The Decomposer is Called as Self-Talk



Salah satu kesulitan bagi beberapa orang adalah mendeskripsikan masalanya sendiri. Otaknya tertalu rumit, sehingga kata kata yang keluar pun ikut ikutan rumit. Termasuk aku. Aku adalah salah seorang yang rumit mendeskrisikan kesulitan kesulitan dalam diriku. Apalagi yang berkaitan dengan masalah psikologis. Jadi, aku membenarkan general characteristic dari Blood B, bahwa tipe golongan B adalah dia tidak mau berpusing pusing dengan masalah, dia lebih baik mengacuhkan masalah tersebut, dan mengatakan “I am good”.
Namun, kali ini aku ingin belajar untuk mendecompose masalah psikologis yang sedang aku alami hari ini, 29 Maret 2015. Karena, tantangan kedepan, aku akan menjadi manusia bermasyarakat yang berhubungan dengan banyak orang, yang akan menghadapai masalah, dan yang akan memecahkan masalah itu secara bersama sama dengan the one who I live with.
Umurku sekarang 25 tahun, dan aku belum bekerja. Aku baru saja lulus dari program profesi guru pada tanggal 28 Februari 2015 lalu, jadi genap satu bulan aku tidak mempunyai status. Setiap ditanya dengan orang orang yang tidak bertemu lama, “Sekarang kamu dimana? Kerja apa?”, aku dengan memaksa untuk tegar menjawab, “Aku dirumah. Sedang mencari kerja. Dirumah membantu ibu.”. Namun, dalam kurun waktu sebulan itu, aku tidak selamanya bisa untuk selalu tegar. Tepat di akhir bulan ini, harus kuakui I am down. My head is spinning when I am thinking about the future.  Hari ini, 29 Maret 2015, aku merasa sangat tertampar ketika bapakku menawariku uang saku, untukku jalan ke Jogja. Kemarin, ibuku masuk kamarku dan bertanya, “Wis duwe dit durung nggo tuku kado?”. Hey, umurku 25, dan aku masih minta duit orang tua. Sebelumnya, aku merasa tidak apa apalah untuk meminta duit orang tua, toh mereka seneng seneng aja, yang penting aku juga seneng. Namun, hari ini, 29 Maret 2015, aku berfikir dengan cara yang lain. Tidak selamanya aku tidak membandingkan diriku dengan yang lain. Tidak selamanya aku hanya akan mengejar kebahagiaan diri. Terkadang, kita perlu untuk membandingkan. Sekali waktu, kita perlu untuk tidak berbahagia. Tidak usah lama lama, sebentar saja. It is not because I am strong or whatever but because this is a part of life. Dan aku mulai terbandingkan dengan mereka yang di umur 25 sudah mempunyai karya kemana mana, sudah mempunyai karir yang bagus, sudah mempunyai keluarga yang kompak, sudah menjelajahi berbagai macam negara, sudah menguasai berbagai macam kertampilan, dan sudah melakukan banyak pengabdian kepada masyarakat luas. And, what about me? Even now, I don’t now what i want to be. The worst time in a life is when there is no clarity about what you live for.
Seketika aku mencapai puncak saat saat terlemahku, aku memutar otak untuk mengatasinya. Pusing sekali. Urat urat pundak dan leherku menegang. Badanku mendadak sangat panas.
I am in a trouble so I have to fix it. Aku menyadari bahwa kedepan aku juga akan mengalami kondisi seperti ini lagi, lemah semangat, bosan, dan merasa terpuruk.  
Jadi begini, sangat wajar ternyata mengalami masa masa terpuruk, apalagi di umur umur 25an. Dalam ilmu psikologi, ini dinamakan sebagai a quarter of life’s fear. Di salah satu situs-stratejoy.com-,menyatakan bahwa the quarterlife crisis is a real experience of women in their twenties and early thirties. Dan tanda tandanya adalah you feel disconnected from your life and confused about your next steps, you’re disappointed in your day-to-day but overwhelmed by all the possibilities out there, you panic when you think about everything you were supposed to do by age 30, you’ve run out of milestones to hit (graduate! Get a job) and aren’t sure what comes next.
Kemudian, setelah aku menyadari akan apa yang terjadi dalam diriku, aku mulai berusaha untuk mengatasinya. I need motivation.  Maka, pertama pertama yang kulakukan pasti adalah mengadukan masalahku pada Tuhan. Aku solat. Aku menangis. Aku memohon. Aku membaca kalamNya. Dan tidak hanya berdoa saja, karena Allah tidak ingin semua masalah selesai dengan berdoa, namun harus ada action/usaha/ikhtiar . Ada novel yang belum kubaca. Judulnya adalah Ranah 3 Warna by Ahmad Fuadi. Maka kubacalah novel tersebut. Baru mendapat 25 halaman, kepalaku sudah mulai pusing. Bukan karena susah, namun aku tertampar karena deskripsi kisah perjuangan Alif mengejar cita citanya tembus UMPTN, dimana ia harus mengurung diri dikamar selama dua bulan untuk mempelajari 3 bukit buku pelajaran. Heh, wow sekali perjuanganya! Wow sekali mimpinya!
Yeah, aku tidak boleh bermalas malasan. Ketika aku kehilangan mimpiku, maka aku harus mencarinya lagi. Aku harus mengusahakanya. Aku ingin mempunyai pekerjaan yang baik dan berkah dan bergaji tinggi, maka aku harus belajar mengasah ketrampilanku. Aku perlu banyak membaca dan latihan. No pain no gain. Mereka yang sudah mencapai mimpinya hari ini, pastilah sudah berusaha mati matian lebih dulu, di saat mungkin waktu itu aku masih bersenang senang tidak berguna.
Ketika “the downs” datang, maka aku perlu untuk menulis dan mencari solusinya. Menulis itu mampu untuk mengurai benang benang rumit yang ada dalam kepalaku. Aku mencari beberapa artikel tentang a quarter of life crisis. Dan akhirnya kembali menyadari bahwa hal itu sekali lagi wajar. Maka, aku hanya perlu untuk bersabar.
And, I feel better now, four hours after the spinning head moment.

