Hujan Bulan Juni

Senin, 18 Juni 2018
5 Syawal 1439

Tania dan Kakaknya masih berada di depan televisi sejak tadi pagi jam 10.00. Setelah semua pekerjaan domestik selesai (memasak, menyapu, dan mencuci), mereka berdua langsung menyerbu televisi untuk menonton drama korea yang berjudul Wise Prison Life. Bagi mereka, waktu terbaik untuk menonton drakor adalah ketika libur lebaran. Kegiatan tersebut menjadi ritual duo adik kakak itu saban lebaran berlangsung. Di hari-hari biasa, mereka tak pernah punya waktu untuk bersenang-senang menikmati layar televisi.

Senin malam itu suasana memang gerah. Memang sedang musim kemarau. Namun, biasanya malam hari tidak segerah hari itu. Kipas angin dinyalakan hingga level tertinggi. Rasanya seperti mau hujan. Tetapi Tania tidak sempat memprediksi bahwa panas itu adalah tanda mau hujan. Sebabnya sudah berbulan-bulan kota Tania sedang musim kemarau.

Tepat pukul 00.15, Tania dan Kakaknya mendengar suara yang jatuh di atap rumahnya. Pelan-pelan jatuhnya dan hanya sedikit. Bukan gerimis. Karena kalau gerimis rintiknya tipis dan jaraknya dekat. Ini rintiknya besar dan jarang jarak antara satu rintik dengan rintik satunya. Tidak lama turunya. Hanya sebentar saja.

Ya, itu suara air yang jatuh dari langit. Hujan untuk pertama kalinya. Hujan di bulan Juni.

Tania menghentikan tontonanya, dan mengajak Kakaknya untuk berdoa sejenak. Ia selalu mensakralkan hujan. Ia selalu percaya bahwa hujan adalah sapaan mesra dari Tuhan untuk mereka yang beriman padaNya. Ia percaya bahwa ketika hujan turun dari langit, disaat itulah Tuhan menjanjikan untuk mengabulkan doa-doa yang dipanjatkan.

Usai berdoa, Tania melanjutkan untuk menonton drama korea. Namun, Tania tidak fokus lagi menonton drama tersebut. Tania tertiba teringat akan puisi Sapardi Djoko Damono yang berjudul Hujan Bulan Juni.

tak ada yang lebih tabah 
dari hujan bulan juni
dirasahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapuskanya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkanya yang tak terucapakn
diserap akar pohon bunga itu

Ya, dan saban bulan Juni, hujan itu senantiasa turun. Tania ingat, tahun kemarin hujan juga turun di bulan Juni. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama tidak jatuh ke bumi.

Tania sangat menyukai puisi tersebut. Tania merasa puisi tersebut hidup dan seolah-olah berbicara kepada Tania. Tania menanggap dirinya sebagai representasi hujan yang turun di bulan Juni dengan segala ketabahan, kebijaksanaan, dan kearifanya.

Tania beranjak meninggalkan kakanya yang sedang menonton menuju rak buku di lantai dua. Ia mencari buku kumpulan puisi Sapardi. Setelah ketemu, ia bergegas membuka halaman dimana puisi Hujan Bulan Juni berada.

Tania membacanya dengan sangat tenang di kursi balkon lantai dua rumahnya. Tania memejamkan matanya sejenak. Mencoba menikmati puisi, malam yang sepi, dan aroma hujan di bulan Juni.

Kehidupan yang Tidak Semua Orang Memahaminya

Betania : Ra ... 
Tamara : Ya Bet?
Betania : Terima kasih ya.
Tamara : For what?
Betania : Sudah menjadi teman di kehidupanku. Kehidupan yang tidak semua orang memahaminya.
Tamara : I'm glad for that Bet.
Betania : You are silent. You listen.
Tamara : ....
Betania : You come beside me. Not asking for detail. Just sit beside me and watch movie together. That's enough for me.
Tamara : Whenever you need me, just tell me Bet.
Betania : Thank you.
Tamara : You are welcome.