Harus Mengalami

Tulisan Kurniawan Gunadi dibawah ini sengaja saya tampilkan sebagai pengingat bagi saya untuk berlapang dada terhadap apa-apa yang terhampar di depan mata, untuk selalu mengingat bahwa hidup adalah belajar, dan untuk meneguhkan bahwa ujian diberikan untuk kita semakin berkapasitas. 
Hati kita kadang harus terluka. Agar kita tahu bagaimana rasanya dikhianati. Agar kita tidak mengkhianati. Hidup kita kadang harus hancur. Agar kita tahu bagaimana rasanya dicaci. Agar kita tidak ikut mencaci. Pikiran kita kadang harus jenuh. Agar kita tahu bagaimana rasanya dijauhi. Agar kita tidak menjauhi.

Seluruh cerita hidup kita kadang harus acak-acakan, harus banyak lubang, terluka di sana-sini. Agar kita tahu bagaimana rasanya dibenci, ditinggalkan, ditipu, diolok-olok, diasingkan, dibiarkan. Agar kita tidak menjadi bagian dari orang-orang yang merusak cerita hidup orang lain.

Seluruh cinta kita kadang harus hancur berantakan. Agar kita tahu bagaimana rasanya tidak berbalas, tahu bagaimana rasanya khawatir, menunggu, ditunggu, diburu waktu, dikhianati, bertepuk sebelah tangan, berharap, bersatu. Agar cinta kita menjadi lebih bijaksana, tidak gegabah dalam mengambil keputusannya.

Hidup kita kadang harus seperti itu. Hanya agar kita tahu bagaimana rasanya. Agar kita belajar dan menjadi lebih bijaksana.

Solo, 1 November 2016

Hari Jumat dan Butik Batik Laweyan


Image result for hujan dan tangan 
sumber: https://www.google.co.id/search?q=hujan+dan+tangan&biw=

Jumat adalah hari raya buat saya. Di hari tersebut, banyak harapan yang berusaha ditegakkan kembali setelah sempat layu dan terhenti untuk tumbuh. Ada optimisme bahwa apa yang sudah diharapkan akan bergerak beberapa ratus mil ketika di waktu tersebut seseorang berdoa dengan khusyuk. Ya, Allah sudah menjanjikannya. Allah sudah memuliakan hari Jumat. Dan janji Allah pasti, bukan?

Jumat sore itu kota Solo diguyur hujan. Awalnya deras, namun setelahnya hanya hujan rintik-rintik yang bersisa. Saya semakin bahagia sebab dua kondisi mustajab untuk berdoa dibentangkan seluas-luasnya. Saya memandang jendela yang berada di depan meja kerja. Lewat tetes-tetes hujan dari langit, seolah Allah sedang berbisik kepada saya, "Berdoalah Tami". Saya pun tidak mengabaikan bisikan tersebut.

"Ya Rabbana, semoga Engkau ridho kepada saya dan berikanlah kepada saya kebaikan yang banyak dari sisiMu". 

Saya menutup doa singkat tersebut dengan senyum tipis. Ada perasaan damai yang pelan-pelan berhembus kedalam dada. Saya kemudian ingin segera meninggalkan kantor, dan bergegas menuju tempat kesukaan saya menghabiskan Jumat sore, Masjid Kalitan (Masjid yang dibangun tepat di depan rumah Alm. Ibu Tin Soeharto). 

Bagi pekerja kantor yang sebagian besar waktunya dihabiskan di depan komputer seperti saya ini, bertemu dengan orang baru dan bisa membantu orang secara langsung adalah anugerah yang membuat hati merekah. Dan di Masjid Kalitan tersebut, saya selalu dipertemukan dengan orang-orang baru (meskipun hanya pertemuan sekedarnya). Ada seorang anak laki-laki 1000 wajah (red: down syndrom) yang suka untuk mengumandangkan iqomah. Ada seorang keluarga kecil yang beristirahat di Masjid, dan anak balita yang dibawanya berlari menghampiri saya, penasaran dengan apa yang saya baca, dan kemudian duduk di depan saya untuk membolak-balikkan halaman Al Qur'an yang ada di pangkuan saya. Ada seorang perempuan cantik nan modis yang tiba-tiba menyapa dan kemudian bertanya, "Maghrib jam berapa ya Mbak? Nitip tas saya ya Mbak.". 

Lepas maghrib, saya bergegas untuk ke perjalanan berikutnya. Masih dengan hujan rintik-rintik, saya menerobos air dari langit tersebut dengan perasaan damai. Meskipun banyak orang takut hujan dan takut pakaian mereka basah, namun bagi saya hujan itu indah. 

Saya mencari mesin ATM. Dalam perjalanan pulang, ada beberapa tempat yang bisa digunakan untuk mengambil uang. Saya berfikir sebentar tempat mana yang akan saya pilih. Setelah mempertimbangkan ini dan itu, akhirnya pilihanya jatuh ke mesin ATM di depan Butik Batik Laweyan Solo. Sampai sana, ternyata pengunjung butik tersebut sedang ramai. Bukan oleh penduduk lokal, namun oleh beberapa wisatawan. Di dalam ATM, ada tiga orang ibuk-ibuk dengan logat orang bugis. Saya mengantri. Ketiga ibu-ibu tersebut sepertinya sedang bingung dengan mesin kartu ATM nya. Akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi. Dibelakang saya ada seorang bapak setengah baya, berambut gondrong, seperti seorang seniman dan penyuka filosofi. Saya mempersilahkan beliau duluan karena transaksi yang akan saya lakukan lumayan lama sedangkan beliaunya hanya tarik tunai saja. Setelah selesai, dengan nada sopan, beliau berucap "Terimakasih Mbak". Saya selalu suka mendengar kata tersebut.

