Antara Kucing dan Perasaan Manusia

"Tam, mreneo, kucinge moro meneh", teriak Ibuk di subuh hari. 
Saya sangat exited mendengarnya, dan buru-buru lari keluar memenuhi panngilan ibu. Beberapa hari sebelum hari itu, Ibuk selalu bercerita kalau ada Kucing Anggora yang datang ke pekarangan rumah, sekedar untuk duduk. Ibuk bilang kucingnya sangat besar, bulunya lebat, warnanya putih bersih. Tetapi, badannya nampaknya kurus dan dia kelaparan. Karena Ibuk terlalu sibuk, Ibuk tidak sempat memberinya makan. Ditambah lagi, Ibuk tidak tau menau tentang makanan Kucing Anggora yang konon mempunyai makanan khusus.
"Kae, deloken, apik tho?", ucap Ibuk.
"Woaaah, kereeen Buk!", jawab saya penuh takjub. Saya memandanginya sebentar, dan kemudian masuk rumah kembali karena akan pergi beraktifitas. Ketika saya keluar rumah kembali untuk pergi, Si Kucing sudah tidak ada disitu.
Kata Ibuk, kucing itu beberapa hari datang kerumah. Bahkan, sempat berani untuk masuk rumah. Mendengar kenyataan itu, sebuah ide pun melintas di kepala saya.
"Buk, nek kucinge mrene meneh, kek ono maem yo Buk, opo Susu Bendera", rengek saya pada Ibuk.
"Koe kuat ngopeni?", tantang Ibuk,
"InsyaAllah kuat Buk", tegas saya.
Pada pagi hari berikutnya, Si Kucing masuk lagi kerumah. Kali ini, jarak saya dan Si Kucing sangat dekat karena dia bersembunyi di bawah motor yang biasa saya gunakan untuk beraktifitas. Dia melingkarkan tubuhnya disana. Benar kata Ibuk, dia kelihatan sangat kelaparan.
Saya pun menunda untuk berangkat kerja. Saya membuka lemari, mengambil susu, dan membuatkan susu putih untuk Si Kucing. Saya juga membuka lemari es untuk mengambil nugget, dan menggorengnya.
Semangkuk susu dan sepiring kecil nugget saya letakkan di dekat kucing putih tadi. Namun, dia malah menjauh, dan naik ke atap. Sampai atas, dia sempat menengok ke arahku, seolah-olah dia mengatakan bahwa dia takut padaku. Tatapan matanya itu seoalah-lah juga mengatakan bahwa dia bingung mencari tuanya.
Owh, saya kasihan padanya. Kemudian, dia duduk, menegakkan kepalanya, dan memejamkan matanya. Saya masih berdiri menyaksikan tingkahnya. Sesekali dia membuka matanya dan menatap ke arah saya. Pada saat dia membuka matanya untuk waktu yang agak lama, saya bilang sama dia, "Cing, kowe luwih kan? Maem mo. Ngeleh kowe mengko. Uwis, ojo wedi karo aku. Tak rawat nek koe gelem mrene. Mengko sore tak gawakke maem an kesukaanmu".
Setelah saya selesai bercakap, kalian tahu apa yang dilakukan Si Kucing itu? Dia memejamkan matanya kembali, dengan posisi kepalanya tegak. Heh, saya cuma geleng-geleng kepala. 
Karena waktu sudah makin siang, maka saya meninggalkan Si Kucing. Berharap, Si Kucing mau untuk saya rawat. 
Di tengah perjalanan menuju tempat kerja, saya memikirkan sikap Si Kucing. Dia datang kerumah saya, namun ketika saya dan Ibuk mendekatinya, dia malah takut dan pergi. Saya memang tidak tau menau karakter kucing, namun mungkin sikap kucing seperti itu sudah biasa. Sebagai seekor kucing yang sedang mencari suaka, dia perlu waktu untuk adaptasi. Dia perlu waktu untuk mengenal tuanya. Dan baiklah, saya putuskan untuk menunggu saja. Hahaha, macam menunggu jodoh saja
Sikap kucing tersebut juga membawa alam fikiran saya kepada karakter hati manusia. Hihihi, dalam banget yak perenungan tentang kucing ini. Bahwa, sekeras apapun usaha kita untuk memenangkan hati seseorang, kita tetap tidak akan berkuasa untuk memenangkannya. Sebab, hati adalah urusan yang rumit. Sebab, hati adalah urusan Tuhan. 
Untuk itu, saya berharap kepada Tuhan, jika kucing itu baik untuk saya dan keluarga, maka jadikanlah kucing tersebut peliharaan kami.

