Ketika saya memutuskan untuk menyayangi...


 
Saya mempunyai teman, sebut saya namanya Yessy. Kami tidak berasal dari satu universitas, pun juga tidak pernah berada dalam satu organisasi. Saya mengenal dia karena dia diputuskan untuk menjadi teman sekamar selama di pondok pesantren yanng saya tinggali.

Yessy..seperti apa sih dia. Sungguh sangat jauh dengan diri saya. Dia adalah orang pertama kali yang pernah saya temui. Orang kalimantan, suku melayu. Watakya keras. Tidak peka. Suka berbicara tanpa mempedulikan perasaan yang diajak bicara. Sungguh, tak jarang saya dibuat sakit hati sama dia. Sering saya dibuat jengkel sama dia. Dulu, saya tidak menyukai dia sedikitpun. 

Saya akui teman teman dia sangat banyak. Yah, tentu, pasti dibalik sikapnya tersebut, ada banyak sikap baiknya. Namun waktu itu saya tidak bisa menemukanya, selain otaknya yang lumayan cerdas.

Waktu berjalan. Kami tambah dekat, hingga sekarang, hanya dialah salah satu teman main yang tersisa di Jogja. Saya memutuskan untuk menjadikan dia sebagai teman saya, sahabat lebih tepatnya. Hag hag, karena ya tinggal dia aja yang tersisa untuk menjadi teman saya.
Ketika saya memutuskan untuk menjadikanya sahabat saya, saya harus melapangkan hati saya. Menggangap segala yang keluar dari mulutnya sebagai hal yang biasa, dan hiburan. Mengejek bashiroh saya tumpul, saya terima. Mengejek saya tidak pernah matching dalam berpakaian, saya menerima. Mengejek saya apapun lah, saya menerimanya. Karena, ada yang saya pertahankan, yakni persahabatan. Tidak mudah membangun sebuah persahabatan, keyakinan saya. 

Saya memutuskan untuk menjadikanya sahabat, maka saya akan berusaha sebisa mungkin untuk membantunya. Ketika dia butuh bantuan, dia yang akan saya nomor satukan. 

Aah, Yessy. Seperti saat ini, ketika kamu sedang berjuang untuk masa depanmu, mungkin ibarat panah itu adalah kamu sedang ditarik mundur, maka saya akan berusaha selalu disisimu. Meskipun sempet sebal juga, karena saya kamu diamkan tiba tiba. Sebal juga karena waktu yang kamu ulur ulur (Aaah, kau ga suka dengan bagian ini). Iya, dia ga suka disalahkan. Hehe, itulah yessy.

Tidak, tapi saya tidak membencinya. Kami, avis, kiki, bela tidak pernah membencinya. Kami menerima. Kami saling mengerti proses tumbuh ini. Kami saling mendukung dalam doa dan semangat.

Sikap ini, saya sebetulnya belajar dari sebuah novel dari Bang Tere yang berjudul Kau dan Sepucuk Angpau Merah. Ada satu statement dari pemeran perempuanya yang membekas di dalam ingatan saya, yakni, “...Ibu, saya akan mencintai suami saya”. Padahal, suami yang dia putuskan untuk dia cintai itu, sangatlah bejat kepadanya, suka berperilaku kasar padanya. Namun, si perempuan itu telah berjanji kepada ibunya dan dia sendiri, bahwa dia akan mencintai suaminya. Konsekuensi mencintai adalah dia memendam kemarahanya ketika suaminya memukulnya, ketika suaminya selingkuh, ketika suaminya menuduhnya bermain serong dengan laki laki lain.

Dia sabar dalam mencintainya suaminya. Dan akhirnya, ketika suaminya bangkrut dan suaminya sakit sakitan, ketika usia pernikahan mereka sudah menginjak usia 10 tahun, barulah suaminya menyadari ketulusan istrinya.

#sahabat adalah keluarga yang patut kita jaga. 




Be First to Post Comment !
Posting Komentar