You are on my pray #Metias Kurnia Dita and Mariana Suci Swastika


“..Berdoalah kepadaKu. Niscaya Aku selalu melihatmu dan mendengarkan pintaMu”.

Kalimat tersebut merupakan angin segar untuk seseorang yang buntu akan jalan keluar, ataupun untuk seseorang yang berharap akan suatu keajabain.

Dan, salah satu dari seseorang tersebut adalah saya, Tami. Hehe.

Saya sering meminta kepadaNya untuk dipertemukan dengan orang orang dengan spesifikasi tertentu. (Hag hag, emang handphone). Serius. Ini benar benar sering saya lakukan. Salah satunya adalah dia, Metias Kurnia Dita.

Meskipun saya menjadi seorang Muslim sejak dari mbrojol dari rahim Ibuk saya, namun menjadi seorang Muslim yang sesungguhnya saya baru sadari semenjak saya memasuki level kehidupan di universitas. Saat itu saya menyadari bahwa saya itu adalah hamba, punya pencipta yang idealnya harus ditaati di atas segala galanya. Saya itu adalah seorang muslim, yang dengan konsekuensi wajib menjalankan segala apa yang diperintahkan kepada seorang muslim. 

Dan, ketika menyadari hal itu, saya sendirian. Maksudnya adalah saya tidak ada keluarga yang membimbing saya kepada kepemahanan agama yang lebih baik. Saya pun waktu itu tidak punya teman yang mendukung saya, menjaga hijrahnya pola pikir saya, atau bahkan teman untuk berbagi berdiskusi masalah ajaran ajaran agama. 

Dan, menurut saya, lingkungan yang kondudif itu sangat diperlukan dalam menjaga kestabilan dari proses hijrah saya. “Saya harus mencari teman”, fikir saya.
“Tapi gimana ya?”, berputarlah otak saya. Setelah melakukan sedikit research, menerawang harus menghubungi siapa, dan tida menemukan hasil, akhirnya saya ingat, kenapa saya tidak berdoa, meminta kepada Yang Maha BerKuasa. 

And, finally but not final, I prayed. “Ya Rabb,,dekatkanlah hamba kepada orang orang yang berusaha untuk menjadi hambaMu yang baik”. 


Ah, that’s really true that God doesnt sleep. He always hears you.
 
Just only two weeks after my praying, I met Metias Kurnia Dita. She is my old friend when I was in junior high school. Dia adalah orang yang baik dalam hal agama, mempunyai banyak ilmunya, dan juga berani untuk menjadikanya sebagai jalan hidup dalam keseharian. 

Shortly, kami tinggal satu kontrakan, bersama Mariana Suci Swastika, dan kelima orang lainya yang juga sama sama mempunyai cita cita yang sama, berusaha menjadi perempuan yang lebih baik dihadapanNya.

Mereka berdua, ada dalam hati saya, bahkan sebelum kita bertemu dan  dekat dengan mereka. Mereka ada dalam doa saya, bahkan sebelum kita saing menegur sapa. 


Dan, mereka adalah orang pertama yang dikirim Tuhan untuk membimbing saya menjadi pribadi yang lebih baik. Sampai sekarang, kami masih selalu berproses untuk itu. 

Mereka adalah guru saya, murabbiyah saya, sampai kapanpun.



Pic.1
Photo di Kedai Jamur. Mari keterima di DD. Dita mau berangkat IM. Saya baru selesai ujian skripsi. Dan kami mengungkapkan janji bersama.

                                                              Pic. 2
                                           Photo di Mie Ayam Idola Klaten.

                                                        Pic.3
                     Photo kamus kamus kami di kamar di kontrakan El Zahra.

                                                       Pic. 4
                                Saya dan Mari Makan Nasi lemak di KL


Ketika saya memutuskan untuk menyayangi...


 
Saya mempunyai teman, sebut saya namanya Yessy. Kami tidak berasal dari satu universitas, pun juga tidak pernah berada dalam satu organisasi. Saya mengenal dia karena dia diputuskan untuk menjadi teman sekamar selama di pondok pesantren yanng saya tinggali.