Punya Anak Banyak Bukan Alasan

"Punya anak banyak bukan alasan", ucap Avis.


Pekan ketiga bulan Juli 2016, saya dan Avis berkesempatan untuk berjumpa di kota Jogja setelah hampir 4 bulan tidak bertemu. Avis adalah satu-satunya teman yang mempercayai doa yang tersemat dalam alamat email saya, tami.bijaksana@gmail.com. Baginya, entah jujur atau hanya membumbung, saya terkadang bisa menjadi bijaksana ditengah-tengah dominasi sifat negatif saya yang ceroboh. Hahahaha.

Namun demi kebahagiaan hati, maka saya mengganggap statement Avis itu jujur. Karena itulah saya suka berteman dengannya. I feel I am a good girl when I meet her. She can see the positive things inside myself though others cannot.

Kami bersepekat untuk bertemu di tempat pernikahan teman kami, Mbak Ria di Perumahan Puri Sakinah 2, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Jadilah momen pernikahan Mbak Ria sebagai salah satu ajang reuni dan ajang silaturahim para santri Asma Amanina. Saya bertemu anak-anak Asma lintas angkatan. Saya bertemu dengn Ustadz Deden Anjar (Pengasuh Ponpes Asma Amanina), dan keluarganya (Umi Isma, Haura, Aiman, dan Adiknya Aiman). Tidak ketinggalan, saya bertemu dengan guru-guru tahsin yang pernah mengajari membaca Al Qur'an kepada saya. 

Kami saling bertegur sapa. Bertanya sekedarnya. Saling tersenyum. Saling mendengarkan. Saling mengerti. Tidak ada suasana ingin saling menonjolkan. Kami saling merendah untuk menciptakan pertemuan yang damai. Rasanya adem bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang mengusahakan untuk menjadi baik di hadapan Sang Pencipta.

Acara walimahan selesai, saya dan Avis sudah kenyang dan kami pun beranjak pergi. Dia sengaja saya ajak untuk ikut bersama keluarga saya berpiknik ke pantai Goa Cemara. 

Di pantai, sambil menunggu sunset, kami bercerita tentang cerita-cerita yang selama ini saling kami lewatkan. Saat itu, saya berniat untuk melaunching salah satu nilai yang ingin saya jalankan, yakni "tidak ada yang disembunyikan kepada sahabat". Dan Avis adalah salah satu orang yang saya deklrasikan menjadi sahabat dalam hidup saya. 

Avis memulai bercerita tentang rencananya ke depan. Dia bercerita tentang kegiatanya selama menuntut ilmu di Bogor, pelajaran-pelajaran kehidupan yang dia akhirnya petik, cek-cok dengan bapak-ibu nya, dan sampai dengan soal kisah romantikanya. Tidak ada disembuyikan. Dia jujur bahwa dia sedang pusing, takut, dan bingung. All things I did not realize about her condition by only guessing from her happy face. 

Saya akhirnya juga belajar untuk terbuka dengan Avis. Saya pun juga menceritakan tentang apa yang sedang saya rasakan dan fikirkan saat ini, dan kisah-kisah yang Avis lewatkan dari saya. Termasuk juga berbagi tentang masalah-masalah batin yang sedang saya coba untuk selesaikan.

Percakapan saya dan Avis selalu berjalan dan berakhir dengan serius. Kami keseringan terlalu serius menghayati perjalanan hidup masing-masing. Sampai suatu ketika percakapan itu tinggal kenangan saja, seperti saat saya menulis ini, maka saya hanya bisa geleng-geleng kepala sendiri, menertawakan dan sekaligus bangga dengan ulah sok filsuf kita. 

