Wisata Alam Kulonprogo (Hutan Mangrove dan Pantai Glagah)

Liburan sekolah adalah waktunya saya untuk menghabiskan waktu bersama para ponakans (Al, Habib,  Syifa).

Seperti biasanya, liburan kami digunakan untuk mengeksplorasi wisata alam yang ada di lingkungan sekitar (Klaten dan Jogja). Sebab anak-anak pada suka wahana yang dekat dengan alam.  Sebab anak-anak suka air.  Sebab anak-anak suka pasir.  Sebab anak-anak suka angin. Dan sebab mall terlalu konsumtif untuk dijadikan tujuan wisata.  Hahaha. 

Hari libur natal.  Bangun tidur saya masih belum tau mau kemana hari itu.  Posisi saya dan ponakans sudah ada di rumah kakak saya yang berada di Gamping,  Sleman,  Yogyakarta.  Tepatnya di Jl.  Wates.  Kalau ke arah kanan, kami menuju kota Yogyakarta,  kalau ke arah kiri kami menuju ke Kulonprogo.  Well,  setelah menimbang-nimbang kemacetan yg kemungkinan terjadi di hari libur,  kami memutuskan untuk mengambil liburan ke arah Kulonprogo yg jalanannya tidak macet.

Eit,  selain itu juga,  saya pribadi sangat suka jalanannya.  Kanan-kirinya sawah padi dan berbaris tak putus putus pegunungan menoreh. Sejuk dan indah nian. Dan yang pasti,  jalanannya lebar dan lenggang.

Well,  lanjut ke destinasi wisata.  Ada beberapa tempat wisata di Kulonprogo.  Ada Waduk Sermo.  Ada Kalibiru.  Ada Berbagai spot pantai.  Ada Wisata Hutan Mangrove.  Dan masih banyak lagi. 

Karena waktu yang sudah siang,  kami memutuskan untuk berkunjung ke Wisata Hutan Mangrove dan Pantai Glagah. FYI saja nih ya, saya berlibur hanya dengan ketiga ponakans saya. Tanpa orang tua mereka. Jadi, selain menjadi guide, saya juga belajar mengasuh tiga anak sekaligus. Wakaka, sok-sokan jadi ibu saya mah.
1. Tentang Wisata Hutan Mangrove Kulonprogo
Hutan Mangrove di Kulonprogo ini sudah lama ada sebenarnya. Lokasinya di sebelah barat selatan kota Wates. Tempatnya sangat asyik. Tiket masuk ketempat ini, per Desember 2017 adalah sebesar Rp. 5.000 per orang. Parkir mobil dikenai biaya Rp. 5.000. Anak-anak biasanya tidak dihitung biaya masuk (tapi harus menawar dulu, huhuhu).
 

Jalan masuk ke lokasi wisata ini lumayan sempit. Melewati desa-desa. Harus serba pelan-pelan kalau menggunakan roda dua. Rute masuk dan keluar dibedakan karena jalanan terlalu sempit dan tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4.

Sesampainya di lokasi, saya takjub dengan tempatnya. Hutan Mangrove yang biasa saja sebenanarnya, dikelola oleh warga sehingga menjadi tempat wisata yang elok dan instagramable. Ada banyak jembatan bambu dan spot foto. Ada banyak objek yang bisa diceritakan kepada anak-anak untuk mereka mengenal alam lebih dekat. Dan juga, untuk mereka mengenal penciptaan-penciptaan Yang Maha Kuasa. Tentang fungsi hutan mangrove, tentang sungai yang mengalir ke laut, tentang bambu yang bisa digunakan untuk pagar dan jembatan, dan lain-lain.









Selain ada spot untuk photo, di tengah-tengah perjalanan mengelilingi hutan mangrove yang luas, ada banyak lokasi yang bisa digunakan untuk mengistirahatkan kaki. Sambil duduk-duduk menghilangkan lelah, kita bisa menikmati semilirnya angin dan pemandangan sekitar. Wuush, hati-hati ketiduran lho ya!

