Sang Pembela

"Hadirkanlah seorang penuntut bagi siapa saja yang mendholimi kami"
(Doa Khatmil Qur'an)

Siang itu, selepas solat dhuhur, saya menangis tersedu. Duh, kok ini blog akhir-akhir ini isinya sendu-sendu ya. Ya emang fasenya lagi sendu geis. Harap maklum yak. Gue manusia yang punya rasa. #halah

Well, balik ke menangis tersedu. Kenapa saya nangis? Akibat perkataan orang yang isinya menyayat hati. Daripada saya nyimpen itu rasa di hati, mending saya curhatin deh itu rasa perih sayatan sama Allah. Sambil nangis. Biar plong.

Nah, setelah hampir 20 menit saya menghadap  kiblat, ada pesan wa masuk. Sebut saja dari Si Nona.

...................................................................
Her : Tem
Me  : Why always you?
Her : What? Lo sedih?
...................................................................

Suatu ketika saya pernah bilang sama si Nona begini "Saat gue bilang sama Allah gue lagi sedih, nape lo yg selalu muncul dan said 'Tem'".

...................................................................
Me  : Yup.
Her : Nape loe sedih?
Me  : Tadi gw diginiin sama... Bla bla bla..
Her  : Ape?  Mana tu orang.  Biar tak lempar mukanya pake sandal. Berani-bera ninya ngatain kek gitu ma sobat gw ni.
...................................................................

Seketika hati saya tegak kembali. Ada perasaan terdukung. Ada perasaan kuat. Ada perasaan percaya diri. Ya, seketika saya memanggilnya dengan sebutan Sang Pembela. Sang Pembela knows me well. Sang Pembela tau hal pahit apa yang sedang saya alami dibalik wajah saya yang selalu saya paksa baik-baik saja. Makanya, Sang Pembela berani berkata seperti itu kepada orang yang mengatai saya dengan hal yang bukan-bukan. Sebab the outsiders never knows what kind of struggling we are going through.

Si Nona atau bisa disebut Sang Pembela sudah melakukan hal yg demikian sebanyak 3x selama saya mengenalnya kurang lebih 9 tahun. Alhamdulilah.

Saya kemudian jadi inget. Ternyata dalam hidupku, Allah selalu mengirimkan orang-orang seperti Si Nona. Kalau Si Nona berperan saat fase saya kuliah, kerja, dan sampe skarang. Nah, setelah saya inget-inget, ternyata pas saya duduk di bangku SMP dan SMA juga ada yang seperti Sang Pembela.

Pas SMP, Sang Pembela itu duduk satu bungku dengan saya. Sebut saja namanya Mbak A (Boleh dibaca pake ucapan lokal [a] atau international [ei] ). Mbak A orangnya sangat dominan dan galak. Pinter, cantik, kaya. Semua org kebanyakan takut padanya (ya banyak juga yang nembak dia sih). Nah, suatu ketika ada cowok yg semena-mena sama saya. Saya cerita lah sama Mbak A. Langsung nih Mbak A datengin tu cowok dan bilang gini "Awas kowe macem-macem karo Tami."
Wuih, saya merasa terhormat kala itu. Melambung tinggi dan merasa aman seaman-amanya.

Di SMA juga ga jauh beda. Nama Si Pembelanya adalah Mbak R. Dia sering membela di saat-saat saya merasa lemah.

Alhamdullilah. Semoga Allah selalu merahmati mereka dimanapun mereka berada sekarang.

Semoga kalian juga punya Sang Pembela ya...di setiap fase kehidupan kalian. Sebab Sang Pembela membuatmu yakin. Sebab Sang Pembela mampu membuatmu berdiri kokoh.
Sebab hadirnya Sang Pembela selalu menjadi penguat diri untuk menjadi manusia lebih baik dari hari ke hari.

Bayi Kucing Hitam yang Malang

Cuaca subuh di kota Solo sekarang sudah berubah. Biasanya hujan turun dan hawa sangat dingin ketika waktu subuh tiba. Namun sekarang, semuanya seolah kembali normal (hehehe, bukan berarti kalau hujan itu terus ga normal yak). Cuaca yang berubah pun akhirnya merubah kebiasaan saya. 