Wonderful Pain, Wonderful Gain

 
“Semoga aku dipertemukan dengan orang orang yang baik 
dan ditempatkan ditempat yang baik pula.”

Hanya kalimat itulah yang aku gumamkan selama perjalanan nekatku waktu itu. Aku tidak pernah membayangkan bahwa tahun 2014 aku akan pergi keluar negeri dan mengikuti sebuah konferensi international. Aku sungguh nekat. 
Semuanya berawal dari keinginan untuk mempunyai sebuah karya di tahun 2014. Kenapa aku ingin memilikinya? Karena aku sedih, CVku tidak ada isinya di bagian karya yang pernah dipublikasikan. Karena aku sedih, tidak ada isinya di bagian prestasi yang diraih.What a poor people!
Akhirnya, karya yang kubidik adalah sebuah hasil penelitian, dan untuk mendapatkan itu maka aku perlu untuk mengikuti konferensi international. Konferensi international apa yak? Hmm, maka aku percayakan pada mesin pencari. Kuketik keyword “Konferensi International 2014”, dan banyak sekali yang keluar. Maka kupersempit dengan bidangku, yakni “Konferensi International Bahasa Inggris 2014”. Dan yang paling atas kutemukan “AsiaTEFL”. Dan wow, due date untuk abstract subsmission nya dua bulan lagi, Maret 2014. What? AsiaTEFL? Kamu tau itu apa? Yah, itu adalah journal yang banyak aku baca selama aku mengerjakan skripsi. Dan ini adalah AsiaTEFL bray! Konferensi International untuk mahasiswa, guru, dosen bahasa inggris di tingkat asia. 
Baiklah, aku baca dulu topic yang dibawa. “Sustainibality in Language Teaching toward the Goverment policy” adalah topic untuk tahun ini. Glek. Koq cucok sekali dengan kerisauanku sekarang ini dengan apa yang kupelajari. Saat itu, dunia pendidikan Indonesia sedang dibingungkan dengan kurikulum baru, yakni kurikulum 2013 yang secara teknis susah untuk diaplikasikan dalam beberapa mata pelajaran non-science, termasuk mata pelajaran bahasa inggris.
Oke, bismillah. Aku diajari untuk berfikiran “Everything is possible”, dan “Brave”. Maka, aku putuskan “I am in”. Next, njuk kowe arep ngirim abstrak sik kepiye?. Baiklah, hari berikutnya aku pergi ke perpustakaan untuk menambah referensiku. Intinya, aku tertarik untuk membangun karakter siswa di mata pelajaran bahasa inggris. Susah untuk dijabarkan sih, otakku saja ruwet. Dan, satu kekuranganku waktu itu adalah, aku tidak berani untuk mengkonsultasikan penelitianku pada dosenku. Dosenku baru mengetahui dan menyesalkan perbuatanku setelah abstrakku diterima. Yah, hari itu aku membuat abstrak akan penelitianku yang dulu kulakukan di Malinau, dan langsung kukirim ke panitianya. Alhamdulilah, accepted. 
Satu hal yang kupelajari, Aku membenarkan bahwa orang indonesia itu sangat kurang percaya diri dan takut untuk melakukan sesuatu. Contoh jelasnya aku, aku takut dan tidak percaya diri untuk mengkonsultasikan rencana penelitianku pada dosenku. 
Abstrak diterima, bahagia semenit. Kemudian aku membuka beberapa attachment di surat elektronik yang dikirimkan panitia. Attachmentnya adalah berisi register fee dan schedule. Dan, bahagia berubah menjadi kebingunan dan sesak nafas. 
Register fee nya USD 200, dan I am alone. Benar, I am alone. Saya sudah mencoba untuk mengajak beberapa teman satu jurusan, namun mereka pada sibuk dengan tugas kuliah dan tidak mau berpusing pusing mencari dana. Aku takut. Sendiri. Namun, apakah aku harus menyerah? Ini kesempatan langka. 
Maka, dalam hari hari berfikir “Live or Leave”, aku dipertemukan dengan orang orang yang memotivasi. Salah duanya adalah Nisa dan Rahma. Nisa (PBI 07) mengatakan bahwa “Malaysia deket. Berangkatlah. You will be ok”.  Rahma (PBI 09) mengatakan “Mbak harus berangkat. Itu adalah kesempatan keren”.
Baiklah, untuk kedua kalinya, aku putuskan “I am in, I am alone, and I will face every obstacle”.
Dan, advanture begins!

