BanCoCheCe (Bananna Cocholate Cheddar Cerry)

Hi Temans..apakah kamu dirumah sering mendapati pisang yang mau membusuk? Kemudian apa yang kamu lakukan pada pisang pisang itu? Dibuang? Ahai..itu yang kulakukan selama ini. Karena sudah malas mau ngapa ngapain,ya sudahlah dibuang saja. Terkadang itu kalau sedang terserang virus malesionisme,maka untuk mandi dan gosok gigi saja malas.Apalagi harus berkutat dengan pisang pisang itu.

Tapi temans..jikalau kamu sedang tidak malas,atau mungkin the sense of living nya sedang on, ketika melihat pisang pisang itu mau membusuk dan takut menyiayiakan makanan,so you have to treat them well.
Lalu enaknya diolah kayak apa yak? Dibikin banana cake? bisa juga. Dibikin pisang goreng? not bad. Dibikin puding? bagus pula.

Hmm..temans..atau kamu bikin BanCoCheCe saja. Itu resep keturunan dari bulekku. Aku kemarin sengaja mempraktikkanya untuk memberikan perlakuan manusiawi kepada pisang pisang yang akan membusuk didalam rumahku.

Oke..Gampang ga bikinya? gampang. Mahal ga bahanya? bagiku sangat murah.

Apa aja bahan bahanya?
Untuk membuat pembukusnya,maka bahan bahan yang kamu butuhkan ada mocca cair secukupnya,tepung terigu seperempat kilo,telur ayam 4 butir,sedikit garam,dan sedikit vanili.
Untuk isinya,pisang yang sudah dikukus,dan meses rasa coklat.

Bagaimana cara membuatnya?
Pertama tama,kocok telur sampai mencampur. Kemudian tambahkan garam dan vanili secukupnya. Setelah itu,masukkan tepung pelan pelan sambil diaduk. Tambahkan air sampai adonan lumer. Buat dadaran pada teflon dengan ketebalan yang sedang.
Setelah dadaran coklat sudah jadi,isilah adonan tersebut dengan pisang dan messes secukupnya.
Kemudian,ovenlah gulungan gulungan pisang tadi selama 15 menit untuk mencairkan messesnya.
Kemudian angkat dan taburkan keju parut serta letakkan irisan cerry di atasnya.
Selamat memanfaatkan pisang pisang sekarat! hihihi...

porsi: 25 orang.