Akhirnya tibalah giliran saya untuk melakukan transaksi. Agak lama memang. Namun syukurlah tidak menimbulkan antrian panjang. Setelah selesai, tiba-tiba muncullah seorang ibu dari ibu-ibu yang sebelumnya bermasalah dengan ATM. Tiba-tiba meraih tangan saya dan ditarik menuju ke mesin ATM kembali. Tanpa ada kata "minta tolong" ataupun "permisi". 

"Sini coba bantu sebentar untuk ngambil duit", ucap beliau dengan nada orang bugis yang sepertinya tinggal di Kalimantan. Tidak ada kontak mata di antara kami. Dan tidak ada penutupan nomor PIN. Bahkan saya diminta untuk memencetkan nomor PINya. (FYI: Si ibu adalah seorang PNS). Dalam batin saya, "Ni ibu, mudah banget percaya sama orang". 

Setelah mencoba beberapa kali menuliskan jumlah tarikan, tidak ada respon positif dari mesin ATM untuk mengeluarkan sejumlah uang yang diminta. Mengecek saldo pun tidak bisa sebab menggunakan ATM yang berbeda. Akhirnya kami coba pindah ke mesin ATM yang lain. Sekedar mengecek saldo. Dan ternyata saldo ibu nya adalah NOL. Well, Ok. Ibunya hanya bilang, "Oh, berarti transferanya belum sampai". Udah. Begitu saja. Dan meninggalkan saya. Without saying anything. Tidak menggunakan aturan umum seperti biasanya yang menggunakan senyum dan ucapan terimakasih.

Saya hanya tersenyum kecil dalam hati. Disisi lain senang bisa membantu si ibu, namun disisi lain juga geli. Apapun itu, saya bahagia dengan sikap ibu tersebut. Kita belum saling mengenal, namun ibu nya percaya kepada saya. Apapun itu, saya bahagia sebab saya diberi kesempatan olehNya untuk membantu sesama, meskipun dengan hal yang sangat sederhana. Apapun itu, saya harus tetap percaya bahwa Ia selalu berkata "iya" untuk doa-doa kita. 

Selamat hari Jumat. Semoga doa-doa mu cepat terjawab. 

Solo, 1 November 2016

Belajar Akhlak dari Tukang Pembuat Jenang

Image result for happiness



Pak Bambang namanya. Istrinya sudah lama meninggal sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Sekarang ia hidup bersama seorang anak lelakinya yang masih sekolah SMA. Sehari-hari, Pak Bambang bekerja apa adanya. Apa yang bisa dikerjakan, maka dikerjakan. Asal dapat upah untuk menghidupi anaknya.

Keluarga saya sangat beruntung dipertemukan dengan sosok Pak Bambang. Ya, kami memang mencari sosok seperti Pak Bambang. Ibuk saya yang menemukanya (atas taufiq dariNya tentunya). 

Kebetulan Ibuk dapat banyak pesanan untuk membuat Jenang Lot (Makanan khas Jawa yang terbuat dari ketan dan santan yang sering disebut dengan sebutan dodol). Pesanannya biasanya dalam jumlah banyak, minimal 15Kg adonan sekali masak dan membutuhkan waktu paling tidak 10 jam untuk mengaduknya. Tenaga perempuan tentu tidak mampu dan tidak bisa maksimal untuk mengerjakanya. Oleh karenanya, Ibuk mencoba untuk berkeliling dari kampung ke kampung untuk mencari tau orang yang bisa diandalkan untuk mengerjakan pekerjaan itu. Setelah proses pencarian yang tidak sebentar, akhirnya takdir mempertemukan dengan Pak Bambang.

Ibuk dan Bapak menyukai bagaimana Pak Bambang bekerja. Beliau sangat serius mengaduk Jenang yang ada di depanya. Penuh tenaga. Memastikan bahwa adonannya tercampur sempurna. Jika ada bahan-bahan yang kurang, maka Pak Bambang segera mengingatkan Ibuk untuk menambahinya. Ketika proses mencetak, Pak Bambang memastikan permukaan depan Jenang halus sempurna.

Jika waktu solat tiba, Pak Bambang tidak pernah menunda solatnya. Bergegas membersihkan badanya dan menuju ruangan solat. Solatnya sangat khusyuk dan tenang. Jika sudah selesai solat, beliau pasti menutup pintu pagar rumah dimana beliau masuk menuju ruangan solat. Seolah-olah beliau memastikan bahwa pintu tersebut harus tertutup rapat agar tidak ada orang yang berani masuk kedalam mengambil barang-barang yang ada diteras rumah. Jika pekerjaan sudah selesai, Pak Bambang pasti tidak mau untuk dipersilahkan mandi di kamar mandi dalam rumah. Beliau memilih untuk mandi di kamar mandi luar yang kami sediakan untuk tamu biasa. Ketika disediakan air hangat untuk mandi, beliau pasti hanya mengambil sedikit saja.