Register fee and Accomodation
Selama menyusun perjalanan, aku tidak henti hentinya selalu mengkontak sahabat yang bisa kuandalkan, Dita. Hey, Dit, Makasih ya for everything. Dan juga Mari, thanks Mari. Mereka berdua rela untuk menjemputku di Kualalumpur. Merekalah yang selalu mendukung keputusanku untuk berkembang. Mereka jugalah yang mendengarkan keluh kesahku tanpa mengjustifikasiku. 
Masalah financial, aku berkonsultasi sama mereka. Dan, dari diskusi dengan mereka, aku memutuskan untuk mengajukan proposal dana ke Dikti, Kantor International Universitas, Rektorat, dan Fakultas.
Oh My God, bener yang dikatakan Pak Collumbus “Kalau kalian tidak mau kesasar, kalian tidak akan menemukan jalan baru”. Yah, dari mencari dana kemana mana, aku menemukan banyak jalan baru (red:pengetahuan baru). Dan bener yang dikatakan oleh Bapak Dahlan Iskan “Mahasiswa tidak perlu dijejali teori untuk jadi sarjana yang siap terjun ke kejamnya persaingan hidup masa depan. Kelas mereka adalah alam jagat raya ini, yang hanya bisa dimasuki dengan keberanian, bukan diabaikan sambil bermalas malas. Dan mereka telah berhasil melaluinya dengan perjuangan sendiri yang penuh liku liku dan tanjakan terjal”. Aku seperti ditraining untuk bertahan hidup dalam proses mencari dana ini. Bertindak cepat, memutuskan masalah, dan tidak bermalas malasan.
Kabar baik pertama adalah berasal dari rektorat, khusunya kantor WR III. Pak Margana,dosen yang sangat kuhormati, memberikan rekomendasi untuk mengambil dana dari sana. Beliau memberi memo kepada sekertarisnya untuk mengACC proposalku. Terimakasih Pak. Apakah segampang itu aku mendapatkan duit 2jt? Yah, kufikir iya. Namun ternyata tidak. Dua minggu berselang setelah aku mendapatkan cairan uangnya, masalah timbul. Apa masalanya? Aku dikira menggunakan dana ormawa (Organisasi Mahasiswa) yang bernama SAFEL. Kau tau bagaimana rumitnya masalah kalau sudah berkaitan dengan uang yang tidak jelas? Aku harus menjelaskan ke beberapa pengurus SAFEL.  Sempat memanas. Kami akhirnya menempuh jalan untuk beraudiensi dengan petugas pencair dana di rektorat. Singkatnya, ternyata terjadi kesalah pahamana diantara kita! Hehe. Pelajaranya, hadapi dengan berani jika kau merasa benar, dan tetaplah tenang!.
Dua juta. Registrasi beres. Bagaimana dengan pesawat? Penginapan? Transport? Airpor tax? Uang jaga jaga? Aiiih. Aku harus mengaktifkan syaraf syaraf otakku terus. Aku memutar otak. Baiklah, berarti aku harus mengajukan proposal ke Fakultas dan Dikti. Hal apa yang susah ketika membuat proposal? Yah, memburu tanda tangan. Kau tau? Aku menghabiskan waktu dua pekan untuk memburu tanda tangan. Menunggu dari pagi hingga sore. Setelah menunggu seharian, ternyata nama dosen salah, tujuan kepada salah. Ngek ngek. Setelah menunggu, dan memutuskan break sebentar cari makan, di sms dosen, suruh balik karena beliau nya sedang menunggu. Waktu terus berjalan. Sepertinya hari hari itu tidak ada titik terang. Menit demi menit aku meramalkan doa doa keberuntuangan.
Singkatnya. Uang dari fakultas turun 600.000k. What? Cukup buat apa? Cek net. Dan, uangnya persis untuk perjalanan berangkatnya, Jakarta-Kuching. Jumlahnya pas.
Bagaimana dengan Dikti dan Kantor International? Tidak jadi kukirim. Kenapa? Dikti, aku tidak tau bagian mana yang harus aku tuju (kantor mana). Tanya ke wakil dekan, aku disuruh mencari sendiri karena akulah yang butuh. Karena waktu mepet, aku give up saja pada pintu Dikti. Kantor International, aku belum bisa menyelesaikan jurnalku yang berjumlah 15 lembar. Akhirnya, dua sumber dana itu aku coret.
Bagaimana untuk kebutuhan yang lain? Transport disana? Ketika di Kuching, aku memutuskan untuk naik taksi saja, karena I am alone. Kuanggar 150 sekali berangkat, jadi untuk tiga hari, maka 150x6 adalah sekitar 900.000k. Glek. Penginapan tiga hari kuanggar 600.000k.
Bersyukur, bulan itu, duit beasiswaku turun. Alhamdulilah cukup untuk mengcover semua kebutuhan.
If you really want to do something, you’ll find a way. If you don’t, you’ll find an excuse. –Jim Rohn-
Penginapan
Hey, sekali lagi, kuteriakkan I am alone, dan aku buta Kuching. Malah baru kudengar bahwa ada kota Kuching di Malaysia. Sungguh, wawasan geografisku jelek sekali. Penginapan. Dimana disana aku akan tinggal? Sebenarnya panitia sudah menawarkan beberapa hotel untuk para peserta menginap. Namun, opo yo aku kuat? Duit aja pas pasan. Tidak ada anggaran makan.
Pertama, atas saran Rahma, aku mengikuti group itu konference di facebook. Dan aku mengepost sebuah pertanyaan, “Is there any participants from Indonesia?”. Heg heg, mungkin orang yang membaca akan mengira apa gt ya, dapat hadiah atau apa gt. Namun, aku mengepost seperti itu cuma ingin tau bagaimana mereka berangkat, menginap dimana, dan tentunya wanna make friend. Kwkwkw. Alhamdulilah, ada malaikat yang diturunkan untuk membantuku, namanya Mbak Fitria. Beliau memberikan banyak informasi tentang itenary nya, termasuk dimana dia akan menginap. Dan, penginapanya sangat mahal untukku. Akhirnya aku memutuskan untuk mencari yang lain.
Mba Fitira memberikan ku beberapa link untuk memesan hotel online. Heg heg, ini pertama kali pula untukku. Ada pegi pegi, ada booking, ada apa lagi gitu. Dan kebanyakan hotel menggunakan kartu kredit. Opo meneh kuwi. Aku bahkan kagak tau apalagi punya kartu kredit. Aku berselancar lagi mencari cari penginapan yang cocok dengan kantongku.