Aha Moment



 Hasil gambar untuk aha moment kartun
Mempunyai pekerjaan namun tidak bekerja. Bagaimana menurutmu? Kamu mempunyai status sebagai seorang karyawan di sebuah perusahaan misalnya, namun tidak ada yang kamu kerjakan sama sekali disana. Hag hag. Orang menyebutnya dengan “magabut”. Kemudian, apa yang kamu rasakan dengan kondisi seperti itu? Owh owh, bagi yang belum pernah merasakannya, maka sampai disini saja membacanya. Hehe. Karena ini tulisan hanya untuk mereka yang pernah mengalaminya, yang punya perasaan senasib, namun tidak sepenanggungan. Hag hag hag.
Jadi kawan, bulan ini aku sedang mengalaminya. Praktis dalam sebulan aku bekerja, kalau dihitung hitung aku hanya bekerja selama 5 hari. Namun gaji full gaji pokok. Senang? Tidak munafik, iyalah. “Iyalah”answer hanya ketika melihat slip gajinya. Namun ketika menjalani hari hari selama sebulan tanpa pekerjaan itu, jujur, aku kurang bahagia bro,sist.
Pekerjaanku adalah berkaitan dengan dunia edit mengedit. Editor, begitulah singkatnya. Apakah kamu pernah melihat ruangan para editor? Jika belum, maka kamu bisa mengetahuinya di novel Rantau 1 Muara karangan Ahmad Fuadi. Baiklah, bagi yang susah menjangkau bukunya, kuceritakan sedikit ya.
Ruangan editor itu bak kuburan. Dari mulai bel masuk, maka no words, no sounds. Semua orang sudah sibuk berkonsentrasi dengan layar komputernya masing masing. Kalau berbicara pun, maka harus dengan suara pelan. Pffft, bagian ini agak sulit bagiku. Dan,praktis dari jam 7.30 sampe dengan 16.30, 90% aktifitasnya cuma berinteraksi dengan komputer.
Dan, aku, sampe rumah juga sudah malam, sudah capek di perjalanan, maka setelah bersih diri dan menyelesaikan urusan ibadah, aku pun langsung memejamkan mata. Begitu terus. Oh ya, tambahan lagi, berarti selama 26 harinya, aku terus memutar otak untuk mengisi aktifitasku selama di depan komputer, karena ga ada pekerjaan yang bisa aku kerjaan itu tadi. Baca tulis. Kadang menggambar. Kadang seharian full mengomentari status bbm dan facebooknya orang orang. Kadang pula setiap ada postingan di group whataspp, aku aktif mengomentarinya atau sekedar memberikan jempol. Heh. Otakku sampai kegeser. Kwkwkwkw.
Njuk Ngopo? Itulah masalahnya. Aku jarang berinteraksi dengan orang bro, sist. Hidupku terasa seperti air tawar, hambar. Meaningless. Kira kira, hidupku selama sebulan ini sepertinya tidak banyak manfaatnya.
Hari kemarin bro, tanggal 28 Mei sist, adalah titik puncak ketidakbermanfaatanku. Aku rasanya ingin berteriak di ruangan editor itu, mengatakan, “Hey you, give me a job! My brain will rot away without doing nothing”. Hehe, itu hanya keinginan bro, sist. Ga bener bener kulakuin koq.
Tiap harinya pun aku juga ngeluh sama penciptaku. Ngeluh tentang ketidakbermanfaatanku ini sambil minta supaya hidupku berkah (red:manfaat). Aku tidak bahagia dengan tidak bermanfaat untuk orang lain.
“Aha” Moment
Namun, hari ini, 29 Mei 2015, ada yang berbeda bro, sist. Sampai kantor, aku bebarengan dengan ibu yang suka membuatkan teh untuk para karyawanya. Namanya…hmm..aku lupa. Hehe. Karena masih sangat pagi, dan belum ada orang, maka aku ikut ibuknya ke pantry. Aku mengobrol denganya sambil menyiapkan gelas gelas untuk tempat teh. Ibunya ternyata kalau berangkat ke kantor, naik bus. Ibunya ternyata kalau naik bus suka menunggu di jalan yang suka aku lewati. Aha. Otakku pun langsung melancarkan aksi brutalnya. “Bagaimana kalau pas berangkat dan pulang, ibu bareng sama saya saja?”, tawaranku spontan. Hey, itulah hasil otak brutalku bro, sist. “Oh ya mba”, setuju ibuknya.
Aha. Hari ini aku merasa sangat bahagia bro, sist. Akhirnya, hidupku insyaAllah akan bermanfaat kembali.