Selain pemandangan yang elok, disana juga disediakan perahu air untuk mengantar pengunjung berkeliling hutan mangrove sekaligus melihat pertemuan antara sungai dan laut selatan. Anak-anak biasanya menyukai perahu dan air. Naik perahu kayu ini lumayan murah. Yakni Rp. 10.000/orang. Satu perahu biasanya berisi 10 orang.
 

Tidak rugi untuk mengunjungi tempat ini. Tempatnya edukatif dan elok dipandang mata.

2. Tentang Pantai Glagah
Setelah puas menikmati wisata hutan mangrove, kami menuju ke destinasi selanjutnya, yakni Pantai Glagah. Tiket masuk Pantai Glagah Rp. 5.000/orang dan parkir kendaraan roda 4 adalah sebesar Rp. 10.000.  Pantai Glagah berbeda dengan pantai-pantai yang ada di Yogyakarta. Daya tarik Pantai Glagah adalah deretan tetrapod sebagai pemecah ombaknya. Ada banyak penjual di sepanjang jalan menuju pantai. Ada kolam renang anak. Ada laguna yang luas. Di laguna tersebut, kita bisa main bebek-bebekan air serta bisa naik perahu mengelilingi laguna. Di sepanjang laguna, ada spot untuk duduk santai sambil menikmati udara dan menunggu sunset. Tidak rugi deh pokoknya jauh-jauh datang ke tempat ini.

Well, setelah matahari sudah tenggelam dan pengunjung pada mulai meninggalkan lokasi pantai, kami pun segera siap-siap pulang. Alhamdulilah.





Edward Showroom di Manding (Pusat Kerajinan Kulit)

Siapa yang ngaku traveler?
Siapa yang nyantumin hobi jalan-jalan di CV nya?
Pasti kalian udah pernah ke Jogja dunk. Kota yang jadi tujuan favorite warga Indonesia tercintah.

Yup, ada banyak hal seru tentang Jogja geis. Wisata seni, kuliner, dan alamnya. Semuanya komplit dan tersaji di Jogja. Alhamdulilah ya.

Kali ini, saya mau berbagi tentang salah satu spot oleh-oleh di Jogja. Hmmm, bukan Jogja sih tepatnya. Namun ada di Bantul. Namanya daerah Manding. Pusatnya kerajinan kulit di Jogja. Letaknya ada di Jl. Parangtristis. Agak jauh dari kota Jogja. Namun lumayan dekat dengan pantai selatan.
Image result for Manding bantul
Sumber: http://yogyakarta.panduanwisata.id
 
Ketika sudah masuk daerah Manding, di kanan kiri jalan akan banyak berjajar showroom kerajinan kulit: tas, sepatu, dompet, ikat pinggang, dan aneka hiasan.

Dan disini, saya mau review satu showroom yang paling ruame di Manding. Nama showroomnya adalah Edward. Terletak di kanan jalan jika dari Jl. Parangtritis.


Well, untuk kalian yang low budget, saya highly recommend you to visit showroomnya si Edward nih. Why?

Karena pertama-tama yang pasti adalah harganya bersaing dengan yang lain. Harganya murah geis jika dibandingkan dengan toko-toko lainya. That's why showroom ini showroom yang paling rame di antara yang lainya. Kedua, barang-barangnya lumayan bervariasi. Jadi, kalian bisa memilih banyak barang dari yang paling murah sampai paling mahal. Ketiga, semua barang dapat diskon. Yup, diskon maksimal 25%. Lumayan kan?

Nah, jika kalian penyuka barang kulit, semoga tempat ini cocok buat kamu ya!

Semoga bermanfaat!
Happy sharing!