Dan yang membuat saya terketuk untuk mengabadikan sosok beliau adalah perkataan Bapak saya tadi malam.
"Aku senang melihat Pak Bambang. Wajahnya selalu menyenangkan jika dikasih makanan.", begitulah kata Bapak saya.

Iya. Setiap Pak Bambang akan pulang, dan itu biasanya malam hari, Ibuk selalu memberikan sedikit makanan kepada Pak Bambang. Memang jika Pak Bambang datang, Ibuk pasti memasak makanan banyak, agar bersisa dan bisa dibawa pulang Pak Bambang. Tidak berupa makanan mewah, hanya makanan desa yang semuanya diambil dari hasil panen pekarangan rumah. Namun, wajah Pak Bambang memperlihatkan wajah senang, dan selalu mengatakan "Sampun. Niki katah sanget."

Saya tidak bisa menggambarkan dengan detail bagaimana ekspresi wajah bahagia Pak Bambang ketika menerima makanan tersebut, namun Bapak dan Ibuk saya bahagia melihat wajah bahagia Pak Bambang.

Saya tidak turun tangan. Saya hanya memperhatikan kejadian-kejadian itu saja. Dan kemudian teringat akan satu akhlak yang diajarkan oleh Baginda Rasul Muhammad Shallahu 'Alaihi Wasalam. Beliau tidak pernah mencela makanan. Beliau selalu bersyukur dengan segala makanan yang berada dihadapanya. Jika tidak suka, beliau hanya mencontohkan untuk meninggalkanya, tetap tidak mencelanya. 

Lebih jauh dari itu, saya kemudian berfikir akan suatu konsep Sang Pemberi dan si penerima. Sang Pemberi yang saya maksud adalah Allah, dan si penerima adalah manusia. Apa-apa yang diberikan kepada manusia untuk menjalani hidup ini disebut rejeki, bukan? Entah itu makanan, udara, tempat tinggal, pekerjaan, anak, teman hidup, dan bahkan bentuk tubuh. Jika kita bahagia dengan apa yang Allah berikan kepada kita, apakah Allah tidak akan bahagia melihat kita? Tidak ada gerutu, tidak ada celaan, dan tidak ada kecewa.

Dan terimakasih kepada Bapak Tukang Pembuat Jenang, secara tidak langsung beliau mengingatkan saya untuk mengajak hati saya berbahagia dengan segala apa yang diberikan oleh Sang Maha Pencipta kepada saya. Bersyukur. Iya. Itulah pesan yang selalu diulang-ulang olehNya dalam kitabNya.

“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya  jika kamu bersyukur, Kami pasti akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku maka sesungguhnya adzab-Ku amatlah pedih"
(QS. Ibrahim: 7)

26 Muharram 1438H
Solo, 27 Oktober 2016

#Muharram Menulis

Karena Ada Hati yang Perlu Dijaga


Pada suatu hari, entah kebetulan apa tidak, saya mendapati banyak para ibu-ibu muda yang membanggakan para buah hatinya pada khayalak ramai.

"Aduh, pinternya ini Kakak X."
"MasyaAllah, cantiknya ini anak bunda ..."
"Siapa yang ga gemes liat anak lucu kayak gini ..."
Dan, bla-bla lainya.

Ya, saya tau. Mereka pasti sangat bahagia dengan karunia yang dititipkan Allah kepadanya. Mereka pasti bangga karena apa yang sudah mereka perjuangkan untuk rawat, berbuah tak sia-sia (paling tidak sampai waktu itu). 

Namun, tertiba saya teringat akan sebuah masa lalu ketika ada seorang bunda yang setiap hari berjuang untuk mensyukuri kondisi anak yang dilahirkannya. Si bayi, masyaAllah, cakep dan kulitnya putih. Namun, selama 6 bulan, bayi itu selalu menangis setiap hari. Bukan karena dia adalah seorang bayi yang hanya bisa menangis, namun karena penyakit yang sedang diderita oleh si bayi mungil itu. 

Bunda dari si bayi munggil pernah berkata kepada saya, "Andaikan penyakit itu bisa dipindah rasa sakitnya, biarlah aku aja yang ngalamin sakitnya".

Ya, saya bisa merasakan bagaimana beratnya menjalani hari-hari itu. Betapa harus kuat bersabarnya ketika si bayi harus berkumpul dengan banyak bayi lainya, dan kemudian para bunda menceritakan kehebatan bayinya masing-masing. Sedangkan teman saya harus berjuang untuk tabah mendengarkan dan juga tersenyum semampunya.

Bersabar dan bersyukur. Itulah yang terus dipupuk oleh teman saya tersebut.

Namun, Allah tahu yang terbaik. Bayi tersebut harus kembali kepada pemilikNya pada usianya yang masih 6 bulan. 

Teman saya menangis. Saya juga menangis. Teman saya bersedih, dan saya juga ikut bersedih.
Tidak apa-apa, karena perempuan hanya perlu menangis untuk berdamai dengan takdirnya, bukan?

Setelah kejadian itu berlalu, saya berusaha untuk terus mengingatkan diri saya pribadi, bahwa dalam hidup ini, ada hati yang perlu dijaga. Bahwa masih banyak cara untuk merayakatan kebahagiaan dan kebersyukuran yang bijaksana dan tidak mencedera.

Selamat belajar.