Tami Ahda Syahida
Jumat, 29 Mei 2015

The Chosen



 Hasil gambar untuk perjalanan hidup
“What does it mean?”
Aku selalu mempertanyakan itu selama satu jam perjalanan menuju tempat kerja. Aku masih terkadang berfikir tentang keputusanku bekerja di tempat itu.
Selama bulan Maret Awal sampai dengan pertengahan April, aku mengikuti rentetan seleksi masuk pekerjaan di tiga istitusi dan sekaligus di tiga kota yakni Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Institusi A adalah sebuah institusi yang bergerak di bidang pendidikan, berlokasi di Jakarta namun proses seleksi di Yogyakarta. Ada tiga tes disana, dan berlaku system gugur, yakni tes tulis, tes microteaching, dan tes wawancara, Institusi B adalah juga institusi yang bergerak di bidang pendidikan, yang berlokasi di Jakarta pun juga tes seleksinya. Institusi B adalah sebuah perusahaan percetakaan buku pelajaran yang berlokasi di Solo. Ada tiga tes disana yakni tes tulis, tes wawancara, dan tes kesehatan.
Dan tibalah waktunya semua pengumuman tahap akhir dari serentetan tes tersebut yang luar biasanya semua terjadi di pekan yang sama, pertengahan April. Alhamdulilah, aku lolos di semua institusi tersebut. Dan proses pendewasaanpun dimulai. Jreng jreng. Pekan terakhir April 2015 menjadi hari hari yang lumayan membingungkan. “Life is a matter of choice”, begitulah yang selalu dikatakan dosenku dulu, Bapak Syamsul Ma’arif.
Ketiga institusi tersebut mempunyai bobot bibit yang sama. Jujur, setelah lulus kuliah profesi guru pada akhir Februari 2015, aku ingin sekali hidup di Jakarta. Bertemu teman teman disana, menantang trauma, dan tentunya mencari pengalamaan hidup. Untuk itulah aku melamar beberapa institusi yang penempatanya ada disana. Dari sisi pekerjaan, maka kedua institusi A dan B linier dengan yang kupelajari selama ini, yakni mengajar bahasa Inggris. Dari sisi, finansial, tentunyalah keduanya memberikan imbalan yang lebih dari pada apa yang aku harapkan. Namun kedua institusi tersebut tidak sebegitu terkenal dengan isnstitusi C. Yup, institusi C adalah sebuah perusahaan percetakaan nasional yang mungkin semua orang sudah tau. Pekerjaanku disitu akan berkaitan dengan proses editing buku sekolah bahasa Inggris dari penulis yang nantinya akan dicetak menjadi sebuah buku. Meskipun tidak mengajar, kufikir aku masih akan berkaitan dengan dunia pendidikan, kurikulum, dan ilmu perbukuan. Selama kuliah S1 aku pun juga belajar bagaimana membuat sebuah buku pelajaran. Namun, institusi C tidak memberikan salary seperti apa yang kuharapkan. Oh ya, di institusi C, dari puluhan orang yang mengikuti tes, hanya aku seorang yang ketrima.
Apakah aku bingung? Ya tentu saja. Jika aku berfikir simple, maka aku akan berangkat ke Jakarta dan memilih institusi B yang menggiurkan mata. Namun, disisi lain, aku berfikir tentang maksud aku diterimanya di perusahaan C.
Aaaarrrghhh…
Then, I remembered something.
Beberapa waktu sebelumnya, aku membaca sebuah link yang beralamatakan www.hadistoftheday.com yang dishare oleh salah seorang kawan di media sosial facebook. Aku membuka kembali bagian salat-l-Istikara. Aku tertarik dengan paragraph pembukanya.
“Anytime a Muslim is making a decision, he or she should seek Allah’s guidance and wisdom. Allah alone knows what is best for us, and there may be good in what we perceive as bad, and bad in what we perceive as good”.
Hhh, aku menghela napas panjang. Aku hampir lupa kalau ada Allah. Kemudian, aku melanjutkan membaca paragraf dibawahnya.
If you are ambivalent or unsure about a decision you have to make, there is a specific prayer for guidance (Salat-I-Istikhara) that you can do to ask for Allah’s help in making your decision. Should you marry this certain person? Should you attend this graduate school? Should you take this job offer or that one? Allah knows what is best for you, and if you are not sure about a choice that you have, seek His guidance.  Salat Al-Istikhara is a powerful tool that Allah has given us to ask His guidance in all matters.
Oh ya, istikharah. Aku hampir pula lupa akan hal itu. Rasanya bebanku agak berkurang setelah membaca artikel tersebut.
Four days left untukku memberikan kabar kepada ketiga institusi tersebut. Maka setiap malamnya aku isi dengan bangun malam and performs Salat-Al Istikhara. Setelah malam pertama melakukanya, belum ada hasil. Aku berfikir, dalam bentuk apa nanti Allah akan memberikanku petunjuk. Kemantapan hati kah? Sepertinya sangat sulit untukku memutuskan jika petunjuk Allah bentuknya itu. Setelah malam kedua, masih saja belum ada petunjuk untukku. Aku mengadukan pada Allah bahwa aku ini orang yang sangat bodoh dalam memilih, maka aku meminta kepadaNya untuk menunjukkanku dalam bentuk mimpi saja.
Malam ketiga aku bangun dengan perasaan kaget. “Really?” adalah ekspresiku bangun tidur waktu itu. Aku mengeryitkan dahi. Apakah mimpi ini adalah petunjuk? Ah, aku menunda berfikir. Aku bangkit dan berlari ke kamar mandi untuk mengambil wudhu dan melakukan salat Al-Istikharah ku untuk yang ketiga kalinya.
Oh Really? Mimpinya begitu jelas sekali. Aku diajak oleh satu karyawan perusahaan penerbitan itu untuk menemui pimpinan perusahaan yang disana, hanya sekedar berkenalan.
One day left. Aku merasa sayang jika harus melepaskan yang di Jakarta. Aku agak berat untuk bekerja di Solo. “Lha mosok kowe arep nentang petunjukke Gusti Allah?”, komentar ibukku. Benar juga kata ibuk, masak aku harus mengacuhkan petunjuk dariNya. Aku sedikit menenangkan diri.
The day had come. “Bapak Hery, insyaAllah saya bersedia untuk bergabung di perusahaan bapak. Semoga bisa memberikan kontribusi yang baik”. Itulah email yang aku tulis untuk pihak HRD perusahaan percetakan yang akan memperkerjakanku. Ya, akhirnya aku memilih perusahan C.
Later on…
Di hari pertama aku kerja, mimpi itu menjadi kenyataan. Aku diajak oleh salah satu karyawan untuk menumui GM perusahaan itu. Meja dan ruanganya sama persis dengan yang ada di dalam mimpi.
What does it means? I keep questioning. 
Day by day, aku mencoba untuk keep looking the meaning dari semua ini. Yang jelas saat itu dan saat ini aku tidak tau akan apa apa. Mungkin sedikit sama dengan Nabi Nuh yang tidak tau ketika banjir akan datang pada waktu ia membuat kapal dan ditertawai kaumnya. Nabi Ibrahim yang belum tau akan tersedia domba ketika pisau nyaris memenggal buah hatinya. Nabi Musa yang belum tau laut akan terbelah saat dia diperintah memukulkan tongkatnya. Yang mereka tau adalah bahwa mereka harus patuh pada perintah Allah dan tanpa berhenti berharap yang terbaik.