Tapi, setelah bertemu dan bercerita dengan Avis waktu itu, ada beberapa pesan yang membekas dalam benak saya dan memberikan pelajaran kepada saya. Seperti antara lain:
 1. Ketika kami bercerita tentang kesibukan urusan kita masing-masing, dan sampai-sampai tidak tau kabar teman/tetangga kita, Avis kemudian teringat salah satu kata-kata dari seorang working mother, "Punya anak banyak bukan alasan". Iya, saya sepakat. Bahwa ketika kita sudah berubah status menjadi Ibu dengan banyak anak, maka hal tersebut tidak kemudian menjadi alasan kita untuk tidak memperhatikan hak-hak orang-orang disekitar kita, seperti menghadiri pernikahan, membalas sms, datang tepat waktu ke sebuah majelis, mempunyai rumah yang rapi, khatam satu kali selama bulan Ramadhan, dan mempunyai berat badan yang ideal. Hahahaha.
2. Bahwa untuk mencapai kebahagiaan, tidaklah kita perlu mencarinya kemana-mana jika hal itu malah membuat frustasi. Namun yang perlu dilakukan adalah dengan menurunkan standar kebahagiaan kita.
3. Bahwa untuk menciptakan kebahagiaan kepada orang lain, terkadang ada sesuatu yang harus dikorbankan. Kalimat tersebut Avis kirim ke layar handphone saya, ketika saya mengabarkan kondisi saya di malam hari di hari itu, "Avis, di jam segini (21.21), aku masih nganter ponakanku untuk cukur rambut. Aku udah ngantuk. Dan kuputuskan untuk pulang ke rumah besok pagi. Aku memutuskan untuk stay di rumah mbakku semalam lagi".



Mengulang-ulang Ilmu

Salah satu sebab saya mendapatkan rejection letter beberapa waktu lalu adalah karena tidak lain saya itu blekak-blekuk dalam berbicara dalam bahasa Inggris. Padahal,saya itu lulusan bahasa Inggris lho. Namun, kenyataan pahitnya adalah saya tidak mengusasi penuh tentang ilmu yang saya geluti di selama di bangku kuliah. Kenyataan pahit berikutnya adalah bahwa nilai IELTS saya jauh dibawah anak dosen saya dari jurusan Ilmu Komunikasi di kampus teratas negeri ini.

Kenyataan yang menyesakkan dada. Hiks. Tetapi, hal tersebut kemudian menjadi penyulut saya untuk mengambil sebuah langkah. Terinspirasi dari film Filosofi Kopi, saya ingin menghidupkan kembali mimpi yang dulu, yakni menjadi seorang pengajar Bahasa Inggris yang handal. Saya ingin mengajari anak-anak bagaimana berbahasa Inggris yang baik dan beradab. 

Therefore, saat ini saya mensetting diri saya pribadi sebagai seorang pre-intermediate English learners (you know, sudah berpuluh-puluh purnama saya meninggalkan dunia bahasa Inggris). Saya akan memulainya dari NOL kembali (doakan istiqomah yak). Berikut adalah tiga langkah yang saya adaptasi dari sebuah link untuk bisa berkomunikasi lisan dengan Bahasa Inggris dengan lancar. 

1. One Day One Speech
Terinspirasi oleh commencement speech yang dibawakan oleh Elen DeGeneres yang amat sangat hilarious, maka saya ingin setiap harinya membuat satu teks pidato yang akan saya bacakan sebelum saya tidur. Dengan begitu, saya akan melatih kemampuan menulis dan berbicara saya at the same time. 

2. One Day One Passage
Dulu saya pernah menjadi seorang freelance English writer yang tugasnya adalah membuat evergreen news. Yakni saya mencari artikel dengan topik tertentu, kemudian saya menuliskanya kembali dengan kalimat saya sendiri. Yah, dan saya akan memulainya lagi, insyaAllah.

3. One Week One Song
Saya jarang mendengarkan music, terus terang saja. Haha. Namun, untuk mendukung misi saya di atas, maka saya akan mewajibkan kepada diri saya pribadi untuk mendengarkan satu musik berbahasa Inggris. Saya akan memahami isinya, dan memperhatikan penggunaan kata yang dipilih. Sesekali saya akan menyanyi bersama penyanyinya, namun tidak dalam satu panggung lho yah. Saya juga akan mencoba menuliskan review isi lagu tersebut.
 
4. One Week One Movie
Yes, inilah yang ditunggu-tunggu. Watching movie. Salah satu aktifitas yang amat saya sukai. Namun, kali ini, agar menonton filmnya tidak berlalu sia-sia, saya akan menjadikan movie tersebut sebagai salah satu media untuk meningkatkan kemampuan berbahasa saya. Saya akan membuat sebuah laporan yang berbentuk review yang isinya antara lain, main idea, quotes of the movie, lesson from the movie, dan vocabulary/phrase/idiom yang ada dalam film tersebut.

