Berlari



Pagi ini adalah weekend ketiga di bulan Januari. Aku tidak pergi bekerja meskipun teman-teman yang lain masih lembur di kantor. Aku tidak membolos, tapi memang pekerjaanku tidak banyak, jadi atasan memutuskan aku tidak lembur. 

Setiap weekend, aku selalu memikirkan apa yang akan aku lakukan untuk mengisi waktuku dengan positif attitude. Hal itu menjadi salah satu resolusiku tahun ini. Kusadari bahwa tahun-tahun lalu banyak waktu yang telah kubuang sia-sia. (Semoga Tuhan memaafkanku). Maka, Sabtu pagi yang cerah ini aku memulainya dengan bangun pagi. Jam berapa?

Aku bangun pukul 3 dini hari, mundur satu jam dari yang dijadwalkan. Selama kurang lebih satu setengah jam, aku melakukan aktifitas spiritual. Tepat pukul 4.30, aku memutuskan untuk segera berganti pakaian, minum dua gelas air putih, dan mengenakan sandal crocs. “Aku akan berlari jauh pagi ini”, tekadku.  

Dengan langkah pasti, aku keluar rumah, pelan-pelan mulai keluar dari desaku. Suasana masih gelap seperti malam. Tidak ada orang lewat. Tidak ada lampu yang menerangi. Hanya hamparan sawah, pohon-pohon jati besar yang kerap untuk bergelantungan para ulet, dan juga ilalang tinggi yang kerap kali aku lihat ular keluar dari sana. Ada sedikit rasa takut. Bagaimana kalau tiba-tiba ada orang yang menikamku dari belakang? Atau tiba-tiba aku melihat ada Pak Tani yang tergeletak meninggal di pinggir sawah seperti yang pernah kakekku lihat? Atau melihat sekelompok pemuda desa yang kehilangan tujuan hidup sedang teler akibat mabuk-mabukan? Oh tidak, aku singkirkan fikiran itu jauh-jauh. “Aku sudah berdzikir pagi ini dan punya ilmu bela diri. Maka Tuhan pasti akan menjagaku”, tindasku.

Aku tidak mengurangi kecepatan langkahku. Aku berjalan ketimur masih melewati hamparan sawah yang menghubungkan desaku (Butuh) dengan desa sebelah (Wates) yang berjarak kira-kira 800m. Untungnya, bulan ini adalah musimnya menanam padi, jadi aku masih kelihatan. Biasanya, sawah-sawah penghubung desa ini ditanami pohon tebu, hingga kalau berjalan ditengah-tengahnya, tidak kelihatan. Aku mulai masuk desa Wates. Masih tidak ada orang yang keluar rumah. Berlari agak jauh masuk tengah desa, aku mulai bertemu ibu-ibu yang bersiap kesawah dan juga berjualan Bubur Lemu serta Sambal Tumpang (Makanan khas daerah kami di pagi hari). Aku menyapa mereka dengan bahasa Jawa halus, meskipun tidak begitu kenal (sebab hari masih gelap, wajah kami tidak saling terlihat). 

Perlahan aku meninggalkan desa Wates, dan berbelok ke kanan, menuju jalan raya Jogja-Solo. Sudah terlihat kota. Banyak gudang perusahaan, pabrik, dan mebel. Truk, bus, mobil juga sudah hampir meramaikan jalan raya ini. Aku ingat sekali, pertama kali aku menyusuri rute berlari ini adalah ketika aku masih duduk di kelas dua SMP. Mbak Wiba, kakak keduaku, yang mengajak aku berlari menyusuri jalan ini. Jauh sekali menurutku. Apalagi lari bersama beliau prinsipnya adalah tidak berhenti. Terus berlari. Kalau aku berhenti, katanya aku akan capek. Dan, aku benar-benar kecapekan waktu itu. Bukan, dia bukan olahragawan, namun berlari adalah tugas dari kampus militernya.