P.S. Mungkin dibalik ketidaktahuan kita, Allah akan menyiapkan kejutan. Seringkali Allah berkehendak di detik detik terakhir dalam pengharapan dan kekuatan hamba hambanya…
P.S. Meaning or Money? Prof. Renald Kasali.

Ingatlah Nama!



Hasil gambar untuk senyum bahagia
 “Ya, nanti akan saya kabari kalau bapak sudah selesai rapat”, jawab beliau dengan ramah.
Saya mengernyitkan dahi, dan berlalu pergi tanpa banyak bertanya kepada salah satu karyawan HRD di kantorku. “How can he know where my place is?”, tanyaku dalam hati ketika berjalan menjauhi ruangan Human Resources Development itu. “Aaah, bodo amat lah. Liat saja apa nanti dia akan menelponku atau tidak”, sanggahku.
Aku baru saja bekerja di sebuah kantor percetakan buku di kota Solo. Belum lama, mungkin baru sekitar sepekan. Ada banyak sekali orang disini, dan yang kuhafal hanyalah 7 orang yang berada di departemenku, language editor.
Hari itu aku meminta surat pengantar ke kantor HRD untuk keperluan membuat rekening baru guna pentransferan gaji. Aku menemui seorang bapak bapak berkaca mata yang kebetulan duduk paling dekat dengan pintu. Beliau tersenyum ramah denganku seolah olah sudah lama mengenalku. Aku pun hanya tersenyum sekedarnya saja. Aku mengutarakan maksud kedatanganku, tanpa memperkenalkan namaku. Bapaknya mengatakan bahwa yang bersangkutan untuk memberikan ijin sedang rapat, jadi nanti akan diinformasikan ke kantorku jika bapak manager HRD sudah selesai rapat.
Aku tidak yakin dia akan mengabariku (red:menelponku) dengan memanggil namaku. Aku pun menunggu sampai tengah hari. “Kring kring..”,suara telpon masuk ke kantor language editor. My supervisor hanged it up, and then, “Tami, disuruh turun ke HRD”, ucap Pak Putut, supervisorku.
Aku pun turun ke ruangan HRD. “Oh, dia kenal namaku. Maklumlah dia kan HRD”, fikirku simple.
“Mbak Tami, ini suratnya”, ucap bapak berkacamata itu. Aku mengangguk.
“Mbak Tami masih nglaju?”, tanya nya lagi.
What? Dia bahkan tau aku setiap hari bolak balik klaten-solo.
“Ya Pak”, jawabku singkat.
“Semoga sehat sehat ya”, ucap beliau.
“Makasih Pak”, balas saya, dan langsung meninggalkan ruangan HRD.
Dari kejadian itu, aku jadi teringat dua orang dosenku, yakni Bapak Agus dan Ibu Ani. Beliau berdua adalah sosok dosen yang mempunyai kemampuan otak menghafal semua nama nama mahasiswanya meskipun baru pertama kali bertemu.
Aku yang jadi salah satu mahasiswanya tentunya sangat senang karena jika berpapasan, pasti beliau berdua akan memanggil namaku. Bukan, bukan karena aku terkenal. Namun memang begitulah kenyataanya, mereka menghafal semua nama baik pemilik nama itu terkenal atau tidak.
Lalu?
Kamu tau bagaimana rasanya nama kita dikenal oleh orang yang mungkin orang tersebut berada diatas kita posisi birokrasinya? Hal itu sungguh membahagian hati. Ada nilai penghormatan disana. Ada nilai apreasiasi. Ada nilai perhatian. Ada nilai kasih sayang disana.
Pelajaran dari bapak HRD hari itu, akan kujadikan sebagai kaca dan refleksi pada diriku. Bahwa, ada banyak hal yang indah di dunia ini untuk dilakukan yakni dengan memberikan kebahagiaan kepada orang lain. Bahwa karena mengingat nama orang itu menjadi hal yang membahagiakan, maka nanti aku akan berusaha untuk mengingat ingat nama orang orang yang kutemui. Dan jikalau nanti aku terpaksanya lupa dengan nama orang yang pernah kutemui, maka aku akan bersikap seolah olah aku sudah mengenalnya lama serta akan memberikan senyum persahabatanku yang sangat tulus kepadanya.
Karena, ada banyak hal yang harus kita perhatikan dalam hidup ini, salah satunya adalah perasaan orang lain.