Di booking.com, aku menemukan sebuah penginapan yang cucok dengan kantong dan seleraku, namanya Nook Guest House. Di peta, lokasinya tidak jauh dengan lokasinya Mbak Fitria, namun penginapanku jauh dari suttle bus yang disediakin panitia. Tidak apa apalah, aku sudah memutuskan untuk naik taxi saja, toh kalau ditotal, biaya penginapanku dan taxi tetap lebih murah dibandingkan dengan biaya hotel rekomendasi panitia plus sutlle bus gratis.
Frank adalah nama pemilik Nook Guest House. Dia begitu baik kelihatanya. Selalu membalas email dengan bahasa informatif dan menenangkan. Dia juga akan menjemputku di airport serta bersedia untuk mengantarku ke conference setiap harinya. Dan, kabar baiknya, ada juga tamu di penginapanya yang juga peserta conference. Aku seperti kejatuhan durian. 
At the Airport
Aku memilih Bandara International Soekarno-Hatta karena menurutku, semua rute perjalanan dari situ lumayan murah. Dari Wates, aku naik kereta sampai stasiun Senin. Sampai stasiun Senin, tengah malam, Dita menjemputku dan beristirahat sebentar di tempat temanya untuk kemudian paginya akan terbang ke Kuching. Hey, aku berjanji, jika nanti ada teman yang butuh tumpangan menginap, aku akan dengan sangat terbuka mempersilahkan*. *Syarat dan ketentuan berlaku, kwkwkw.
Hari itu, Selasa, 26 Agustus 2014, aku berada di Bandara International Soekarno-Hatta untuk penerbangan ke Kualalumpur. Sebelum check in, aku ragu apakah uang ringgitku cukup atau tidak. Untuk ketenangan, aku menambah menukar uang di bandara. Pelajaran! Jangan menukar uang di bandara, 400k lebih mahal dari di money charger di tempat yang terkenal murah. #FYI, jogja,murah, money charger, Melia, depan hotel Inn Garuda.
Check in. Wow, banyak kulihat para TKI. Heg heg, baru aku menyadari, oh iya, Malaysia gudangnya TKI. Untung aku tidak dikira TKI, malah petugas imigrasi mengira aku dosen, karena aku ikut konferensi.
Di antrian Imigrasi, aku juga berada dalam barisan itu dan melihat lihat orang orang disekitarku. Ternyata rasio penduduk Indonesia yang pergi keluar negeri banyak juga yak. Bahkan, orang di depan antrianku mau ke Singapore hanya untuk berobat. Orang disampingku, ke HongKong, bekerja. Heh, aku bahagia bertemu dengan banyak orang, dan strangers tentunya. Boarding time. Bismillah.
Setelah perjalanan satu jam, sampailah aku di bandara Kuala Lumpur (KLCC). Hello, stranger! I am alone, teriak aku dalam hati. “Wahai tanah Malaysia, mari berdamai denganku yak”, bisikku. Aku hanya mengandalkan sign untuk menuntut langkah selama di bandara. Very huge. Besar sekali bandaranya. Setelah mengitari bandara, akhirnya aku menemukan pintu untuk keberangkatan ke Kuching. Aku duduk dan kemudian mengaktifkan wi-fi ku. Mengabarkan kepada teman teman bahwa aku sudah sampai Kualalumpur.
Perjalanan KualaLumpur – Kuching membutuhkan waktu tempuh satu jam. The strange land is going to be faced by me, alone. Kwkwk. Tiba di Kuching sudah sangat sore,17.15, dan awan mendung hitam pekat sekali. Heh, aku tidak yakin Frank masih menungguku. Panitia pun juga sudah pulang pastinya. Airport nya besar, bagus, bersih, namun sepi. Aku pasrah. Sepertinya aku harus merogoh uang lagi untuk ongkos taksi. But, no. Ada seorang perempuan chinese, dan gendut membawa kertas bertuliskan namaku “Uli Tri Utami”. Aye! She must be Frank. Dia terlihat sedikit kesal menungguku. Namun, aku tetap tertawa karena aku bahagia melihatnya. Aku yakin dia tidak serius marah padaku karena kedatanganku yang terlambat. Langkah kakinya cepat, sambil mengomel menyuruhku segera masuk mobil karena penumpang yang lain sudah menunggu lama sekali. Aiih. Sampai mobil. Wow, Hello Strangers! Dua orang philipina, satu orang Irlandia, dua orang Netherland, satu orang Malaysia (Frank), dan satu orang Indonesia (me). Mati gaya. Namun, salah satu orang Philiphina, bernama Onah, dengan sangat ramah menyapaku, mengajakku berbincang, sejak saat itu, kami berteman. Being alone in a new place is not always scary. Terimakasih Onah, Terimakasih Frank.
*Jauh jauh hari sebelum kubertemu denganya, aku sudah membeli beberapa tanda mata untuk mereka, sebagai wujud terimakasihku padanya. Bagiku, mereka adalah malaikat malaikat Allah yang dikirimkan untuk membantuku selama di Kuching. 
At the Conference
Nook Guest House adalah tempat yang sangat nyaman, meskipun sederhana. Sampai di tempat, aku melakukan pembayaran penginapan. Frank memberikan harga special, dari yang tadinya 600.000k, berubah menjadi 400.000k. Ngirit 200.000k. alhamdulilah. Setelah itu aku mengaktifkan wifi, berchat dengan Mbak Fitira, dan beberapa teman di Indonesia. Karena terlalu capek, ditengah chat aku ketiduran. Tentunya, tidurku malam itu diselimuti penuh dengan rasa syukurku atas pertolongan pertolonganNya.
Paginya, aku berangkat bersama keempat orang dari Philiphine. Dan hey, ternyata suttle busnya ada tak jauh dari penginapanku. Kwkwk, dan akhirnya selama di conference, aku meenggunakan suttle bus, hehe, ngirit 900.000k.
Sampai di BBCK, tempat conferencennya, aku takjub. Aku berkumpul dengan orang orang yang dari belahan bumi yang berbeda, dan tentunya bertemu dengan orang orang keren serta hebat. Aku merasa sangat kecil. Ilmuku. Aku tidak banyak menguasai theory. Aku perlu banyak belajar. Aku perlu banyak berlatih. Aku perlu untuk lebih percaya diri.
Conference yang dulu kupandang sebelah mata, ternyata sisi yang luar biasa. Konferensi adalah gudangnya ilmu ilmu baru. Jika kamu suka akan ilmu, maka ikutlah selalu konferensi. Dijamin, kamu akan termotivasi untuk menjadi lebih baik.