Yessy..seperti apa sih dia. Sungguh sangat jauh dengan diri saya. Dia adalah orang pertama kali yang pernah saya temui. Orang kalimantan, suku melayu. Watakya keras. Tidak peka. Suka berbicara tanpa mempedulikan perasaan yang diajak bicara. Sungguh, tak jarang saya dibuat sakit hati sama dia. Sering saya dibuat jengkel sama dia. Dulu, saya tidak menyukai dia sedikitpun. 

Saya akui teman teman dia sangat banyak. Yah, tentu, pasti dibalik sikapnya tersebut, ada banyak sikap baiknya. Namun waktu itu saya tidak bisa menemukanya, selain otaknya yang lumayan cerdas.

Waktu berjalan. Kami tambah dekat, hingga sekarang, hanya dialah salah satu teman main yang tersisa di Jogja. Saya memutuskan untuk menjadikan dia sebagai teman saya, sahabat lebih tepatnya. Hag hag, karena ya tinggal dia aja yang tersisa untuk menjadi teman saya.
Ketika saya memutuskan untuk menjadikanya sahabat saya, saya harus melapangkan hati saya. Menggangap segala yang keluar dari mulutnya sebagai hal yang biasa, dan hiburan. Mengejek bashiroh saya tumpul, saya terima. Mengejek saya tidak pernah matching dalam berpakaian, saya menerima. Mengejek saya apapun lah, saya menerimanya. Karena, ada yang saya pertahankan, yakni persahabatan. Tidak mudah membangun sebuah persahabatan, keyakinan saya. 

Saya memutuskan untuk menjadikanya sahabat, maka saya akan berusaha sebisa mungkin untuk membantunya. Ketika dia butuh bantuan, dia yang akan saya nomor satukan. 

Aah, Yessy. Seperti saat ini, ketika kamu sedang berjuang untuk masa depanmu, mungkin ibarat panah itu adalah kamu sedang ditarik mundur, maka saya akan berusaha selalu disisimu. Meskipun sempet sebal juga, karena saya kamu diamkan tiba tiba. Sebal juga karena waktu yang kamu ulur ulur (Aaah, kau ga suka dengan bagian ini). Iya, dia ga suka disalahkan. Hehe, itulah yessy.

Tidak, tapi saya tidak membencinya. Kami, avis, kiki, bela tidak pernah membencinya. Kami menerima. Kami saling mengerti proses tumbuh ini. Kami saling mendukung dalam doa dan semangat.

Sikap ini, saya sebetulnya belajar dari sebuah novel dari Bang Tere yang berjudul Kau dan Sepucuk Angpau Merah. Ada satu statement dari pemeran perempuanya yang membekas di dalam ingatan saya, yakni, “...Ibu, saya akan mencintai suami saya”. Padahal, suami yang dia putuskan untuk dia cintai itu, sangatlah bejat kepadanya, suka berperilaku kasar padanya. Namun, si perempuan itu telah berjanji kepada ibunya dan dia sendiri, bahwa dia akan mencintai suaminya. Konsekuensi mencintai adalah dia memendam kemarahanya ketika suaminya memukulnya, ketika suaminya selingkuh, ketika suaminya menuduhnya bermain serong dengan laki laki lain.

Dia sabar dalam mencintainya suaminya. Dan akhirnya, ketika suaminya bangkrut dan suaminya sakit sakitan, ketika usia pernikahan mereka sudah menginjak usia 10 tahun, barulah suaminya menyadari ketulusan istrinya.

#sahabat adalah keluarga yang patut kita jaga. 




Satu Indonesia Edisi Sujiwo Tejo


 
Malam minggu ini, saya begitu semangat untuk bekerja. Bekerja membersihkan segala sekelilingku. Saya menyapu, mengepel. Merapikan semua perabotan serta membersihkan. Mencuci semua pakaian kotor, hingga slimut dan sprei.
Kesibukanku itu saya mulai dari saya pulang dari Yogya, pada pukul 16.00  sampai dengan 19.30. Saya kebetulan tidak solat, jadi bisa langsung bekerja tidak berhenti. Setelah selesai semuanya, saya mulai membersihkan diri. Maskeran, mandi, luluran, keramas.
Rasanya enak sekali. Setelah itu bersantai di kamar. Saya melihat HP, tidak ada media sosial pun yang ramai. Akhirnya saya memutar otak untuk mencari aktifitas di malam minggu ini. Saya tidak akan menggalau. Tidak akan menghabiskanya dengan langsung tidur.