25 Muharram 1438
Solo, 26 Oktober 2016

#Muharram Menulis
#Mengenang Hauzan

Diam

Karena diam adalah bahasa yang hanya bisa dipahami dengan hati. Hanya hati yang jernih, yang bisa melihat diam sebagai sebuah puisi indah, sebagai sajak panjang dalam malam-malam sunyi.

Karena diam adalah bahasa yang hanya dipahami oleh diri sendiri dan Tuhan. Memilih diam, adalah memilih bercakap dengan diri sendiri. Dan hanya Tuhan yang tahu. Sebab itu aku memilih diam. Sebab aku tahu, Tuhan tidak akan pernah diam saja. Dia berbuat sesuatu dan aku tidak tahu. Tapi aku selalu tahu, bahwa Dia tidak sekalipun berniat buruk padaku.

Karena diam adalah bahasa yang selama ini disampaikan bumi kepada langit. Hujan kepada tanah. Angin kepada pucuk-pucuk bunga. Tanah kepada akar pohon. Malam kepada pagi. Dan kini diam adalah bahasa yang aku sampaikan kepadamu.

Sebab alam mengajarkan cinta dalam diamnya. Memelihara cinta dalam diamnya. Memanjatkan cinta dalam bahasanya. Sebab semesta mengajarkan kasih sayang dalam diamnya. Mengajarkan keindahan dalam heningya. Dan ketenangan selalu berhubungan dengan keheningan

Tidak perlu banyak bicara dan banyak tingkah untuk mengungkapan bahasa ini. Sebab, telah aku tahu bahwa meski diam. Tuhan tidak akan diam saja.

 20 Muharram 1438
Solo, 21 Oktober 2016

#Tulisan Kurniawan Gunadi
#Muharram Menulis

Merasa Beruntung

"Ini rumah siapa cuy, bagus amat", tanya saya pada seorang kawan.
"Kamu tau Raehanul Bahrein?", tanyanya.
"Hmmm..keknya tau", kataku.

Saya sebenarnya tidak begitu tau siapa itu Raehnaul Bahrein. Yang saya ingat orang tersebut pernah menulis sesuatu hal penting yang berhasil menyadarkanku dari suatu kelalaian fatal tentang Hasad.

Yah, Hasad. Hasad yang pasti ada dalam jiwa seseoarang. Hasad yang akhir-akhir ini mudah sekali timbul dari hiruk pikuk media sosial. Hasad yang saya pribadi coba untuk diminimalisir dengan memutuskan untuk tidak aktif di dunia media sosial.

Beginilah tulisan Raehanul Bahrein.

Tidak semua kebahagiaan, romantisme keluarga dan lain-lain dipublish publik. Dipublish jika memang bermanfaat bagi yg lain dan bisa menjadi faidah bagi yang lain.Orang baik-baik pun juga bisa terlintas hasad dan ini dimanfaatkan setan, apalagi yang memang hatinya sering berjiwa hasad.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,
 Sesungguhnya hasad adalah di antara penyakit hati. Inilah penyakit kebanyakan manusia. Tidak ada yang bisa lepas darinya kecuali sedikit sekali. Oleh karena itu ada yang mengatakan, “Setiap jasad tidaklah bisa lepas dari yang namanya hasad". Namun orang yang berpenyakit (hati) akan menampakkannya. Sedangkan orang yang mulia akan menyembunyikannya.”
(Majmu’ Al Fatawa 10/124-125, Ibnu Taimiyah, Majma’ Al-Malik Fahd, Madinah, 1416 H, Asy-Syamilah)


Bisa jadi juga orang yang TERLALU SERING melihat romantisme keluarga maka ia akan tidak bersyukur dengan pasangannya saat ini. Atau ada yang memang kurang beruntung mendapatkan pasangan suami/istri yang kurang ideal menurut dia atau kurang sempurna.

Bisa jadi karena ia terlalu sering melihat gambaran suami ideal atau istri ideal orang lain yang terlalu sering dipublish (padahal bisa jadi yang dipublish “tidak seromantis” di dunia nyata)
Peringatan ini khususnya bagi wanita dan istri, agar bijak mempublish kebaikan dan romantisme suami mereka karena hasad LEBIH SERING MUNCUL pada wanita.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah  berkata,
 “hasad umumnya lebih sering terjadi antar sesama wanita, lebih-lebih mereka yang memiliki satu suami yang sama. Maka wanita tersebut akan cemburu karena jatahnya [berkurang]. Oleh karena kesamaan tersebut akan menghilangkan sebagian jatahnya. Demikianlah hasad sering terjadi diantara orang yang memiliki kesamaan dalam kedudukan dan harta.”
(Amroodul Qulub wa Syifaa’uhahal 21, Mathba’ah Salafiyah, Koiro, cet. Ke-2, 1399 H, Asy-Syamilah)

 Jadi mari bijak mempublish kebahagian dan romantisme keluarga di publik dan media sosial.

Sejak saat silaturahim ketempat teman yang kebetulan sedang ngontrak dirumahnya Raehanul Bahrein dan saya merasa beruntung berkunjung kesana, saya sekarang sering (bahkan tiap hari) belajar ilmu agama dari website yang dikelola oleh Raehanul Bahrein di www.muslimafiyah.com dan juga www.muslim.or.id yang mana Raenaul Bahrein sering menjadi kontributor disana.

19 Muharram 1438
Solo, 20 Oktober 2016

#Muharram Menulis

Rabbana Taqabbal Minna

Selalu merasa bersyukur jika ada seseorang yang mengingatkan saya akan hadist berikut ini:
"Seseorang masuk surga bukan karena amalnya, tetapi karena rahmat Allah Ta'ala. Karena itu bertindahlah yang lurus dan benar".
Terkadang sebagai manusia biasa, perasaan merasa sudah melakukan banyak hal sempat menghampiri. Namun, belum tentu semua yang kita lakukan itu diterima olehNya dan belum tentu hal tersebut akan menjamin kita bebas dari siksaNya, bukan? Kalau dilihat secara kasat mata, kita solat lima waktu. Namun, bagaimanakah kualitasnya? Kalau diperhatikan, sedekah yang dikeluarkan cukup rutin. Tetapi, apakah juga hal tersebut dicatat oleh Malaikat sebagai amalan penuh?

Untuk itu, saya mencoba menuntun dan mengingatkan diri saya pribadi untuk selalu melafalkan kalimat ini "Rabbana Taqabbal Minna" setelah melakukan suatu amalan. Yang artinya "Ya Allah terimalah amalanku". 

Semoga dengan begitu, Allah menerima amal saya (dan juga amalmu) yang menjadi jalan memperoleh cintaNya lebih dan lebih. 

19 Muharram 1438
Solo, 20 Oktober 2016

#Muharram Menulis

Bisikan Sahabat

Malam itu kotaku sedang diguyur hujan. Aku sudah bersiap untuk beristirahat. Lalu, ada pesan dari seorang sahabat. Sebuah rangkaian suara yang membuatku menitikkan air mata.


Sahabat,
Jika kau merasa lelah dan tak berdaya dari usaha yang sepertinya sia-sia
Allah SWT tau betapa keras engkau sudah berusaha

Sahabat,
Ketika kau sudah menangis sekian lama dan hatimu masih terasa pedih
Allah SWT sudah menghitung air matamu

Sahabat,
Jika kau fikir bahwa hidupmu sedang menunggu sesuatu dan waktu terasa berlalu begitu saja
Allah SWT sedang menunggu bersama denganmu

Sahabat,
ketika kau merasa sendirian dan teman-temanmu terlalu sibuk untuk menelfon
Allah SWT selalu berada disampingmu

Sahabat,
Ketika kau fikir bahwa kau sudah mencoba segalannya dan tidak tau hendak berbuat apa lagi
Allah SWT punya jawabanya

Sahabat,
Ketika segala sesuatu menjadi tidak masuk akal dan kau merasa tertekan
Allah SWT dapat menenangkanmu

Sahabat,
Jika kau tertiba dapat melihat jejak-jejak harapan
Allah SWT sedang berbisik kepadamu

Sahabat,
Ketika segala sesuatu berjalan lancar dank au ingin merasa mengucap syukur au
Allah SWT telah memberkatimu

Sahabat,
ketika sesuatu yang indah terjadi dan kau dipenuhi ketakjuban
Allah SWT telah tersenyum kepadamu

Sahabat,
ketika kau memiliki tujuan untuk dipenuhi dan mimpi untuk digenapi
Allah SWT sudah membuka matamu dan memanggilmu dengan namamu

Sabahat,
Ingatlah bahwa dimanapun kau atau kemanapun kau menghadap
Allah SWT tau

Sahabat,
Kini, apalagi yang kau risaukan, apalagi yang engkau gundahkan

Tersenyumlah

Kehidupan dapat memberikan ratusan alasan untuk marah, kecewa dan menangis
Tetapi keyakinan akan kehadiran disisi, dihati, ditiap detak jantung, tiap gerak langkah, di tiap hembusan nafas, menjadikan hidup ini lebih berwarna, indah , dan menyenangkan

Dan ada berjuta alasan untuk selalu tersenyum
Maka, tersenyumlah sahabatku

Selamat menabung amal terbaik

Semangat.

Terimakasih untuk sahabat yang ada di kota Malinau. Semoga kita bisa saling menyemangati untuk menjadi hamba terbaikNya.

16 Muharram 1438
Solo,  17 Oktober 2016

#Muharram Menulis

Belajar Menjadi Tetangga yang Menyenangkan

Image result for good people

Namanya adalah Mbokde Dariyah. Beliau tetangga dekat saya. Rumahnya hanya berjarak kurang lebih 100 meter disebelah rumah saya. Usianya saat ini sekitar 61 tahun. 

Kemarin sore, saya mendapati beliau datang ke rumah dengan wajah yang tidak kelihatan bahagia. Beliau menemui Ibuk saya, bercerita dan kemudian menangis. 

Saya yang sedang asyik memasak di dapur dan sengaja mendengar semua cerita yang disampaikan, merasa kasihan dengan Mbokde Dariyah. 

Cucu beliau yang baru berumur kurang lebih satu bulan sedang dirawat dirumah sakit karena berat badanya tidak kunjung naik sejak saat dilahirkan. Malah konon berat badan si bayi turun. Beliau sungguh sedih melihat kondisi cucunya. Kesedihan tersebut semakin terpuruk ketika banyak masyarakat yang membicarakan anaknya dan menyalahkan cara merawat si bayi. (FYI: Si bayi ini adalah cucu ketiga Mbokde Dariyah, dan baru kali ini ada cucunya yang sakit ketika bayi). 

Mendengar masalah yang dialami oleh Mbokde Dariyah saya kemudian teringat akan nasihat oleh agama yang diulang-ulang dalam kitabNya, yakni sabar. Sabar terhadap apapun. Sabar terhadap hati yang sedang sempit serta sensitif. Sabar terhadap segala omangan masyarakat dan berusaha tidak marah serta membenci mereka yang menghardik. Sabar untuk tetap menganggap segala yang sedang ada didepan mata dengan cara pandang positif. 

Yah, inti dari keimanan adalah sabar dan syukur bukan? Entah dilevel manapun kita berada.
Berat memang untuk hidup di masyarakat. Namun, bukanlah Allah sudah berjanji akan menyukai kita ketika kita memilih untuk hidup bergaul dengan mereka ketimbang hidup sendiri yang kemungkinan kita akan nyaman? 

Saya mengingatkan diri saya pribadi untuk terus melatih kesabaran dalam berbagai hal, terutama bersabar untuk terus belajar menjadi seorang yang baik di tengah masyarakat. Bersabar untuk saling menasihati dalam kebaikan. Bersabar untuk tidak menghakimi. Dan bersabar untuk berjuang mengharap ridho Ilahi.

Selamat memperjuangkan hal-hal terbaik dalam kehidupan.

 16 Muharram 1438
Solo, 17 Oktober 2016

#Muharram Menulis

Menemanimu

Kau bertanya padaku
"Apa mimpimu?"

Aku terdiam sesaat.
Menerawang mimpi-mimpi diri yang pernah dipatri.

"Menemanimu", kataku.


14 Muharram 1438
Solo, 14 Oktober 2016 

#Muharram Menulis (Day 5)

Ingin Menjadi Ibu Seperti Ibuk

Suatu ketika, Bapak menyuruh Ibuk untuk pergi kerumah saudara di waktu yang masih pagi. Ibuk masih masak, dan menjawab perintah Bapak dengan jawaban yang ternyata tidak membuat Bapak senang.
"Iya Mbah. Nanti habis masak tak kesana", begitulah jawabanya. (FYI: Ibuk memanggil Bapak dengan panggilan Mbah, ketika Bapak sudah menjadi seorang kakek).

Tidak senangnya Bapak ini berujuang kepada Bapak tidak mau makan makanan yang telah dimasak Ibuk. Masalah sepele sih dalam rumah tangga, menurutku. Mungkin Bapak sedang banyak fikiran, jadi hal yang seharusnya tidak perlu marah pun, jadi marah. But, anyway, bukan masalah hubungan suami-istri yang akan saya bahas.

"Aku tu kalau masakan belum beres, belum bisa pergi keluar. Rasanya hati ga tenang.", Kalimat Ibuk dalam bahasa Jawa ketika mengetahui kalau Bapak sudah pergi bekerja dan makanan yang dibuatnya masih utuh. 

Glek. Saya tiba-tiba baru menyadari satu hal. Bahwa Ibuk saya adalah seorang Ibu Rumah Tangga. Ya, full time at home mother. Ibuk baru bekerja sampingan (red:jualan) ketika saya sudah masuk sekolah SD dan sudah bisa mengurus keperluan sendiri. 

Masih lekat dalam ingatan saya bagaimana dulu Ibuk merawat saya dan kakak-kakak saya. Setiap pagi Ibuk sudah masak. Ibuk memastikan kalau saya tidak jajan diluar. Ibuk tidak suka kebiasaan makan diluar. Ketika akan berangkat sekolah, sarapan pasti sudah tersaji. Sambil sarapan, saya dan kedua kakak saya mengantri untuk dirapikan rambutnya dan dikucir dengan berbagai gaya orang jawa. 

Ketika punya waktu luang, Ibuk menjahit. Ibuk menjahit baju untuk kami kenakan. Ibuk menjahit kain-kain sisa untuk dijadikan sarung bantal. Ibuk membersihkan rumah, menanam bunga, mengatur perabot rumah tangga, dan mencuci baju anak-anaknya.

Ketika saya sakit, Ibuk mengompres kepala saya, menunggui saya menangis, dan membetulkan selimut yang kadang tersingkap.

Ibuk ada disamping anak-anaknya, selalu.

Saya baru menyadarinya. Saya baru menyadari bagaimana hebatnya seorang Ibu Rumah Tangga.

Dan saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang mendedikasikan waktunya untuk mengurus suami, anak, dan rumah. 
Saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang selalu memasak dan bisa memasak masakan enak hingga cucu-cucunya selalu ingin mengunjunginya hanya untuk makan makanan simbahnya.
Saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang senantiasa berusaha menemani suami sarapan dan makan malam.
Saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang masak air untuk suami dan anak-anaknya mandi ketika udara dirasa sangat dingin. 
Saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang selalu bangga kepada anaknya bagaimanapun orang lain mengatakan hal buruk tentang anaknya. "Anak kan ga akan nakal terus. Pasti nanti dia berubah", begitulah katanya.
Saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang selalu bersabar menghadapi sikap suaminya dan rela untuk memposisikan dirinya dibawah suaminya.
Saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang rela untuk pendapatnya dinyatakan salah oleh suaminya dan hanya memilih diam serta menerima. 
Saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang tidak menuntut banyak kepada para anaknya untuk menjadi seperti ini dan itu. 
Saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang suka berbagi makanan kepada tetangga, dan suka membantu kebutuhan mereka yang membutuhkan bantuan.
Saya ingin menjadi Ibu seperti Ibuk yang selalu punya waktu untuk ditelpon anak-anaknya.