In Kuala Lumpur
Aku tidak mengikuti acara konferensi sampai dengan selesai. Tinggal acara penutupan fikirku, jadi tidak apa apalah kalau saya tidak ikut. Toh aku juga mengejar pesawat untuk ke Kuala-Lumpur. Yup, aku akan ke Kuala-Lumpur (lagi), tapi bukan hanya untuk transit, namun akan menghabiskan waktu dua hari disana. Alone again? Hag hag, not anymore. Kali ini, dua sahabat datang menyusulku, Dita dan Mari.
Aku sampai di Kuala-Lumpur malam pukul 7, ini berarti bahwa aku harus menunggu kedatangan mereka selama 7 jam. Akhirnya aku tunggu lah di tempat pengambilan bagasi. Tick tock tick tock. Koq  dari tadi kedatanganya hanya dari Air Asia saja. Kulihat di information board, koq kagak ada peswat dari Indonesia. Sampai jam 10 malam, aku udah mulai bosan. Akhirnya aku tanya ke petugasnya, koq tidak ada kedatangan dari Indonesia. Petugasnya menjawab “tempat ini hanya untuk kedatangan domestik”.
Ngik ngok. Pada saat itu, aku merasa sangat bodoh. Pelajaran! Make sure you are in the right place!
Akhirnya aku berpindah ke pintu keluar kedatangan international. Selama tiga jam, aku menunggu mereka. Yang kulihat, hanya arrival dari India, Hongkong, dan India. Mana Indonesia? Dan, jam 00.40, akhirnya mereka sampai juga. Dengan sisa sisa tenaga kami, kami tersenyum dan tertawa lebar. Yah, aku capek dari konferene, mereka capek sepulang kerja langsung go international.
Kawan, bandara di Kualalumpur, sangat humanis. Mereka menyediakan lantai berkarpet yang sangat luas digunakan untuk para bagpacker seperti kami, untuk menunggu pesawat atau menunggu hari sedikit pagi. Dan kami tidur di situ, dan juga mandi ditoilet bandara. Kwkwkw.
Dari bandara sampai dengan kota Kuala Lumpurnya, kami menggunakan bus dengan tarif RM 40 atau sekitar 150rb. Sampai di pusat kota, kami berjalan jalan menikmati KLCC (Kuala Lumpur City Center), Masjid Negara, dan Merdeka Square, kebetulan hari itu bertepatan dengan hari kemerdakaan Malaysia. Sebenarnya kami menunggu jam 1 untuk check in di penginapan, maka kami memutari kota dulu. Dengan apa? By foot lah. Siang kami sampai penginapan, dan langsung berebahan. Woaah, rasanya puegel sekali. Kami bersih diri, dan sorenya langsung berangkat jalan. Kemanakah tujuan kali itu? Hari pertama kami mengunjungi beberapa tempat, yakni Petronas, Street Foot,  dan Holliwoodnya Kualalumpur. Hari kedua, kami hanya mengunjungi batu caves dan mencari oleh oleh saja, karena mengingat jalanya yang lumayan jauh. Kami mengguakan transportasi yang murah murah saja, seperti MRT, Bus, dan kereta Untuk detailnya teman saya sudah menggambarkanya diblognya, yakni di marianasuci.blogspot.com. 
Closing
Sampai di Jakarta dengan sisa sisa tenaga. Kami berpisah dengan senyum bahagia. “Terimaksih” adalah kata kata yang diucapkan kita kepada satu sama lain. Alhamdulilah, kita telah melewati kuliah alam ini, mempelajari dan membuktikan kalam kalamNya. Bahwa, katakanlah padaNya akan mimpi mimpimu, Ia Maha Mendengar, dan akan menyimpan serta mewujudkan mimpi mimpimu. Bahwa, berjalanlah kemuka bumi ini, dan perhatikanlah (ambilah pelajaran) dari orang orang terdahulu. Bahwa, dibalik kesulitan, Allah telah mempersiapkan jalan jalan kemudahan.

