Phrase itu sangat lekat dan selalu
mengilingi kehidupan setiap manusia. Entah kita yang menjadi subjeknya dalam
artian kitalah yang membatalkan janji, ataupun sebaliknya kitalah yang menjadi
objek sasaran orang yang dibatalkan janjinya.
Suatu kasus pernah. Di hari awal
tahun 2010, saya dan teman-teman merencanakan untuk berwisata sosial, ke sebuah
dusun bekas bencana merapi. Malamnya, jam 10, saya sudah membatalkan
serangkaian agenda yang dalam pertimbangannya, saya tidak memegang peranan penting
disana. Kemudian, saya juga menolak untuk rihlah (baca: berwisata) dengan
sahabat karibku dengan pertimbangan wisata sosial aqadnya lebih duluan. Memang,
sampai sekarang, saya masih memegang keyakinan bahwa dalam hal janji, janji
yang awal dulu yang harus didahulukan. Padahal, waktu itu, sahabatku sangat
ingin pergi berwisata denganku karena ia ingin menyembuhkan penyakitnya
denganku. Tapi, dia bisa mengerti alasanku bahwa saya harus mendahulukan aqad
yang awal. Jam 11 malam, saya persiapan semuanya, mulai dari menyelesaikan
tugas yang untuk esok harinya, dan juga menghubungi beberapa warga yang tinggal
di dusun merapi itu. Alhamdulilah, semua persiapan sudah selesai saya lakukan
sampai jam 1 malam. Dan esok harinya saya harus bangun jam 4 dan menyelesaikan
semua tugas (piket, kerja bakti, dan mencuci) sebelum jam setengah 8 karena
kami janji untuk pergi jam 8. Jam setengah 4 pagi saya dibangunkan untuk solat
lail. Sebelum saya mengambil air wudhu, saya melirik HP yang ada tanda ada
smsnya. Saya buka, dan ternyata dari teman saya yang kami janjian untuk pergi
ke Merapi. Dia mengatakan bahwa jam segini (02. 15), dia belum tidur, jadi
untuk acara esoknya terpaksa dibatalkan.
“hhh....Ya Allah”, desisku.
Saya bisa mengerti (paling tidak
itu kalimat yang harus saya ucapkan). Saya bisa mengerti bila alasanya syar’i.
Alasan syar’i adalah alasan yang lebih penting, alasan yang menyangkut orang
banyak. Contoh, tidak apa apalah ketika membatalkan janji karena sakit, karena
harus mengajar, ketika harus menghadiri takziyah, ketika harus menemani temanya
yang sakit, dll. Tapi, ketika alasanya hanyalah lelah, saya kurang bisa
menerimanya.
Tidak ada kata lelah untuk
berbuat baik dalam hidup menurutku. Tidak ada kata istirahat untuk berbuat baik
dalam hidup menurutku. Lelah hanya boleh diucapkan ketika kita akan meninggal.
Istirahat pun juga demikian.
Ada banyak hal yang harus diperhatikan
dalam hidup ini, salah satunya adalah dengan memperhatikan perasaan orang lain.
Sebagai seorang yang berpendidikan, marilah kita sama sama mencoba untuk
menjadi sorang pribadi yang mulia, salah satunya dengan mengindahkan janji yang
telah dibuat. Karena ketika kita membuat janji atau appointment dengan orang
lain, maka kita akan melibatkan urusan lain pula.
Marilah, kita mulai untuk
mendidik diri. Karena setiap perubahan besar bermula dari hal hal yang kecil
dan mendasar. Selamat berproses menjadi pribadi yang lebih baik.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar