanah agar
tidak dimakan burung atau ayam. Ketika benih jagung itu sudah tertutup tanah,
maka dia harus menaggung beban tanah yang menimbunya. Tetapi, karena kau tutup
itulah jagung akan tumbuh kemudian berbuah”. Sambil terus menanam jagung, ayah
Jamil melanjutkan ceritanya. “Hidup kita saat ini seperti bibit jagung yang kau
tutup tanah, tinggal di tengah hutan dan susah. Tapi ketahuilah anakku, suatu
saat nanti kau akan tumbuh menghasilkan buah yang enak dimakan. Jadilah kamu
bibit yang baik, bertahan dan bersabarlah atas segala kesulitan yang datang.
Bila jagung sudah tumbuh nanti harus kau siram dan kau pupuk. Begitu pula
hidupmu, anakku. Saat nanti kau sudah besar dan berhasil, kau harus tetap
disiram dan dipupuk. Siramilah kehidupanmu dengan surat-surat dari Tuhanmu.
Bacalah kitab-kitabNya agar kehidupanmu selalu segar. Rendahkanlah dirimu agar
air itu datang menghampirimu karena tabiat air mendatangi tempat yang rendah.
Pupuklah kehidupanmu dengan cara bersahabat dan bergaul bersama orang-orang
yang sholeh dan baik. Perlakukan mereka seperti kau memperlakukan saudaramu
sendiri. Kadang-kadang pupuk kandang itu aromanya tak sedap tetapi itu
menyuburkan tanah tempatmu tumbuh. Nanti kau akan bertemu dengan teman yang
mengkritik dan menyakitimu, anggaplah itu sebagai pupuk kandang buatmu”. Hmm,
indah sekali bukan nasehat ayahnya Jamil? Good things take time.
Selain
pak Jamil, ada juga sebuah fanspage Whitehole Asia yang membandingkan antara
tumbuhan paku dan tumbuhan bambu. Pada suatu hari, ada seorang pemuda yang
menyerah dari usahanya yang dilakukan dengan keras. Kemudian, Sang Pencipta
membawanya ke sebuah hutan.
“Apakah
kamu melihat tumbuhan paku dan bambu di sebelah sana?”, Tuhan bertanya.
“Ya”,
jawab pemuda tersebut.
“Aku
memberinya air dan sinar matahari”, Dia berkata. “Dan Aku pula yang menanam
keduanya”, Tuhan menambahkan.
Pada
bulan pertama, sebuah tunas kecil keluar dari tumbuhan paku. Dan dalam satu
tahum, tunas kecil itu menutupi seluruh tanah hutan. Pada tahun kedua, paku
tersebut tumbuh lebat dan mewarnai seluruh isi hutan menjadi hijau. Namun
sebaliknya, tidak ada yang terjadi pada tumbuhan bambu. Pada tahun ketiga,
tetap tidak ada secuil tunas pun yang tumbuh dari bambu. Pada tahun keempat, sebuah
tunas kecil pun muncul dari bumi. Tunas tersebut terlihat kecil dan pertumbuhannya
tidak signifikan.
Tumbuhan
paku tumbuh semakin lebat, namun tumbuhan bambu masih tidak tampak sama sekali.
Beberapa
bulan setelahnya, tumbuhan bambu tumbuh hingga mencapai ketinggian 10 kaki.
Tumbuhan bambu tersebut membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menumbuhkan akar
yang ada dibawahnya. Akar tersebut membuat bambu kuat dan memberikan apa yang
dibutuhkan untuk bertahan. Sekarang, tumbuhan bambu tersebut menjulang tinggi
di hutan tersebut.
Tuhan
kemudian berkata kepadaku, “I will never quit
on the bamboo.” “I will never quit on you.”
Jadi,
dari pohon bambu pun aku diajak belajar akan sebuah semangat untuk terus
berjuang. Tuhan itu menghitung usaha kita, dan tidak akan menyia-nyiakan usaha
kita. Proses usaha itu lama karena Tuhan ingin melihat kita menjadi pribadi
yang kuat di dalam. Proses yang lama itu akan membuat diri kita menjadi seorang
yang indah dan penuh bermanfaat untuk banyak orang. Tuhan menghitung, dan pada
suatu saat Tuhan pasti akan berhenti menghitung.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar