Memperbaiki Ekspektasi Calon Suami

Aku sekarang sedang taaruf dengan seseorang. Oh, bukan. Terlalu ketinggian kalau menggunakan istilah taaruf. Soalnya aku komunikasi dengan beliau via wa dan telp. Itu pun kadang ngobrolnya seperti ngobrol dengan teman. So, let me just call it as "proses kenalan". 


Kenapa tidak disebut pacaran? Oh, tidak juga. Kalau pacaran itu kan identik dengan adanya perasaan sayang antara kedua belah pihak. Kami belum sampai pada tahap itu. 


How did you meet here? 

Aku punya teman. Temanku itu sudah menikah. Suaminya adalah seorang guru di salah satu pondok pesantren di kota Klaten. Sebut saja namanya Ustadz Agus. Suaminya itu juga membimbing kelompok bapak-bapak pengajian. Salah satu bapak tersebut namanya Pak Joko (nama samaran). Pak Joko mempunyai anak laki-laki. Sebut saja namanya Oki, tentu saja bukan nama sebenarnya. Pak Joko meminta Ustadz Agus untuk mencarikan istri buat Oki. Lalu, Ustadz Agus meminta Oki untuk membuat biodata terkait dirinya. 


Singkat cerita, melalui perantara istri Ustadz Agus, biodata itu sampai padaku. Sungguh tidak ada masalah dengan biodatanya. Kriteria standarku terpenuhi. Lalu, kami pun bertemu secara fisik. Sudah dua kali, sejauh ini. Yang pertama, bersama-sama keluarganya. Yang kedua, cuma aku sama dia dan ditemani sepupu saya. 


Lalu?

Baiklah. Ijinkan aku bercerita ya. Jadi, ada dalam diri dia yang aku belum bisa menerima. Beberapa hal sepele yang aku belum bisa terima. Seperti kondisi fisiknya, contohnya. Entah mengapa, ketika bertemu dengannya, hatiku berkata bahwa dia bukanlah orangnya. Ketika berbincang dengannya, beberapa nyambung namun kenapa hal tersebut tidak bisa mengisi hatiku. Biasanya kan kalau kita habis melakukan percakapan dengan seseorang yang kita cocok denganya, ada perasaan lega dan hatinya itu terasa terisi penuh. Tetapi, dengannya, aku tidak bisa merasakan itu. 

 

Aku bingung. 

 

Oh ya, aku sepertinya juga melakukan ekspektasi yang berlebihan kepada calon suami. Seperti, harapannya suamiku mempunyai taste berpakaian dan tempat ngobrol yang sama denganku. Nyatanya tidak. Aku berekspektasi dia mempunyai ilmu agama yang dalam, namun nyatanya belum. Aku berekspektasi dia menjadikan Islam sebagai way of life, namun hal-hal kecilpun tidak dilakukannya. Aku berekpektasi suamiku itu merawat tubuhnya dengan baik, nyatanya belum. Aku berekspektasi dia mampu berkata-kata yang mampu mengisi jiwa, nyatanya juga belum. Aku berekspektasi dia mempunyai rumah dan mobil, nyatanya juga belum. Aku berekspetasi suamiku mempunyai tatapan mata yang tajam dan cerdas, nyatanya yang kutangkap adalah tatapan mata yang hambar. 


Akhirnya yang kudapat adalah perasaan tidak tenang dan kecewa. Ada yang salah? Tentu. Seharusnya aku tidak banyak berekspektasi tinggi-tinggi terhadap calon suami. Aku harus banyak mempersiapkan ketimbang menumpuk harapan duniawi yang amat tinggi. 


Materi yang disampaikan oleh narasumber di sebuah kajian SAMAWA yang aku ikuti tadi malam sungguh menohokku. Membuatku bertanya-tanya, apakah aku benar-benar siap menikah? 

  • Nyatanya aku belum siap menghadapi hal-hal yang ga terduga (pengetahuan agamanya dangkal)
  • Nyatanya aku belum siap untuk tidak mengendalikan sesuatu (nyatanya aku menyuruhnya untuk diet)
  • Nyatanya aku tidak siap belajar memahami perbedaan
  • Nyatanya aku tidak siap bekerjasama (tidak bersedia jika aku diminta juga menanggung nafkah)
  • Nyatanya aku belum bisa mengendalikan diri (aku marah-marah saat bertemu dengannya pertama kali gegera dia hanya mengajakku makan di warung soto)
  • Nyatanya aku belum siap untuk adaptasi dan menghadapi hal-hal baru

 

So, sekarang yang aku lagi lakukan adalah mengambil jeda. Kemarin-kemarin sepertinya aku sedang berada di jalur dan arah yang salah. Saatnya kembali pada jalan yang lurus. 


Bismillah.