Arti Merajut


#2011
#Yogyakarta

Beberapa waktu yang lalu sahabatku, bernama Dita mengajakku untuk belajar merajut. Kebetulan dia baru tahu kalau temanya yang bernama mbak Niniek juga sedang belajar merajut. Yang benar saja, dalam hatiku. Mbak niniek merajut?? Ternyata benar, mbak niniek merajut dan ngakunya merajut adalah untuk teman menggosip. Haha…lucu kali alasan itu.
Kalau aku sih menerima tawaran Dita untuk belajar merajut karena aku ingin membuat kaos kaki untuk ponakanku Al. Biar terkesan berharga dan penuh perjuangan ketika membuatnya. Tapi sebenarnya biar ngirit sih. Selain itu, aku juga pengen punya kebisaan, meskipun hanya merajut. Namun seiring bergantinya jam, ada lagi alasanku belajar merajut yakni karna arti kata merajut sendiri. Selama ini para pujanggis-pujanggis atau puitiorpuitior sering menggunakan kata merajut dalam syair-syair ataupun puisi-puisi mereka. Nah, aku sendiri pun juga pernah menggunakan kata itu untuk sebuah perumpamaan. Namun, aku sebelumnya belum pernah merasakan bagaimana sih merajut itu.
Pagi itu, setelah kami pulang dari belajar merajut, aku pulang. Kucoba-coba lagi merajut. Kuposisikan benang pada posisi yang nyaman, kukaitkan satu tali ke tali yang lain. Baris pertama memang gampang, yang sulit hanyalah yang awalan saja yakni pada bagian menyimpulkan. Hati-hati sekali untukku mengkaitkan satu benang ke benang berikutnya. Kemudian, langkah mau menuju baris yang kedua. Ini menggunakan tali ganda, yang ini lebih rumit dari yang baris pertama tadi. Pelan-pelan kucoba memasukkan benang kedalam lubang yang sangat kecil. Sulit. Namun, kuterus-terus merajut saja. Namnya juga permulaan. Ketika aku melihat seluruh rajutanku yang masih  berupa garis lurus, agak kecewa karena tidak begitu rapi, namun juga bangga karena aku bisa merajut.
Disitu, aku bisa merefleksikan merajut dengan sebuah kehidupan. Jika dalam produk asli merajut adalah tas, syal, kaos kaki, namun dalam kehidupan hasil dari merajut adalah persahabatan, cinta, dan kesuksesan. Yang dirajut bukanlah benang, melainkan waktu. Persahabatan menjadi persahabatan karena rajutan waktu-waktu yang ada. Aku dan dita, tidak menjadi sahabat hanya dalam sekali jepret saja. Namun, kami merajutnya selama bertahun-tahun. Kami sering mengalami masa-masa sulit ketika ego kami sama-sama tidak mau mengalah, ketika kami tidak mampu mengontrol emosi, dll. Namun, kami berusaha untuk menahan itu semua, mengatur itu semua. Akhirnya, kami sekarang bisa menyebut hubungan kami adalah persahabatan. Cintaku padaNya adalah rajutan dari kumpulan waktu-waktu. Kurajut cinta padaNya dengan solat-solatku, tilawahku, dan kesabaranku. Tidak jarang aku memberontak, tidak jarang aku tersungkur. Namun, semakin banyak kesulitan itu, rajutanku semakin kuat.semakin kuat.