A Thousand Times Good Night



 Hasil gambar untuk children of war      Hasil gambar untuk children of war  Hasil gambar untuk children of war
What does come to your mind when you see those pictures above? Feel disgusting? Cannot eat? Feel sorry? Asking what the picture is? Yeah, if you respond to the picture by feeling or asking about them, it means that your brain is still used. Ha ha.
Yet, have you ever thought about something behind that? The photographer. How can the picture come to your screen and then stimulate your heart to feel sympaty with the condition happened on the picture? Or might the picture activate your hand to donate?
You know, visual speaks louder, doesn’t it?
A Thousand Times Good Night. That was the film I watched lately, and it made me cried and thought deeply about a part of life; passion, carrier, and family. Rebecca is 40s old woman with a husband and two daughters.
She works as a photo journalist in a new york magazine company. She is very professional photrographer because all of her work are so stunning and can draw people’s attention in the world. What  are her photos about? She obsesses with reporting photos in dangerous war zone. In that film, she documents a group of female suicide bombers in Afghanistan. Someday, she gets permission to  accompany one of the suicide bombers to Kabul,where the premature detonation of the bomb severely injures her. You know, she is a woman without fear. She is always responsible for herself.  She does not care whether the situation is extremely dangerous. What she think is just showing the reality to people.
She sits near the suicide bombers, and then she has to drop in a somewhere in Kabul because the bom will be detonated in the middle of crowd. She run, but then she turns back and see children, old man, women there. She doesn’t feel compassion with them, so she screams “BOM”, and people are panic and run. But the denotation is so fast, and Rebecca cannot escape from the tragedy. Fortunately, she is still alive with seriously injured.
Her husband, Marcus, picks her up to go back to Irish, their home. Rebecca feels something different with Marcus and Steph’s attitude. *Steph is her first daughter.
“I can’t live with you anymore”, said Marcus.
“What?”, Becca surprised.
“You know, every night we just wait for this accident happens. Everyday I just wait for a call informing that you are injured. Now, choose the family or your career”, said Marcus.
Passion, carrier, and family. Sometimes a woman is faced by many difficult options to choose. I can feel what Rebecca feels. She loves her family and her job either. She has tried to sharpen her ability to take picture and her sense of humanity as well to make the picture alive since she was young. Yet, at the level she turns professional, she has to choose between family or career.
Well, a bit hard. Let me start with the marriage. My spiritual teacher used to say that set your vision of life and then find a man who has similar goals with you. In marriage, the will be so much differences between you and your partner. A man and a women have their own complex difference. Then, your family culture and his have the complex one as well. It will be very hard when it’s added by the very basic thing, that’s goal of life.
I agree with what Angelina Jolie said. It’s true that the happiness of life is when there’s so much clarity including what is your life for. Yes, your marriage (red:your life) will achieve happiness if you already set your goal and live with people who understand your goal or even have similar goals with you.
Furthermore, as a Muslim, we can get all the answers of life when we look up the Holy Qur’an. Where’s the position of women? Do you have a responsibility to earn money? Nope, it does not. Can you be a working mother? Yes, sure. But it has to be discussed first with the family and also gets permission from your husband. You know, the blessing of God is everything, isn’t it?
It must be sounded like not fair, and you will be very sad and disappointment. It’s normal. You are allowed to feel so. But, remember, some pains might be the best for you. These growing pains will be make you are more loved by Him. These pains will teach you some unknown lessons from Him that make you more mature. Sacrifice. Yes, it can be said in that word. Just recall the story of Ibrahim who must leave Hajar.
Finally, always believe that everything you mean for the goodness, you will find the way. Allah has promised about it. Don’t lose faith. Be patient for waiting His answer and his way. Keep praying, and Keep trying. Remember that we just live at once, so make it good for your eternal life.