Inspirasi Terpendam





Aku senang untuk bertemu dengan orang-orang baru, berkenalan denganya, dan kemudian menjadi temannya. Selalu ada banyak hal yang kudapatkan dari orang-orang yang kutemui dalam hidup ini. Aku banyak belajar dari mereka. Entah itu pengalaman-pengalamannya, cara berjalan, cara tersenyum, cara menyapa, dan kadang dalam keadaan diam pun, aku menemukan pelajaran luar biasa dari orang-orang itu. Bagiku, mereka adalah madrasah keilmuan untukku.
Kali ini, aku ingin mengabadikan sesosok teman yang secara tidak langsung menjadi guru kehidupanku. Namanya adalah Rida Rochmawati. Dia dilahirkan dari orang tua yang mengagumkan. Sejak kecil, dia selalu diajarkan akan kesederhanaan hidup, dan kerja keras. Tak heran, ketika aku mendengar nama Rida, maka kata yang bersanding bersamanya adalah kerja keras.
Aku mengenalnya lewat temanku, Dita. Dita adalah sahabat Rida dikampus. Kala itu, Rida dan Dita akan berjalan-jalan ke Gembira Loka bersama dengan kawan-kawan Rida lainya, yakni mbak Marwah sama Mbak Evi. Entah karena alasan apa, Dita mengajakku juga untuk bergabung bersama mereka. Dan ternyata Rida adalah kakak angkatanku kuliah waktu itu. Namun, karena Rida kuliah di dua tempat sekaligus, praktis aku tidak begitu mengenal Rida.
Jujur, sejak saat itupun dan sampai sekarang, aku tidak banyak bertemu dengannya. Dalam kurun waktu sekitar 10 tahun ini, palingan kami hanya bertemu tidak lebih dari 30 kali. Sangat jarang. Namun, meskipun jarang, aku banyak mendengar cerita tentang Rida dari Dita.
Sewaktu kuliah, aku pernah mendengar bahwa Rida belajarnya super OK. Jika dia ingin menaklukkan suatu mata kuliah, maka dia akan tahan untuk mendalami materinya hingga larut malam. Sering dia merasa kelaparan, dan akhirya membuat mie instan pada waktu dini hari. Kemudian, jika di kelas, maka Rida akan duduk di bangku paling depan, kemudian akan memperhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang disampaikan oleh dosenya. Kali ini, aku menyaksikanya sendiri, karena aku pernah sekelas dengannya di mata kuliah tertentu. Tidak hanya itu, dia juga selalu mengaktifkan otaknya untuk mengkritisi apa yang dia dengar. Acungan tanganpun akan dia lakukan jika masih ada yang menganjal dalam fikiranya. Tambahan lagi, dia akan mendiskusikan kuliah tersebut dengan teman di dekatnya. Luar biasa. Waktu itu, jujur, aku tidak begitu memperhatikan kuliah yang disampaikan oleh Bapak Bambang Sugeng, namun aku memperhatikan bagaimana Rida mengikuti kuliah. Belum pernah aku melihat semangat belajar seperti yang dilakukan Rida. Luar biasa sekali. Seperti itulah sebenarnya yang dinamakan dengan “bersungguh-sungguh” dalam menuntut ilmu. Tidak mempedulikan sekitar, dan tetap fokus terhadap ilmu yang dipelajari. Akan terus berfikir, sampai diri mengerti tentang teori yang disampaikan oleh para dosen. Tidak hanya asal menerima, namun juga mengaktifkan otak untuk menganalisa apa-apa yang sudah diserap. Rida benar-benar mengosongkan gelasnya ketika masuk dalam majelis ilmu kuliah.