Bu Guruku Jahat (Cerita dari Pulau Seberang)


 
“Miss Tami Jahat”, ucap Moses sambil berbalik menjauhi saya. Perkataan salah satu murid saya itu membuat saya sangat kaget. Belum pernah ada yang mengatakan hal yang demikian pada saya dan saya sebaliknya belum pernah menghukum siswa hingga mereka mengatakan bahwa saya jahat.

Semester baru saya awali dengan semangat baru untuk mengajar. Saya bertekad untuk menjadi seorang guru yang ekstraordinari bagi anak didik saya. Saya mengingat ingat kekurangan cara mengajar saya di semester sebelumnya, saya membaca banyak jurnal, dan saya mendaftar permasalahan permasalahn yang terjadi di semester sebelumnya. Kemudian, saya mencoba menyusun rencana belajar untuk beberapa pertemuan kedepan sekaligus membuat media dengan peralatan sederhana yang saya punya. I am on my mood dan berusaha untuk semangat serta tersenyum menghadapi anak anak. Dalam keyakinan saya, energi positif pasti akan menular.

Great. Kuawali pertemuan pertama dengan vocabulary game. Semua kelas sangat senang. Termasuk kelasnya Moses. Pada pertemuan berikutnya sudah mulai untuk materi. Waktu itu kupilih pelajaran listening (mendengarkan) untuk menjadi skill pertama yang diajarkan. Karena tidak ada sambuangn listrik di kelas kelas, maka saya memilih teknik dictation yakni dengan guru membaca kemudian siswa mencatatnya. Hari yang full pelajaran, panas yang terik, dan perut yang keroncongan. “No excuse”, tekad saya dalam hati. Saya harus tetap semangat mengajar mereka.

Panjang kalimat yang di dekte adalah satu paragrapah yang terdiri dari 6 baris. Dan saya harus mengulangi setiap katanya kadang 5 sampai 6 kali. Perlu diketahui, disemester sebelumnya, saya tidak pernah marah. Ketika siswa tidak mencatat, maka saya memberi kebebasan mereka untuk memilih tinggal di kelas dengan mencatat, atau tidak mencatat namun harus meninggalkan kelas. Namun, jika peraturan itu tidak dipatuhi, maka ya sudah saya tetap mengijinkan mereka di kelas. Saya masih tetap berangapan bahwa mereka mungkin akan menyerap apa yang saya sampaikan meski tidak mencatat. Namun, sepertinya anggapan saya tersebut tidak cocok untuk diterapkan di murid murid sini.

Hari itu saya marah melihat murid murid saya di kelas tidak mencatat. Saya merasa mereka kurang menaruh hormat kepada gurunya. Seorang Guru sudah berteriak teriak lantang berusaha agar murid muridnya mendengar dan jelas, serta menulis di papan tulis, namun semua hal itu tidak dihargai. Mereka tidak menghargai guru dan ilmu pengetahuan. Padahal, saya diberi tugas pula untuk menanamkan nilai kehormatan tersebut pada siswa. Akhirnya raut muka saya berubah. Saya menyuruh lima orang anak yang tidak mau mencatat keluar kelas. Mereka boleh masuk hanya ketika sudah menyalin paragraph yang saya tulis tadi sebanyak 20 kali dan harus mengahadap wali kelas mereka. Mereka senang kalau disuruh keluar kelas. Hari berikutnya mereka belum menulis 20 kali juga. Sampai pada pertemuan keempat. Dalam hati saya terus berdoa semoga ketika mereka menulis, paling tidak mereka mengenal dan hafal bagaimana cara penulisan kata kata itu dalam bahasa inggris.

Dikelas yang lain juga, ketika tidak membawa buku bahasa inggris, maka mereka harus menulis sebuah paragraph sebanyak 10 kali.

Oh God. I really hope this will work. I don’t know how to face them anymore. Apakah saya mengajar dengan keras? Saya kira tidak. Saya hanya mencoba untuk tegas dengan mereka dan membuat mereka merasa memiliki ilmu. That’s all.