Semoga Allah memampukan dan menguatkan.
12 Muharram 1438
Solo, 13 Oktober 2016 
#Muharram Menulis (Day 4)

Tetangga yang Baik

Saya dan Bapak sedang siap siap untuk bekerja. Ibuk sedang pergi ke pasar. Kemudian saya mendengar ada bunyi sapu lidi yang sedang digunakan untuk menyapu. Suaranya sepertinya berasal dari ruangan dekat kolam ikan di dalam rumah. "Sreg sreg sreg", kurang lebih begitulah suaranya. 

"Loh Pak, niko sinten sik nyapu?", saya bertanya pada Bapak siapakah yang menyapu itu. 

"Mbah Ruk palingan.", Bapak menjawab.

"Loh, enten nopo koq nyapu rumah kita?", tanya saya penasaran. Karena kami selama ini tidak mempunyai pembantu yang secara resmi membantu dirumah.

"Arep ngewangi masak", jawab Bapak.

"Heh, masak dingge nopo Pak?", tanya saya dengan dahi yang rada berkerut.

"Mengko bengi acara 100an harinya Pak Tuo", jawab Bapak.
Saya kemudian menuju dapur yang ada diluar, dapur yang khusus untuk masak dalam jumlah besar. Saya temukan Mbah Ruk yang sudah tua namun masih sangat energik sedang menyalakan tungku. Setelah tungku menyala, beliau langsung berpindah untuk mengangkat beberapa panci besar untuk persiapan memasak. Saya menyapanya sebentar, dan kemudian bergegas untuk pergi bekerja.

Mbah Ruk oh Mbah Ruk. 

Beliau bukan keluarga biologis kami. Beliau hanya tetangga kami yang rumahnya sedikit jauh dari rumah kami. Namun, beliau melebihi dari hanya seorang tetangga. Beliau adalah keluarga kami.

Mbah Ruk dan Suaminya (Pak Sunar) adalah sepasang suami istri yang sangat menyayangi Almarhum Kakek saya. 27 - 30 Ramadhan 1437 yang lalu, Pak Sunar mengorbankan waktunya untuk membantu menjaga Pak Tuo (Panggilan untuk kakek) yang terbaring di rumah sakit. Bahkan, menit-menit sebelum Pak Tuo meninggal, Pak Sunar berada disampingnya.

Saya pun mendapatkan informasi bahwa semasa Pak Tuo masih sehat dan masih bisa pergi ke sawah, Pak Sunar adalah temanya. Mereka suka menghabiskan waktu berdua di sawah. Pak Tuo selalu mempercayakan pengerjaan sawahnya kepada Pak Sunar. Tak jarang, katanya juga, Pak Sunar dulu sering kerumah saya dan minum kopi bersama Pak Tuo diruang tamu. 

Mbah Ruk tidak kalah baiknya. Ketika dirumah ada acara apa-apa yang berhubungan dengan acara tahlinan untuk almarhum Pak Tuo dan Mbok Kasinem (Istri Pak Tuo yang meninggal dua bulan sebelum  Pak Tuo), beliau adalah seorang yang berada di garda terdepan untuk membantu. Di hari-hari biasa pun, Mbah Ruk sering datang kerumah untuk sekedar berbagi makanan dan terkadang juga membantu membereskan rumah yang tidak sempat dibereskan. 

Saya sangat tersentuh melihat akhlak Mbah Ruk dan Pak Sunar. Mereka secara tidak langsung meluaskan hati saya. Dan mereka, orang tua di kampung yang menjadi tauladan terbaik bagi saya untuk menjadi bagaimana seharusnya tetangga yang baik itu bersikap. 

Suatu saat nanti, saya juga ingin menjadi seperti mereka. Menjadi seorang tetangga yang baik untuk tetangga yang disamping rumah saya dan suami. Menjadi tetangga yang bisa memberikan kebahagiaan untuk tetangga yang lain. Menjadi tetangga yang baik, bukan hakim yang selalu menilai. Menjadi tetangga yang baik yang suka berbagi makanan. Menjadi tetangga yang baik yang meluangkan waktu untuk membantu. Menjadi tetangga yang baik yang selalu mendoakan. Menjadi tetangga yang baik yang memberikan senyum di pagi hari dan berucap "hati-hati ya di jalan". Menjadi tetangga yang baik yang senantiasa mendengarkan. Menjadi tetangga yang baik dimana tindak tanduk kita saling mengingatkan akan ketakwaan. 

Selamat belajar untuk menjadi tetangga yang baik. Semoga kita selalu ditempatkan di tempat yang diberkahi.

10 Muharram 1438
Solo, 10 Oktober 2016

#Muharram Menulis (Day 3)




Luaskan Hatimu yang Masih Biru

Jika kamu sedang jatuh, cobalah baca tulisan ini.

Ada kalanya kita sedih, sediih sekali. Mungkin saat itu bisa jadi saat-saat terberat dalam hidup kita. Kita sedang dicoba sedemikian rupa. Konon katanya, setelah ini kita naik level.

Sabar ...

"Terbentur, terbentur, terbentur, terbentuk." kata Tan Malaka.