Pasti Ada Maksud Di Balik Penciptaanmu, Kawan


Saya tidak tahu nama bapak yang ada di gambar di atas. Ketika saya menginap di rumah kakak saya di Gamping, Sleman, saya mendapati bapak tersebut sedang mencangkul tanah di kebun milik kakak saya. Kata kakak saya, Mbak Uli, bapak tersebut sengaja dipanggil untuk membersihkan dan mencangkul kebun mbak Uli.

"Bapake kuwi hidup sebatang kara lho Tam. Rumahnya reyot. Tapi, bapaknya kuwi pekerja keras. Sangat telaten dan bagus mengerjakan kebunku. Bapaknya juga dermawan ditengah hidupnya yang pas-pasan. Aku dikasih benih pisang lho".

Begitulah pemaparan Mbak Uli tentang bapaknya. 

Glek. Saya terasa tertampar.

Lihatlah wajah bapaknya. Sumigrah bukan? Kelihatan bahagia dan menikmati hidup bukan?

Saya kemudian ingat beberapa sikap saya beberapa waktu lalu yang banyak mengeluh tentang kondisi saya. Saya tidak menikmati moment dan tidak menikmati waktu present. Saya sibuk memikirkan hal-hal yang jauh dari diri sendiri. Saya kurang menghargai apa-apa yang sudah diberikan Allah kepada saya. Ya, nikmat masih mempunyai orang tua. Nikmat kesehatan. Nikmat dikumpulkan dengan orang-orang baik. Nikmat Islam.

Saya terlalu melihat ke atas tanpa kesadaran. Mereka yang sudah di atas pasti usahanya lebih keras lagi. Mereka yang sudah di atas pasti jatuh bangunya lebih banyak lagi. Mereka yang sudah di atas pasti banyak mengalahnya dan super ekstra kesabaranya. Jadi, sungguhlah tidak pantas jika saya mengeluh sedangkan saya belum selelah mereka. 

Ya, menjadi sadarlah Tami. Jangan putus asa. Sebab, jika putus asa, maka pintu-pintu kebaikan akan seketika tertutup oleh energi negatif yang tak jua kau musnahkan.

Ada maksud kenapa kamu diciptakan. Galilah potensi itu agar keberadaanmu bermanfaat. Genggamlah erat moto hidupmu Tami. Bahwa Ridho Allah adalah yang utama. Bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang bermanfaat untuk sesama. 

Semo

Kapal Api adalah Sahabat Rakyat Negeri


Namaku Tami. Aku adalah anak seorang petani. Ibu dan bapakku tinggal di sebuah desa kecil di kabupaten Klaten. Desaku adalah desa yang masih asri dan sejuk. Banyak sawah yang terhampar luas. Banyak pepohonan besar ataupun kecil yang memenuhi setiap pekarangan-pekarangan penduduk. Tidak banyak ditemui lalu lintas padat di jalanan sehingga tidak banyak polusi udara. Maklum saja, kebanyakan penduduk desa masih menggunakan transportasi sederhana untuk menjangkau satu tempat ke tempat yang lainya. Ya, jalan kaki dan sepeda adalah andalanya.

Selain kondisi demografi yang masih sangat kental dengan karakteristik desanya, penduduk di desaku juga masih merepresentasikan penduduk desa yang sesungguhnya. Dari sisi mata pencahariannya, hampir seluruh mata pencaharian para warga adalah petani. Mereka menanam padi dan palawija: jagung dan kacang. Mereka gemar menghabiskan hari-hari mereka di sawah untuk memastikan tanaman yang mereka tanam tumbuh dengan baik. Selain itu, mereka juga senang berkumpul dengan para petani lainya untuk sekedar duduk bersama, berbincang, dan wedangan1. Dari sisi budaya masyarakatkanya, bapak-bapak dan pemuda masih aktif untuk ronda. Ketika ada masalah di desa, cepat-cepat seluruh warga bersua untuk bermusyawarah. Dari remaja hingga orang tua, semua mempunyai paguyubanya masing-masing. Jika ada satu warga yang mempunyai acara, seluruh warga dengan gegap gempita membantu secara sukarela. Jika ada yang sedang terkena musibah, keluarga meninggal atau sakit, pintu-pintu segera saling diketuk untuk membantu warga yang terkena musibah. Mereka tidak mengenal waktu ketika sudah menyangkut masalah hajat hidup orang banyak. Pagi sampai malam pun penduduk desa dengan sukarela memberikan tangan-tanganya untuk membantu sesama. Melihat fakta-fakta yang ada, aku sempat membuat kesimpulan sederhana bahwa orang desa itu suka kebersamaan. Orang desa suka akan perkumpulan.