Itulah empat rencana yang akan saya lakukan untuk complete my mission. It's always easier to talk than done. But, doakan, semoga semangat saya terjaga untuk mewujudkan misi tersebut. Banyak godaan di kanan kiri kawan untuk saya give up.

So, itulah misi saya dalam waktu dekat ini? Kalau kamu apa?

Filosofi Kopi: Menemukan Diri Sendiri


 

"Saya tidak pernah main-main untuk urusan kopi", ucap Ben.

Kalimat tersebut di ulang sebanyak dua kali oleh Ben (Ciko Jeriko) dalam film karya Angga Dwimas Sasongko yang berjudul Filosofi Kopi. Ben adalah seorang barista professional di kedai Filosofi Kopi milik Joni (Rio Dewanto). Ben adalah seorang yang sudah menyatu dengan kopi. Masa kecilnya dekat dengan dunia kopi. Ayahnya adalah seorang petani kopi. Ketika bertumbuh dewasa, dia berkeliling dunia untuk menuntut ilmu tentang kopi. Baginya, kopi adalah perwakilan jiwa seseorang. Baginya, kopi adalah cerminan karakter manusia.

Keseriusan Ben akan kopi sangat terlihat akan cara bagaimana dia meracik kopinya untuk para pelanggan yang datang di kedainya. Dengan wajah yang serius namun santai (enak dilihat deh pokoknya), dan tangan-tangan yang extra hati-hati menuangkan kopi-kopinya, Ben berhasil menarik para penggila kopi ibukota untuk datang ke kedainya. Daya tarik Ben juga di dukung dengan memberikan satu kartu untuk satu cangkir kopi yang di pesan. Isinya kartunya apa? Isi kartunya adalah karakter akan kopi yang dipesan. Kopi tubruk melambangkan bahwa orang tersebut apa adanya; sederhana; tidak begitu memperhatikan penampilan; namun menyimpan kekuatan luar biasa. Kopi capuccino merepresantikan kelembutan; kegenitan; keindahan; dan sangat mempedulikan penampilan.

Puncak kebermaknaan kopi dalam hidup Ben saya lihat ketika ada seorang investor yang memberikan tantangan kepada Ben untuk membuat satu ramuan kopi yang belum pernah ada di dunia ini. Konon katanya, investor tersebut sudah melakukan perjalanan keliling dunia untuk menikmati kopi-kopi yang ada. Ben menerima tawaran tersebut. Selama dua minggu, Ben berjibaku dengan ramuan kopi tantangan tersebut. Dia mulai dengan memilih biji-biji kopi terbaik yang ada. Dia mengikuti pameran biji kopi dan menawar pelelangan dengan harga yang sangat tinggi. Dia membaca banyak buku tentang kopi dan ramuanya. Dia tidak tidur dan tidak mandi berhari-hari demi untuk melakukan percobaan ramuan kopi yang tidak ada duanya.

Ben mempunyai keyakinan kuat tentang ramuan kopinya. Ben tau betul bagaimana cara mensangrai kopi. Ben tau betul bagaimana cara menanam kopi (pemilihan pupuk, tingkat kemiringan tanah, pemotongan kopi, komposisi air) sehingga menghasilkan biji kopi spesial. Ben paham sekali bagaimana dia harus menuang dan menggiling kopinya agar tercipta secangkir kopi nikmat.

"All out" adalah satu komentar yang pas untuk kerja keras Ben menciptakan kopi tantangan itu. Ben menamai kopi tersebut dengan sebutan "Ben's Perfecto". Ramuan kopi terakhir yang dibuat Ben. Master piece nya Ben. 

Apakah Ben's Perfecto memenangkan taruhan tersebut? Sudah bisa tertebak. Keberhasilan selalu berbanding lurus dengan usaha yang sungguh-sungguh (dan tentunya doa serta keyakinan yang kuat). Keberhasilan selalu disertai dengan kerja larut malam. Keberhasilan pasti mencicipi masa-masa keputus asaan.

Overall, saya menyukai film tersebut. Saya menyukai karakter Ben: Menseriusi satu pekerjaan; Menjadi ahli dalam bidangnya; Bekerja dengan maksimal; dan Menjiwai apa yang dikerjakan. Bagi saya, Ben adalah representasi orang sukses. Bagi saya, selain bermanfaat untuk banyak orang, definisi orang sukses adalah mereka yang mampu jujur terhadap dirinya sendiri, dan menemukan siapakah diri mereka sesungguhnya.