9 Desember 2015 akan diadakan pilkada serentak seluruh Indonesia untuk memilih bupati dan wakil bupati. Perhelatan perayaan demokrasi ini pun sudah pastinya akan di barengi serangkaian acara kampanye terbuka para calon. Berbagai strategi kampanye dilakukan untuk menarik simpati dan dukungan masyarakat, mulai dari pemasangan gambar mereka di setiap sudut kota, penyebaran leaflat, direct selling, hingga gembar-gembor sepeda motor.
Kubaca
di surat kabar lokal bahwa dari 3 pasangan calon bupati dan wakil bupati di
daerahku, kesemuanya belum ada yang mendaftarkan untuk kampanye terbuka.
Padahal hanya masih tersisa empat hari saja. Menurut penulis artikel di surat
kabar tersebut, kampanye terbuka adalah sarana efektif untuk para calon untuk
memperkenalkan diri mereka kepada masyarakat. Aku sepakat dengan penulis
tersebut sebab banyak kudengar dari keluargaku mengeluhkan bahwa mereka tidak
pernah tau menau akan calon pemimpin yang akan mereka pilih. Kalau
masyarakatknya tidak kenal kepada para calon pemimpinnya, bagaimana nanti
mereka akan mencintainya?
Tetapi,
keesokan harinya, berarti H-3, suara gembar-gembor
sepeda motor terdengar sampai rumahku. Seperti biasanya, mereka melakukan
kampanye polusi suara untuk pasangan calon bupati dan wakil bupati yang mereka
pilih. Maaf, entah itu oknum yang berniat memfitnah pasangan calon, atau memang
murni kampanye-nya, namun disini aku hanya menilai apa yang kulihat. Kampanye
terbuka yang kutunggu-kutunggu dalam bentuk yang cerdas dan elegan, akhirnya
sama juga dengan jaman dulu, gembar-gembor
motor doang.
Dalam
hatiku sedikit kesal karena ketentraman hari liburku terganggu dengan sampah
suara tersebut. Kekesalan itu pun bertambah ketika keluar rumah kudapati di
jalanan tersebar pamphlet pasangan
calon yang berserakan. Tembok pagar rumah orangtua ku pun juga ditempeli stiker
pasangan calon. Gila apa? Pffft…masyarakatku
ternyata belum pintar hingga berbuat demikian.
Aku
tertiba membayangkan sebuah kota metropolitan di dunia ini, New York. Beberapa tahun
yang lalu, pemerintah daerah setempat membuat sebuah aturan tentang “a noise
code”. Jadi, suara yang terpancar itu diatur disana. Contohnya, truk sampah
yang biasanya menghasilkan suara kencang harus menjaga jarak 15 meter dari
perumahan penduduk di malam hari, mobil ice cream hanya boleh menyalakan
suaranya jika mereka sedang berjalan, bahkan ada denda untuk pemilik anjing
yang anjingnya menggonggong terus menerus selama 10 menit. Kenapa kemudian
aturan ini dibuat? Karena pemerintah disana menghormati ketentraman
penduduknya. New Yorkers itu sangat toleran dan aktif. Mereka mematuhi anjuran
pemerintah untuk menggunakan subway
(kereta bawah tanah) guna mengurangi polusi dan kemacetan. Mereka lebih memilih
berjalan di jalanan dari pada menggunakan sepeda motor. Mereka pergi ke stadion
untuk memeriahkan acara yang diselenggarakan pemerintah. Mereka pun juga aktif
di acara parade-parade masal. Untuk itulah, pemerintah disana memperjuangkan
aturan tersebut.
(Maaf aku terpaksa membandingkan) Nah, aku membayangkan disana pasti tidak
ada suara gembar-gembor. Kampanye
lebih banyak dilakukan dengan menggunakan direct
selling atau mengumpulkan masyarakat ke stadium untuk mendengarkan visi
misi pasangan calon pemimpinya.
Namun
demikian kekurangannya daerahku, aku pantang untuk mencaci-maki tanpa solusi. Uneg-unegku di atas hanyalah caraku
untuk mencari masalah apa sih yang sebenarnya terjadi di masyarakatku. Owh, ternyata masyarakatku kurang
mencintai lingkunganya. Owh, ternyata
masyarakatku kurang bisa menghargai ketentraman tetangganya. Owh, ternyata masyarakatku kurang berperadaban
luhur. Owh, ternyata masyarakatku
belum mampu menciptakan sebuah kampanye yang educatif dan ramah lingkungan. Siapakah
sih masyarakatku itu? Ya aku ini. Hehe.
Aku
sungguh bersyukur dikarenakan saat ini aku masih memiliki keoptimisan. Meskipun
aku hidup di daerah yang mana para calon pemimpinya belum memuaskan
keinginanku, aku tidak kemudian golput. Aku tetap akan memilih. Aku masih tetap
berharap bahwa lambat laun pasti daerahku akan berubah lebih baik. Aku masih
berharap bahwa nanti pemimpin daerahku akan lebih sering mengunjungi para
warganya secara merata. Kan kereen kalau ada acara “Meet and Greet Pak Bupati
di Kecamatan A”. Kubayangkan disana Bapak Bupati akan memberikan suara-suara
menentramkan dan menumbuhkan optimis serta kebahagiaan untuk masyarakatnya. Dengan
ada arahan kebaikan dari Pak Pemimpin, aku berharap para masyarakat di daerahku
tidak lagi membuang sampah dari jendela mobil mewahnya. Aku berharap, para guru
dan murid terus berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Aku
berharap masyarakatku saling menghormati kepentingan individu. Dan aku berharap
Bapak Bupati mempunyai alat semisal facebook
untuk menjadi jembatan komunikasi antara masyarakat dan pemimpin.
Dengan
langkah awal pendekatan dengan masyarakat, aku mempunyai keyakinan bahwa sense
of belonging rakyat kepada daerah akan tumbuh. Pemimpin peduli dengan rakyat,
demikian pula rakyat juga akan peduli dengan pemimpin. Pemimpin cerdas, rakyat
juga cerdas. Pemimpin semangat, rakyat juga ketularan. Pemimpin optimis, rakyat
juga akan kesetrum. Dengan begitu, para pemimpin dan rakyat akan saling terikat
oleh rasa yang sama. Jika frekuensi hati sudah disamakan dan disambungkan, aku
yakin untuk kedua kalinya bahwa nanti akan tercipta sebuah keharmonisan bekerja
antara masyarakat dan pemimpin. Tidak ada gap, tidak ada jarak. Sebuah kondisi
yang indah dan tentram bukan?
Be First to Post Comment !
Posting Komentar