Setelah selesai kuliah, aku sengaja berbarengan denganya menuju tempat parkir sepeda motor. Cara berjalan dia sangat cepat, dan tegas. Selama berjalan, dia bercakap tentang agenda-agenda seharian yang harus dia selesaikan. Beberapa diantaraya adalah kuliah lagi di kampus sebelah (kampusnya dia dan Dita), dan juga mengerjakan tugas mata kuliah dari kampusku dan kampus dia satunya. Wow. Aku hanya mampu mendengarkan dan memperhatikan dia saja waktu itu. Hidupnya sungguh sibuk dan berisi.
Meskipun dia berprestasi dalam dunia akademis, aku tidak pernah melihat dirinya berbicara sok tau. Dia tetap merasa fakir ilmu. Aaarrgh, ingat sekali bagaimana cara dia bertanya akan sesuatu yang dia tidak mengerti kepada teman-temanya. Dia tidak kelihatan seperti seorang mahasiswa berprestasi. Tidak. Gaya bicaranya sederhana, dan terkesan dia tidak tau apa-apa.
Teringat pula akan sebuah cerita dari Dita, bagaimana usaha Rida untuk mendapatkan targetan capaikan ke depan. Rida membeli berbagai buku. Setiap malam sepulang kerja, Rida berusaha menaklukkan soal-soal dalam buku tersebut. Karena ada kualifikasi uji fisik, maka setiap hari Minggu, Rida berlatih berlari mengelilingi stadion. Waktu aku mendengar cerita itu, kondisiku sedang malas untuk belajar. Namun, setelah mengetahui usaha Rida yang maksimal, spontan aku juga ikut-ikutan untuk berdiri, dan kemudian belajar. Perangrai Rida mengatakan padaku bahwa keberhasilan adalah kombinasi antara kesungguhan doa dan kerja keras.
Terakhir, selain kerja keras, aku belajar ketegasan darinya. Waktu itu, aku, Rida, dan Dita sedang menunggu untuk menonton film “Assalamualaikum Beijing”. Aku dan Rida memutuskan untuk ke toilet sebentar. Di toilet, antri banyak sekali orang, dan aku mengantri di belakang Rida. Tiba-tiba ada anak kecil yang sedang kebelet mendahului antrian Rida. Spontan Rida langsung berkata kepada anak kecil tersebut, “belajar antri ya”. Adiknya langsung meleret. Aku kaget dengan cara Rida. Berani dan Tegas untuk hal-hal yang tidak pantas dilakukan ditempat umum.
Belum pernah aku menemui orang seperti Rida sebelumnya. It means that Rida is unique. Not only does Rida, but I believe that everyone is unique. Seperti Rida, aku dan semua orang seharusnya belajar untuk menerima diri sendiri dengan segala gaya yang kita nyaman dan yakini benar untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya aku memandang Rida, mungkin yang dianggap biasa-biasa saja oleh orang lain, hal itu menjadi a precious lesson untuk seseorang. Maka, sejak aku mengenal Rida, aku senantiasa belajar membuka diri untuk berteman dan bercakap dengan banyak orang. Karena, mereka, orang-orang yang kutemui dan yang akan kutemui kuyakini menjadi madrasah ilmu untukku. Karena, tidak ada hal yang sia-sia dari sebuah takdir pertemuan.