Tak jarang, ketika aku pulang ke desa, aku sering mendapati momen-momen perkumpulan itu. Perkumpulan yang tidak banyak perdebatan. Perkumpulan yang tidak mementingkan kepentingan diri sendiri. Perkumpulan yang membahagiakan satu sama lain. Perkumpulan yang saling mentransfer energi semangat satu ke yang lainya. Aku pun terkadang juga terlibat di dalamnya. Bukan sebagai peserta tentunya, sebab perkumpulan di desa kebanyakan adalah kaum adam. Aku sering diminta bantuan untuk menyiapkan accecoris perkumpulan tersebut (red: makanan dan minuman). Jika tidak sampai larut malam atau begadang, aku biasanya hanya membuatkan teh dan snack ala kadarnya. Namun, jika sudah sampai larut malam atau hingga semalam suntuk (ronda, tetangga meninggal, menunggu sawah, tetangga punya hajatan), maka aku harus membuatkan kopi.

Ya, ternyata warga desaku adalah pencinta kopi. Ketika mereka meminta dibuatkan kopi, mereka sudah memesankan kopi apa yang akan dibuat. “Pokokmen kopine Kapal Api sik warnane ireng yo. Kui jelas luwih enak ketimbang liyane2”, ucap salah seorang warga. 

Ya, mereka memilih kopi hitam Kapal Api Bubuk Special. Tidak memakai susu dan krimmer. Cukup kopi dan gula saja. Air untuk menyeduhnya tidak boleh dari dispenser atau termos air. Aku diminta untuk memasak air hingga mendidih dahulu yang kemudian baru digunakan untuk menyeduh kopinya. Gulanya tidak banyak dan tidak sedikit. Jangan terlalu pahit dan jangan terlalu manis. Sebab, kopi hitam Kapal Api akan jelas terasa lebih enak jika cara membuatnya juga tidak sembarangan. Kualitas air dan komposisi gula sangat mempengaruhinya. 

Mereka sangat hafal dengan kopi hitam Kapal Api Bubuk Special. Kopi tersebut menjadi andalan ketika perkumpulan-perkumpulan warga desa diselenggarakan. Katanya, kopi hitam merk Kapal Api itu beda dengan yang lain. Rasanya lebih nendang. Aromanya menggoda dan membangkitkan semangat. Setiap tegukanya mampu menegakkan kepala dan membuat mata melek. Selain kualitas yang terkandung dalam kopi Kapal Api, harga yang dibandrol untuk Kopi Hitam Kapal Api cocok di kantong warga desaku.
Memang, kopi Kapal Api adalah sahabat rakyat negeri. Memang, kopi Kapal Api jelas lebih enak. 

Itu ceritaku bersama Kopi Kapal Api. Ceritamu mana? Bagi kalian yang suka nulis, Ayuk ikuti #KapalApiPunyaCerita. Sayang kan kalau cerita indahmu tidak dibagi denganku? 




 

Catatan kaki.
1. Bahasa jawa gaul yang artinya nongkrong sambil menikmati teh atau kopi.
2. Intinya, bikinlah kopi Kapal Api warna hitam ya. Kopi hitam Kapal Api lebih enak daripada kopi-kopi lainya.