Menggugulah, menangis saja. Biar lega. Asal jangan berlarut-larut.

Ingat, selalu ada hal-hal bahagia yang bisa kita rengkuh. Sekecil apapun, tumbuhkanlah.
Kumpulkanlah remah-remah bahagia itu. Sampai sakumu penuh. Dipenuhi syukur.

Beri ruang pada hati yang sedang biru untuk memahami bahwa setelah kesulitan, pasti ada kemudahan.

Semua akan terlewati dengan baik-baik saja. Jangan khawatir.

10 Muharram 1438
 Solo, 11 Oktober 2016

#tulisanajinurafifah
#Muharram Menulis (Day 2)

Welcome My Open Mind





Pekan ini saya mengikuti Camping Qur’an untuk pertama kalinya yang diadakan oleh Masjid Nurul Huda UNS yang bekerja sama dengan beberapa lembaga Tahfidz Qur’an di Surakarta. Acara ini ternyata diadakan setiap dua bulan sekali dan diikuti oleh kalangan umum dari anak SD sampai dengan emak-emak. Kegiatan yang dilakukan adalah menghafal Al Qur’an, mengulang-ngulang hafalan Al Qur’an, dan juga memperbagus  bacaan Al Qur’an. Kegiatan biasanya berlangsung selama dua malam dua hari, dimulai dari Jumat malam sampai dengan Ahad pagi. Waktu yang sangat cocok untuk anak sekolah dan para pekerja yang masih jomblo ataupun yang sudah menggenap bukan?

Saya mendaftar sendiri, dan tidak berfikir untuk mengajak teman. Sebab saya sadar selama bekerja di kota Solo dan bertempat tinggal di Klaten saya belum mempunyai teman yang mempunyai passion yang sama (menghafal Al Qur’an). Jadilah saya tidak menghabiskan energi untuk mencari teman. Saya mencoba untuk berani sendiri, dan tidak memikirkan untuk bergerombol datang kesana.

Namun, ternyata Allah tidak mau saya kesepian dan mati gaya di tempat. Ketika perkenalan di group WA, ternyata ada beberapa nomer yang tak dikenal menyapa saya. Dan mereka adalah Alumni SSA (Santri Asma Amanina). Yeay...bahagianya! 

Saya berniat menghafal Surat Maryam. Surat yang dimana awal-awal ayatnya sangat saya yakini. Tentang sebuah kesabaran dalam berdoa.

Saya mengambil salah satu spot di sebuah ruangan di dalam masjid diperuntukkan untuk peserta. Dideretan saya ada teman-teman dari rombongan Yogyakarta (termasuk alumni SSA). Dan hey, tepat disebelah saya ada seorang perempuan dengan penutup tubuh hitam-hitam (red: mengenakan cadar). 

Predudice is an unfair and unreasonable opinion or feeling, especially when formed without enough thought or knowledge. Dan itulah yang terjadi di dalam fikiran dan perasaan saya. Dengan hati dan fikiran yang sempit, saya mengenerasilasi si perempuan bercadar di samping saya tersebut dengan hal-hal yang saya simpulkan sendiri: saklek; tidak mau bergaul dengan orang diluar lingkunganya; kaku; eklusive; keras dalam berdalil; dll. (Poor me).

Saya tidak menyapa dia duluan. Saya asyik mengobrol dengan beberapa teman dari alumni SSA. Kemudian di tengah obrolan asyik kami, dia menyaut, “Kalian seru abis ya ngobrolnya”, komentar dia dengan senyum yang merekah. 

Wow, dia nyambung juga dengan celotan kami yang rada gila ini”, batin saya.

Keasyikan mengobrol, saya pun merasa lapar. Saya mengajak untuk mencari makan diluar sebelum acara pembukaan dimulai. Si perempuan bercadar ternyata mau ikut.
Itulah pengalaman pertama saya jalan makan dengan perempuan bercadar. Dia cerdas. Dia lucu. Dia suka humor. Dia (karena umurnya dibawah saya) manja terhadap saya. Dia alim. Dan dia suka makan serta naik gunung. 

Tidak saya sangka, selama acara berlangsung, saya kebanyakan berdua dengan dia. Dia menyemangati saya untuk menghafal Al Qur’an. Dia membantu menyimak hafalan Al Qur’an saya. Dia banyak membuat saya tertawa sampai terbahak-bahak dengan tingkah dia yang saya tidak sangka-sangka. Dan dia dengan segala sikap baik nya memberikan saya pelajaran berharga.



Bahwa jangan pernah menilai seseorang dari bendera yang dia bawa, namun lihatlah kepada diri mereka secara pribadi. Sebab, dalam satu bendera, tidak semua orang mempunyai tabiat yang sama. Just be wise!

Bahwa akhlakmu yang utama, bukan jamaah mana kamu berada.

#Muharram Menulis (Day 1)
#Ini adalah tulisan pertama saya di hari pertama bulan Muharram 1438 H (2 Oktober 2016). Saya berencana untuk menulis satu hari satu tulisan dan dijadwalkan untuk menulis pada dini hari. Muluk-muluk kedengaranya, namun yang namanya rencana, tidak ada yang salah bukan? Yang namanya impian, harus setinggi-tingginya bukan? Yang namanya berbuat baik harus dipaksa kan dan kalau perlu dilaunchingkan kan?? (Cari pembaca yang menganggukkan kepala, hehe).