Kamu Ingin Menjadi Orang Tua Seperti Apa?



Kadang-kadang pertanyaan seperti itu datang dalam otakku yang jarang digunakan. Awalnya aku mengarahkan mataku ke beberapa tokoh Ibu teladan yang banyak nangkring di media sosial. Namun belakang, aku menemukan sosok Ibu Teladan yang kelak akan kucontoh kebaikanya. Mereka adalah orang tuaku.
Pada masa kecil dan remaja, aku dikenal sebagai anak yang nakal dan manja. Aku ga tau kenapa aku dilabeli dengan label yang sangat menganggu tersebut. Apakah mereka yang mengatakan aku seperti itu sudah tau definisi “manja”? Apakah mereka sudah mengecek sendiri dalam kamus KBBI apa makna “nakal” dan dalam situasi seperti apa kata itu diucapkan? Waktu itu, untungnya aku tidak dipusingkan dengan banyak perkataan orang, aku cuek aja melenggang berjalan semauku. Sepertinya ibuku juga bersikap demikian. Aku sangat ingat sekali suatu ketika ada seorang tamu yang datang kerumah. Beliau mengobrol dengan Ibuk diruang tengah yang letakkan dekat dengan kamarku. Jadi, jika ada yang ngobrol di ruang tengah, pastilah kedengaran dari kamarku. Waktu itu, aku sedang di kamar dan mendengar tamu tersebut membicarakan tentang diriku, “Oalah Mbak Kot, koq Tami itu wong e nakal banget kie piye”. Tamu tersebut, entah punya hubungan apa dengan keluargaku, mengeluhkan akan perilakuku yang dianggapnya nakal. Aku diam aja di kamar, dan hanya nyengir. “Pastilah mereka ngomongin kejelakanku”. Tapi kemudian jawaban Ibuk waktu itu benar-benar membuatku meleleh saat-saat ini. Ibuk merespon tamu tadi dengan perkataan “Mbok ben, uwong kie ora arep seteruse ngono kuwi”. Ibu mengatakan bahwa setiap orang itu pada akhirnya nanti akan berubah.
Kejadian itu yang kupegang hingga saat ini. Ibu tidak pernah komentar dengan sikapku didepanku. Ibu selalu yakin bahwa suatu saat nanti aku pasti akan menjadi orang baik. Dia begitu penyabar merawatku, dan menunggu untuk berubah menjadi puterinya yang lebih baik. Ibuku tidak pandai dalam menasihati lewat kata-kata, bahkan jarang sekali melakukanya. Namun, tidak usah banyak berkata-kata, sikapnya adalah nasehat yang terbaik untukku.
Ibuku adalah ibu terbaik yang selalu ingin memenuhi kebutuhan anaknya, bahkan hingga saat ini aku sudah hampir kepala tiga. Tiap malam, saat aku belum mandi, maka ibuk tanpa aku meminta, dengan senangnya akan merebus air hangat untukku mandi. Sungguh, aku tidak meminta. Beliau agaknya sangat khwatir jikalau aku nanti masuk angin karena mandi malam-malam. Ketika saat ini aku pun berhati-hati dalam soal makanan, Ibu pun juga akan berhati-hati dalam memasak dan memilih makanan untukku. Padahal, sudah kukatakan padanya bahwa tidak usah menyiapkan makanan untukku, tidak apa-apa, nanti pasti aku akan mengurus sendiri. Namun, Ibukpun melihat, aku terlalu sibuk, hingga kalau tidak sempat masak, solusinya ya tidak makan. Dan Ibukku tidak mau melihat aku tidak makan.
 Ibu, yang sehari-hari mempunyai pekerjaan sebagai seorang pedagang, adalah seorang yang mengajariku tentang kedermawanan. Jika memasak sehari-hari, pasti porsi yang dibuat ibu sangatlah banyak, padahal jumlah anggota keluarga kami yang dirumah kami adalah hanya 5 orang. Penasaran, maka aku pun bertanya kepada Ibu untuk apakah makanan sebanyak itu. Ternyata, kalau masak, Ibu membagi masakan itu untuk tiga keluarga, satu untuk keluargaku, dan yang lainya adalah untuk dua keluarga tetanggaku yang dipandang Ibuk kurang mampu. Membuat cemilan pun juga demikian, tidak hanya anggota keluarga yang difikirkan, namun juga keluarga yang lain.
Ibu pun mengajariku untuk kuat. Ibu selalu berusaha untuk terlihat sehat dihadapan anggota keluarganya. Pernah suatu saat ketika gigi ibuku sakit, beliau kerumah sakit sendiri untuk mencabut giginya. Sampai rumah pun, kulihat Ibu masih sibuk ngurusin giginya. Ibu sampai ga bisa ngomong. Dan, beliau memutuskan untuk segera tidur. Keesokan harinya, Ibu mengatakan padaku bahwa pas dia tidur cepat kemarin adalah agar dia segera sembuh, dan ga kepengen orang lain melihat dia kesakitan. Ah, Ibuk, kau sungguh luar biasa di mataku.
Aku ingin melihatnya lebih lama lagi. Semoga Ibuk dan Bapak diberikan umur yang panjang. Aku ingin mereka berhaji dulu. Aku ingin mereka menjadi orang tua yang bahagia. Aku ingin mereka melihat anak-anaknya sukses dulu. Aku ingin mereka menyaksikanku melahirkan dan mendidik cucu-cucunya.
Ya Rabb, hanya kepadaMu lah aku menggantungkan harapanku. Amiin.