Dan pilihan saya adalah menonton video Satu Indonesia Edisi Sujiwo Tejo yang beberapa waktu lalu saya download. Dan, inilah poin yang saya ingin catat di blogger edisi kali ini.

Puisinya Sujiwo Tejo yang berjudul Cinta.

Cinta
Karya Sujiwo Tejo

Kekasih
Mengenalmu adalah kebangkitan dari diriku
Meski mengenangmu selalu membuatku bersedih
Aku tau dari dulu
Menikah adalah nasib
Mencintai adalah takdir
Kau bisa berencana menikahi siapa saja
Tapi, tak bisa kau rencanakan
Cintamu untuk siapa
Indah sekali puisi itu. Ketika saya mendengar prolog dari acara itu, saya langsung jatuh cinta.

Yah, puisi itu memang keindahan. Puisi adalah karya seni yang mampu melembutkan setiap perasaan insan.

Puisi itu, ingin rasanya saya membacakanya saat ini pula untuk dia, masa lalu saya. Ingin rasanya dia mengetahui akan puisi itu. Ingin rasanya dia tau bahwa saya disini sedang merindu akan sosoknya.


Negeri Yang Minim Apresiasi


Kalau tidak salah beliau adalah Taufik Ismail yang mengatakan bahwa negeri ini minim sekali apresiasi. Banyak orang orang hebat tidak diapreasisi. Contoh kasat matanya adalah Bapak Habibie yang konon kurang di apreasisi oleh negeri ini, akhirnya beliau berpindah ke Jerman. Namun, beberapa waktu beliau menyadari bahwa kembali ke tanah air lebih penting. Beliau sadar akan peran sebagai warga negara indonesia yang mempunyai kewajiban untuk memajukan negeri dan mempertahankanya. 

Baiklah, saya tidak akan jauh jauh membahas fenomena yang ada di atas. Karena toh kehidupan itu, dan orang orang tersebut jauh juga dari kehidupan saya.
Saya akan mencoba mengambil contoh dari lingkungan terdekat saya. Banyak kita melihat, para orang tua yang jarang memberikan reward berupa ucapan selamat ketika anaknya berhasil. Atau sekedar mengatakan bahwa, “Semangat ya Nak..selamat berjuang”. Atau sekedar, “kamu hebat, kamu sudah berusaha dengan keras. Tidak apa apa tidak menjadi juara. Kamu mengikuti ajang itu pun kamu sudah menjadi juara. Kamu telah mengalahkan rasa malasmu”. 

Dan, saya, juga merasakan sendiri. Di lingkungan akademis. Pengalaman pribadi saya, para dosen kurang mengapreasisasi saya. Jarang dosen itu memberikan semangat kepada para mahasiswanya. Kalau ada pencapaian sesuatu, jarang ada dosen (yang bukan pejabat) memberikan ucapan semangat dan selamat. 

Di lingkungan pertemanan, ada beberapa teman, atau bahkan bukan teman, yang ogah ogahan untuk mengapresiasi teman sejawatya.

Parah. Padahal apreasiasi itu penting. Apa pentingnya? Ketika seseorang itu diapresiasi, maka mereka akan merasa bahwa usahanya selama ini dihargai oleh orang sekitar. Dengan begitu, maka mereka akan bersemangat untuk terus melangkah dan percaya diri menghadapi hari hari. Memberikan apreasiasi juga mampu membuat orang bahagia. Dengan kebahagian yang ada dalam jiwa setiap manusia, maka akan menjadi bekal mereka untuk menjadi seorang yang lebih kreatif.

Dan, saya ingin berkontribusi untuk itu semua. Saya awali dengan merespon setiap ada yang menghubungi saya. Saya pun sering mengomentari dan mengeLike status yang ada di dalam FB yang selama ini jarang saya lakukan. Bagi saya, dengan begitu mampu untuk membuat teman teman sosial media saya bahagia. 


Apapun itu, saya sekarang sedang mencoba untuk menggunakan motto hidup saya lagi, yakni menebar manfaat. Dimulai dari hal hal yang kecil, yakni mengapreasiasi.
Sekian.