Aku dan Prof. Syafi’i Ma’arif


Saya sependapat dengan pendapat Prof. Syafi’ai dalam artikelnya yang berjudul "Di Bengkel Itu ada Ayat Allah" di Harian Kompas. Beliau mengatakan bahwa tidak perlu kita mencari cari dimana sih kita mencari cari Tuhan dengan menguasi theory big bang ataupun menbaca buku karya Fisikawan Inggris, Stephen Hawking yang berjudul A Brief History of Time. Menurut beliau, Ayat Allah bisa dijumpai pada peristiwa atau fenomena alam yang sifatnya sangat sederhana.
Pagi itu beliau pergi ke sebuah bengkel di dekat rumahnya untuk membenahi sepeda yang sedikit ada masalah. Bengkel itu ada di Yogyakarta. Disitu, beliau bercerita, di bengkel tersebut, Si Tukang bengkel sedang membenahi sepeda anaknya. Dan ketika itu anak Si Tukang Bengkel meminta dibelikan es krim, namun Bapak Si Tukang Bengkel mengatakan bahwa tidak usah saja karena es itu nanti bikin batuk. Dan anaknnya tidak meronta sama sekali malahan menerimanya dengan tersenyum. Adalah Ayat Allah tentang Kepatuhan disitu. Kemudian, Bapak Tukang Bengkel tersebut juga tidak mematok harga yang mahal untuk sebuah ongkos tambal ban dan service sepeda padahal Bapak Tukang Bengkel tersebut hidup di kota modern yang bisa saja mematok harga yang lebih dari itu. Prof. Syafi’I juga menambahkan bahwa Bapak Tukang Bengkel tidak mau untuk menjual bensin meskipun peluang untung sangat besar dengan alasan beliau tidak ingin merebut rejeki teman sebelahnya yang berjualan bensin. Adalah ayat Allah disitu rezeki teman jangan direbut, sekalipun peluang untuk menambah pendapatan terbuka lebar.
Di pagi hari saya membaca tentang pengalaman Prof. Syafi’I, sorenya saya menemukan ayat Allah di seorang keluarga tukang bengkel di sini, Malinau, Kalimantan Utara. Rutinitas di sore hari saya adalah mengajar TPA. Perjalanan dari rumah sampai dengan lokasi TPA saya tempuh dengan menggunakan sepeda. Sepeda tersebut bukan milik saya, melainkan milik seorang keluarga yang mengelola TPA .Sore itu sepeda itu agak rewel. Entah kenapa setiap kuayuh maka akan ada bunyi “nguk nguk” dari ban bagian belakang. Sampai sampai orang pada noleh ketika saya lewat mendengar suara sepeda yang kupakai itu. Saya yang tidak tau menau masalah sepeda langsung berfikir cepat saja untuk pergi ke sebuah bengkel yang berada di dekat TPA. “Pak, permisi, apakah bisa membenahi sepeda saya? Ada suara nguk nguk dibagian belakangnya?”, tanya saya pada Bapak tukang bengkel itu. “Bisa Mbak”, jawab bapak itu. Saya lihat sedang ada banyak motor yang antri untuk service disana, maka saya memutuskan untuk pergi ke TPA dulu dan akan mengambilnya setelah pulang dari TPA.
Saya sedikit mengenal keluarga itu. Bapak tersebut adalah warga baru disitu, baru kira kira 5 bulan, rantauan dari Jawa bersama ketiga anaknya dan seorang istrinya. Sesampainya di kampong tersebut, beliau langsung mendirikan gubuk kecil dipinggir jalan dan sekaligus sebuah bengkel kecil kecilan. Hanya terdiri dari ruang depang yang berfungsi untuk ruang tamu sekaligus tempat penyimpanan alat alat bengkel yang kurang lebih luasnya 3 x 2. Diruang tengah sepertinya adalah ruang bersama sekaligus ruang tidur yang besarnya kurang lebih sama, dan dibagian belakang ada satu ruang kecil yang kemungkinan adalah ruang dapur. Kamar mandi terletak dibelakang terpisah dari rumah. Saya tidak tau pasti, hanya melihat sekat sekat ruangnya dari jalan saja. Dan, istrinya meninggal dua bulan yang lalu. Bapak Tukang Bengkel tersebut sekarang adalah seorang single parent. Anak anaknya masih kecil, yang paling besar kelas 1 SMP, nomor dua kelas 3 SD, dan yang terakhir adalah berumur 3th.
“kring kring”, bunyi bel sepeda. Saya menoleh. Hah, anak lelaki itu. “Ya Ampun dek, makasih banyak ya sudah diantarkan. Berapa dek biayanya?”, tanya saya. “Tidak usah Bu”, jawab si Anak Lelaki tukang bengkel tersebut. “Hah,,jangan dek, berapa?”, desak saya. “Ga usah bu. Tadi rujinya yang bengkok”, jawab dia pendek. “Ya lah,,terimakasih ya Dek”, jawab saya.
Glek. Ayat Allah terbentang lagi. Ketulusan. Semangat persaudaraan dan saling tolong menolong. Tidak materialistik. Saya tersentuh melihat keluarga tersebut. Sangat bersahaja. Tidak serakah. Selalu merasa cukup. Selalu merasa yakin bahwa bersedah tenaga tidak akan mengurangi rejeki yang diberikan olehNya. Kalau para koruptor koruptor itu membaca Ayat Allah ini, apakah mereka tidak malu? Mereka yang berpendidikan, namun perilakunya tidak berpendidikan. 

#2013
#Malinau
#Suatu sore