Rumah Cinta Ibu Khasanah



Kuambil bolpoin dan secarik kertas dan kemudian kutulis cepat-cepat “Lebaran 2016 ke Malinau. Nabung dari sekarang”. Sedikit bergetar aku menuliskanya. Terbayang sosok yang sungguh baik hati di sana, dan sempat aku kecewakan. Rasanya, aku ingin segera dipertemukan dengan lebaran kembali, segera memesan tiket, dan datang kerumah itu, rumah cinta Ibu Khasanah.

Siang itu, aku iseng melihat-lihat update-an BBM yang selama ini jarang aku liat. Aku melihat Ibu (Panggilanku untuk Ibu Khasanah) memasang DP fotoku, foto Desi, dan foto bapak ibu. Rasanya terharu sekali. Selama ini aku merasa aku telah dilupakan oleh Ibu, dan ternyata tidak. Ibu pun mengingatku disana.

Aku bukanlah orang yang pandai bercakap lewat telepon. Untuk itulah, aku tidak pernah menelpon Ibu. Palingan hanya menyapa lewat pesan singkat saja. Aku lebih suka menitipkan rinduku lewat doa-doaku kepada beliau. Bagiku, itu merupakan cara yang ampuh untuk mengungkapkan rinduku.

Ibu khasanah adalah my other mother in this globe. Ibu yang kusandingkan namanya dengan Ibu yang melahirkanku ketika aku menyebutnya dalam ritual setelah solat. Ibu khasanah kukenal sewaktu aku tinggal di Malianu. Beliau adalah jawaban atas keyakinanku akan doa yang diucapkan oleh Nabi Nuh dalam firman Allah surat Al Mukminum ayat 29.

“Ya Rabbi, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat”

“Biarlah Tami nanti tinggal dirumah Ibu, nemenin Desi”, begitulah kira kira awalnya. Ibu Khasanah adalah orang kedua di Malinau yang menyelematkanku dari status “pencari suaka” setelah Nenek. (Hehhe, tapi aku bukan warga suriah lho ya). Ya, rumah nenek waktu itu akan dipugar, dan aku tidak punya ide akan tinggal dimana setelahnya. Awalnya aku akan mencari tempat kost, namun ternyata Allah sudah menyiapkan rencana lain, yakni tinggal bersama Ibu Khasanah. 

Pertolongan itu sungguh datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Aku tidak pernah membayangkan akan mendapatkan pertolongan semacam itu. Jauh sekali dari angan-angan. Secara, aku awalnya tidak pernah mengobrol dengan Ibu Khasanah, dan begitu pula Ibu Khasanah tidak pernah mengobrol denganku. Namun, Ibu sepertinya percaya padaku.
Aaaargh, aku tidak mampu melukiskan lagi saat-saat itu dengan kata-kata. Semuanya itu sungguh magic.

Saat ini, saat aku berada jauh dari Ibu, aku masih suka mengingat-ingat saat seru dulu berada di Rumah Cinta Ibu Khasanah. Waktu itu aku, Desi, Bapak, dan Ibu habis dari kondangan ketempat salah seorang tetangga. Pulangnya, kami ada dibawain bingkisan yang salah satunya adalah telur rebus (itu kesukaanku..hehe). Langsunglah aku makan didalam mobil. Kemudian tiba-tiba ibu bilang “Iiiih, bau apa ini kaya bau telur busuk?”. Aku berhenti mengunyah seketika. Ibu dan Desi menoleh kearahku, dan kami pun tertawa terbahak-bahak. Ternyata bagi orang lain yang bukan penyuka telur rebus, telur rebus itu bau lho..hahaha.

