Menggurungkan Memberi Kado


Satu Tujuan Kopi. Itu adalah nama salah satu kedai kopi asyik di sekitar tempatku tinggal. Tempatnya remang-remang. Elagan. Dihiasi nuansa lampu kuning nan cantik. Tidak banyak pengunjung yang datang. Tidak banyak pula suara-suara yang bakal mengganggu ketenangan. Kufikir bukan karena tempatnya kurang menarik untuk dikunjungi. Melainkan orang kesitu sedikit berpikir duit yang mesti dikeluarkan untuk membeli satu cangkir kopi. 

Sudah lama aku ingin ke tempat itu. Sabar adalah kekuatanku. Aku perlu menunggu waktu ketika uangku agak berlimpah. Dan akhirnya waktu itu tiba. 

Sayangnya, ketika waktu itu tiba, aku sudah tidak begitu ingin kesana. Tapi, karena ada hal yang ingin aku bicarakan, aku memilih tempat itu, Satu Tujuan Kopi, untuk tempatku mengungkapkan perasaanku. 

Aku mengajak Sonia. Teman yang pernah aku ceritakan tentang kedai kopi itu. Dulu memang aku pernah berjanji untuk mengajaknya kesana. Selain itu, Sonia adalah temanku bekerja yang juga mungkin akan paham tentang perasaanku yang sedang kurasa. 

"Kau mau pesan apa, Son?"
"Caravan aja deh. Sepertinya lebih nikmat."
"Good choice, Son. Aku mau pesen cappucinno aja deh."

Lalu, kami pun memanggil waitress dan memesannya. 

"Eh Son, kemarin itu adalah ulang tahun Caca. Tanggal 25 Juni."  aku berbicara dengan hati-hati, tertata, dan pelan-pelan. 
"Oh iya? Terus kamu apain dia?", tanya Sonia.
"Tau ga sih, dari awal tanggal 1 Juni itu, aku sudah membeli kado buat dia. Rencanannya nanti aku juga mau membuat surprise kejutan buat dia."
"Tapi keknya kemarin ga ada apa-apa itu. Anteng-anteng aja pas hari ulang tahun dia."
"Nah itu dia. Aku jadi males untuk melakukannya. Bahkan sampai sekarang pun kadonya belum aku kasihkan ke Caca." aku menarik napas dan membetulkan posisi dudukku.
"Lah why?", mata Sonia melotot seolah-olah ingin tau sekali alasan sikapku yang aneh itu.

Aku menarik napas kembali. Aku tidak ingin tersulut emosi karena membicarakannya. Memang aku tidak suka padannya. Tapi, aku tidak ingin membencinya. Aku ibaratkan dengan tikus. Aku memang tidak suka tikus. Namun aku tidak pernah memasukkan tikus ke dalam perasaanku. Aku tidak membenci tikus. Aku tidak dendam terhadap tikus. Kalau sudah tidak melihat tikus, ya sudah aku tidak memikirkannnya. 

Aku tidak suka Caca. Parahnya ketidaksukaanku pada Caca mempengaruhi emosiku. 

Momen ulang tahunya rencana akan aku gunakan untuk menambal perasaan-perasaan tidak sukaku padanya. Aku sudah menyiapkan konsep begini dan begitu. Tapi, tingkahnya menjelang ulang tahunnya tiba membuatku mengurungkan niatku itu. 

"Dia begitu berisik akhir-akhir ini. Mulutnya selalu bicara. Nyaring banget suaranya. Di setiap kalender temen-temen di kantor, dia tulisin nama dia." aku mulai masuk pada inti.
"Iiiih...parah banget tu anak."
"Benar katamu. Dia itu terlalu self-center. Dia attention-seeker. Dia menganggap dirinya superior dan selalu merasa sudah tahu banyak hal. Akibatnya dia suka memandang sekelilingnya ga tau apa-apa. Tambahan lagi, dia kurang respect sama orang yang lebih tua darinya."

Kami berdua sama-sama menghela napas. Ghibah kami maksimal. Kami pun tertawa cekikikan dengan gaya kami yang biasanya menolak ngobrolin tingkah orang di kantor, namun kenyataanya kami pun juga ngobrolin tingkah orang. 

But wait. Malam itu tertiba Sonia mengungkapkan pemikiran langit yang tak pernah kusangka-sangka. 
"Yumna, itu aja manusia gitu ya. Gegara liat sikap ga baik, jadi ga jadi ngasih hadiah. Kalau Allah itu gitu ga ya?"
Glek. Aku terkesima dengan pemikiran Sonia.
"Maksudnya Son?"
"Contoh nih ya. Allah rencana mau ngasih kita jodoh nih. Tapi, gegara sikap kita yang tidak berkenan untukNya, maka jodoh itu dipending."
"Hahaahahahaahahahahhaha....analogimu ke jodoh ye. Tapi bisa jadi sih. Terkadang attitude kita yang menghalangi kita dari rejeki-rejeki itu."


*Hanya cerita fiktif belaka
*Solo, 18 November 2019