Menata Hari Kembali


Kadang, ada waktu aku tidak banyak menggunakan social media. Sengaja menarik diri, karena ada yang mesti dibenahi.

Di akhir-akhir bulan Sya'ban ini, aku ingin memperbaiki hubunganku dengan Allah. Aku mengajak diriku untuk banyak diam dan banyak menuntut ilmu. Karena aku percaya, ilmu adalah jembatan untuk aku membenahi diri dan tentunya membenahi hubungan dengan Allah Azza Wa Jalla.

Agar teratur, aku harus menjadwal kegiatan-kegiatan apa yang akan aku lakukan (to do list). Rasanya lega dan ringan ketika apa-apa yang ada di pikiran diluapkan adalak sebuah tulisan.

Aku terlalu sombong dan congkak belakangan ini. Owh, mungkin juba selama ini. Pun, aku juga susah untuk memaafkan orang. Itu adalah kerikil-kerikil yang harus aku singkirkan.

You know what, aku punya impian baru. Aku ingin menjadi seorang ahli silaturahim. 

Ingin Mengalami Perasaan "Merasa Dilindungi"


Sore kemarin aku menikmati sore dengan membaca buku di halaman depan rumah.
Langitnya cerah dan anginnya lembut menyapa wajah.

Perasaan tenang dan damai seketika datang ke dalam relung jiwaku.

Lalu, sepupuku hadir. Dia bercerita tentang kejadian yang dialami beberapa waktu terakhir. Sepulang kerja, dia merasa takut dan khawatir kalau-kalau nanti ada preman yang mengganggunya (lagi). Memang, akibat tragedi Covid-19 ini, salah satu dampaknya adalah banyak begal di malam hari. Kemudian, dia menghubungi calon suaminya untuk menggantarkannya pulang. Calon suaminya itu dengan gagahnya datang dan mengawasi dari belakang motor sepupuku tadi sepanjang perjalanan pulang.

Mendengarnya, aku pun merasa lega dan aman. Rasa khawatir dan was was sudah hilang. Sepupuku akhirnya selamat.

Namun, disisi lain, aku merasa ingin merasakan itu. Ingin merasakan mempunyai seseorang yang bisa kuandalkan. Ingin merasakan mempunyai seseorang yang bisa aku mintai pertolongan. Ingin merasakan perasaan dilindungi.

Selama ini, aku melakukan dan menanggung apapun serba sendiri. Bahkan seringnya, berbicara dan berdiskusi juga sendiri.

Pengen suatu saat nanti bisa berdua. Itu saja.

Perasaan Ketika Membuat Kesalahan




Aku ingin sekali bercerita kepada seseorang begitu. Namun, aku tak pandai untuk memulainya. Selalu ada rasa grogi yang membuat cerita bakal tersendat-sendat. Lagipula, aku merasa semua orang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Aku pun menepi saja.

Aku memutuskan untuk bercerita kepada hujan.

Hai Hujan, selamat sore. Terima kasih ya karena hari ini, 31 Maret 2020, kamu datang dengan amat derasanya. Sampai aku pun tidak bisa melihat ada apa di ujung jalan sana. Aromamu segar. Suaramu menenangkan batinku. Aku yakin kamu adalah hujan yang taat. Hujan yang tidak pernah menolak ketika diminta untuk turun ataupun berhenti. Hujan yang ketika aku memajamkan mata untuk menikmati kedatanganmu, aku merasa seolah-olah kamu berkata “You are loved”. Hujan yang seolah-olah berkata kepadaku begini “Don’t worry. Jangan sedih, jangan merasa kamu tidak punya kawan. Jangan gelisah, jangan pernah merasa kamu tidak ada dukungan. Aku datang untukmu dan menemaimu.”

Terima kasih ya sudah datang di waktu yang amat tepat. Perasaanku sedang sesak dua hari ini. Aku merasa aku membuat kesalahan bicara kepada seseorang. Aku merasa isi pembicaraanku dan juga cara bicaraku tidak menarik. Padahal, aku amat suka berbicara dengannya. Dia pintar dan memberiku banyak wawasan baru. Benar-benar menjadi kebahagiaan dan kebanggaan bisa berbicara dengannya. Aku selalu ingin agar dia suka berbicara kepadaku. Aku ingin menjadi partner diskusi yang nyaman untuknya. Namun apa daya, dua pesan terakhirku tidak ada balasan darinya.

Lalu aku mendadak ketakutan. Apakah ada yang salah dengan kata-kataku? Apa dia tidak suka dengan bahasaku? Apa dia menjadi ilfell dengan sikapku? Apa dia akan menjauh dariku?

Dua hari aku menerima dan mendekap erat ketakutan-ketakutan itu. Aku biarkan hatiku kritis dan fragile serta insecure. Aku berusaha untuk mengganti kacamata dan menghapus fikiran negatifku. Aku mengajak diri untuk menjadi “Bodo Amat”.

Hujan, disaat seperti itu, aku tidak membiarkan diriku menulis dan membuat status WA. Aku tidak membiarkan diriku hanya diam saja. Kemarin, aku menyibukkan diri menyelesaikan deadline kantor. Lalu, aku membersihkan rumah, dan mengurus kucing serta olahraga. Keliatannya sibuk, namun hatiku sebenarnya sedang kalut memikirkan kesalahanku.

Aku terus berusaha, Hujan. Aku terus berusaha agar aku tidak terbelenggu dengan ketakutan-ketakutan itu. Ketakutan akan kesalaham dan ketakutan akan asumsi orang. Aku berharap, kedepannya aku menjadi seorang yang lebih berani. Berani salah, dan berani untuk bangkit dari ketakutan asumsi orang.

Live your busy life!

Klaten, 31 Maret 2020
18.33