Kami dulu sering melakukan hal seru bersama-sama. Di minggu pagi, kalau aku tidak ada acara, Ibu suka mengajak untuk kepasar. Setelah itu, pasti dihari minggu kita akan disibukkan dengan mengurusi ikan. Haha, aku sebenarnya belum pernah berjibaku dengan ikan. Namun disana, aku belajar untuk membersihkan sisik ikan, dan juga memotongnya. Dan udang. Desi sangat suka makan udang. Aku pun meskipun tidak suka udang, tapi punya kesempatan untuk bisa membersihkan udang yang lumayan menyenangkan. Selain itu, kalau tidak kepasar, ibu sering menyuruh Desi dan aku memancing di kolam belakang rumah. Apakah kalian tau bahwa aku tidak pernah memancing bahkan memegang alat pancing sebelumnya? Iya, disanalah pertama kalinya aku memancing. Sudah dipastikan, aku tidak mendapat satu pun ekor ikan. Hahaha. 

Di suatu hari libur, Ibu dan keluarga mengajak keluarga besarnya untuk bermain ke Semolon. Semolon adalah salah satu tempat wisata di Malinau yang mengagumkan. Jalan menuju lokasi wisata luar biasa. Kita bisa melihat pemandangan pegunungan yang masih asri. Bahkan kita diajak pula untuk menikmati jalan yang belum jadi. Sedikit seperti off-road. Untuk itulah, tidak sembarang kendaraan bisa kesana. Sampai disana, semua perjalanan yang cukup menguras waktu terbayar dengan pemandangan Semolon yang elok. Air nya jernih mengalir ditengah-tengah hutan. Panas terik tidak terasa di kulit karena ditutupi pepohonan yang sangat rindang. Setelah puas bermain air, kami pun pulang. Aku sudah keringat dingin duluan, terbayang harus melewati jalan yang berliku (lagi). Hehehe. Benar saja, bahkan jalan pulang tidak semulus perjalanan berangkat. Banyak korban yang berjatuhan. Maksudnya? Satu persatu para penumpang mobil muntah tidak kuat menahan gonjangan mobil yang membabi-buta. Bagaimana denganku? Aku, sudah dalam kondisi krisis sebenarnya. Aku pucat. Keringat dingin mencucur terus. Namun, aku berlagak “I am OK”. Hihihi. Syukurlah benteng pertahananku tidak roboh. Aku tau, jika aku muntah, maka aku akan muntah terus, tidak akan hanya sekali. Hehe. Sampai dirumah, aku langsung masuk kamar, dan menggosok perutku dengan balsem. Lega rasanya.

Setelah itu, aku berjanji, jika ada yang mengajakku untuk pergi ke Semolon, aku dengan gagah berani akan mengatakan “Tidak, terimakasih”. Iya benar, ada dua tawaran yang mengajakku kesana setelahnya, dan aku berhasil menolaknya. Hahaha.

Selain itu, ibu senang sekali memasak. Dan, sebagai perempuan kebanyakan, aku pun suka memasak. Alhasil, disana kami sering memasak porsi besar. Yang paling aku ingat adalah ketika dirumah ada syukuran kelulusannya Desi dan juga akan melepas Desi kuliah. Ibu mengundang beberapa kerabat untuk datang kerumah. Kami memasak bakso, opor ayam, salad buah, dll. Pas acara dimulai di malam harinya, aku menggantikan Ibu untuk menunggu kuah bakso di dapur yang lumayan laris. Sampai-sampai kuah baksonya habis, pun juga bumbunya. Akhirnya, ala kadarnya ibu menyuruh untuk menambahi air dan dikasih bumbu instan bakso. Rasanya tidak kalah menarik. Tetap enak saja, dan para penikmat hidangan pun suka. Horeeeeee…

Tidak akan cukup pastinya jika aku bercerita tentang sebuah keluarga dan rumah, karena kedua hal itu adalah bagian terpenting dalam hidup kita. Dan keluarga adalah hadiah paling indah yang diberikan kepada kita. Disanalah kita memulai, dan disanalah kita akan kembali. Satu lagi, keluarga itu tidak melulu didasarkan kepada ikatan darah, namun keluarga itu adalah kumpulan ruh yang sama yang sudah di satukan olehNya sebelum kita lahir di dunia ini.