Badanku sudah mulai panas. Kecepatan berlariku tetap stabil, tidak bertambah apalagi berkurang. Lampu merah sub terminal Penggung sudah kelihatan. Aku harus mampu mencapai lampu merah tersebut dengan kecepatan stabil, tidak boleh berhenti. Sambil memandang lampu merah yang menjadi tujuanku itu,  aku mengingat, setelah berlari waktu kelas dua SMP, aku tidak berlari menyusuri jalan ini lagi. Selama bertahun-tahun setelah hari itu, aku melabeli diriku bahwa aku tidak suka berlari. Aku tidak kuat belari. “Olahraga apapun OK, namun tidak untuk lari”, bela ku waktu dulu.

Mantra negatif tersebut drastis berubah di akhir tahun 2015 lalu. Aku merasa tidak sehat, bukan fisik, namun jiwa dan otakku. Jiwaku sangat lemah, dan otakku membeku. Energi negative menguasi seluruh waktuku kala itu. I lost control. Bisa dikatakan, aku sedang berada dalam the most difficult situation. Sepekan lebih beberapa hari adalah masa downtime. Untungnya, cepat-cepat my self-awarness kemudian muncul. Bahwa fisikku harus bergerak. Tidak apa-apa jiwaku masih diam ditempat, namun fisikku harus melakukan aktifitas. Maka, kuputuskan waktu itu, aku harus berlari. Dengan berlari, maka darah dalam tubuhku juga akan berlari. Mereka akan menjalar ke seluruh tubuhku, dan juga otakku. Otakku teraktifkan kembali, dan energi negatif keluar bersama dengan keringat yang keluar bercucuran. Ini adalah sebuah misi penyelamatan diri, maka usahanya juga harus challenging. Kuputuskan kala itu, aku akan berlari mengelilingi rute itu.

Ya, rute itu adalah rute yang yang sedang kulalui sekarang. Aku belum memberi nama rute ini, namun kelak aku akan menamainya. Aku sudah mulai mendekati lampu merah. Sedari tadi, para sopir truk pengangkut menyapaku, dan aku membalas sapaanya dengan senyum positif. Pagi ini, lariku adalah untuk masa depanku. Karena tahun ini, aku mempunyai passion baru, yakni hidup sehat. Aku mulai membiasakan diri untuk rutin berolahraga dan makan makanan sehat.

Sudah sampai lampu merah. Aku berbelok ke kiri. Jalannya agak naik. Kecepatanku agak berkurang sedikit. Sampai jalan raya Penggung-Jatinom, matahari sudah mulai meninggi. Buruh pabrik rokok Sampoerna sudah mulai berdatangan. Warung-warung soto juga sudah mulai buka.

Otakku sepertinya semakin mencair bersamaan dengan jarak tempuhku berlari. Hal ini bisa kurasakan ketika banyak ide-ide berdatangan ke kepalaku. Ide menulis, ide mempelajari ketrampilan baru, ide membaca buku tertentu, dan ide untuk pergi kemana. Aku merasakan semakin positif, dan segar. Aku punya gairah untuk bekerja mengejar target-target yang dibuat. Menjalani dinamika hidup dengan sebaik-baiknya.

Dan, aku sudah sampai rumah kembali. Segera aku menuju galon, dan meneguk air dua gelas. Semangatku terpompa. Keringat masih bercucuran, namun aku langsung lanjutkan dengan mengikuti senam. Bagiku, senam adalah menari. Dan menari adalah cara hati untuk berbahagia. 

Senam T25 asal Amerika yang sering aku lakukan mampu memeras keringatku lebih banyak ketimbang berlari. Aku suka dengan instrukturnya yang selalu mengatakan, “I challange you”. Maka, ketika bersenam, aku pasti akan menjawab di depan layar kaca laptop, “Siapa takut”. Memang, senam ini agak berat, jadi membutuhkan komitmen yang luar biasa untuk mengikuti semua gerakanya sampai selesai selama 25 menit.

Pukul 06.00, aku selesai menyelesaikan ritual sehat di awal weekend. Aku duduk sebentar untuk minum dan juga menyeka keringat. I feel good. I feel positif. Kemudian, aku meraih beberapa majalah yang sempat kubeli di hari jumat lalu. Aku melakukan skimming (membaca cepat) Majalah Markerters, majalah Femina, dan majalah Speaks. Setelah selesai membaca cepat ketiga majalah itu, aku mengambil laptop, meja kecil, segerombol buah anggur dan sebotol air mineral. Aku mulai menulis tulisan ini. 

-You are what you eat-

Home, 16 Januari 2016