Cuaca yang cenderung tidak dingin dan tidak hujan di waktu subuh mendorong saya untuk menghidupkan kebiasaan pagi saya, jogging. Dengan melakukan jogging di cuaca tidak yang ekstrim mampu untuk menghasilkan keringat bercucuran lumayan banyak. Puas rasanya jika berolahraga itu bisa menghasilkan keringat yang banyak.

Nah, saya biasanya jogging di lapangan dekat kost saya. Luas lapangannya standar lapangan sepak bola. Biasanya saya akan berputar mengelilingi lapangan sebanyak 7 kali. Kenapa 7? Ya ga tau. Kuatnya hanya segitu. Huhuhu. 

Jogging pagi tadi ada yang berbeda. Ada kejadian yang tidak terjadi seperti biasanya. Pada putaran ke4, saya melihat ada mobil kecil putih berhenti di tengah jalan. Saya melihat pengemudinya keluar. Owh, ternyata si pengemudi sedang menyingkirkan bayi kucing hitam kecil yang menghalangi jalanya. Namun si bayi kucing ternyata susah sekali untuk disuruh pergi. Malahan si bayi kucing berlari kecil mau masuk mobil si pengemudi. Akhirnya si pengemudi mengusir kucingnya dengan cara agak kasar. Si bayi kucing pun akhirnya pergi juga.

Saya meneruskan langkah. Mengitari lapangan sambil terus mengucap "Allahuakbar". Tssaaaaaah. Alimnya saya. Kwkwkwkwk. Bukan itu maksudnya. Maksud saya adalah supaya saya kuat saja mengitari lapangan ini sampai 7 kali. Mengingat saya selalu ngos-ngosan ketika baru menginjak putaran ke-2. Kwak kwak kwak.

Sampe pada putaran yang ke-6, saya berpapasan langsung dengan bayi kucing hitam kurus tadi. Si bayi kucing bersuara sangat keras dan galak. Sorot matanya memperlihatkan kemarahan dan kejengkelan serta kesedihan. Kasian. Badanya kurus tak terurus. Bulunya hitam kotor dan tak terawat. Jalanya masih belum sempurna. Sempoyongan. Ya mengingat usia kucing mungkin belum begitu dewasa. Tak tega saya sebenarnya melihatnya. Namun, mengurusnya pun saya juga tak mampu.

Well, ketika melihat si bayi kucing hitam tersebut, ada fikiran yang melintas di kepala saya.

Tentang sikapnya yang galak dan mengeong keras. Ya, si bayi kucing hitam pasti adalah kucing gelandangan. Mungkin dia sengaja dibuang. Si bayi kucing hitam mungkin sedih dan marah pada takdir. Dia harus berjuang sendiri pada usianya yang masih sangat kecil. Dia berlari kesana kemari. Mencari siapa saja yang bisa dijadikan tuanya. Mencari siapa saja yang mengakuinya sebagai bagian dari hidupnya. Mencari siapa saja yang mampu melindunginya. 

Si bayi kucing hitam baru mengalami kejadian ini pertama kali. Terbuang. Tak diinginkan. Tertolak. Berjuang sendirian. Makanya he doesn't have any ideas how to deal with this kind of tragedy. Dia akhirnya hanya bisa marah pada siapa saja yang dia temui. Dia akhirnya bersikap tak sopan ketika bertemu orang. Yang dia tau dia hanya butuh tuan untuk memberinya makan. Hatinya sakit dan pedih. Dia belum mengenal apa itu bersabar dan berdamai dengan keadaan. Untuk itulah, sikap si bayi kucing hitam yang pemarah dan keras tadi bisa menjadi pemakluman bukan?

Begitu pula dengan manusia.
Mari saling mengerti dan menasehati satu sama lain.  




Tidak Mampu Menjelaskan

Hi,

Beberapa hari ini saya mengalami rasa yang sulit untuk digambarkan dengan kata-kata.
Saya ingin menyimpulkan rasa itu menjadi satu kata namun belum juga ketemu apa nama untuk perasaan yang saya alami berikut.

Tidak bisa nulis.
Tidak ada ide nulis meskipun sudah berjam-jam berada di depan laptop.
Tidak jatuh cinta.
Tidak marah.
Tidak sedih.
Tidak lapar.
Tidak ingin bertemu orang.
Tidak ingin jalan-jalan.
Tidak ingin memegang handphone.
Tidak mau bicara.
Tidak ingin apa-apa.

Ya, meskipun saya sedang mengalami kondisi-kondisi itu, lantas saya pun tidak juga diam di tempat. Saya tetap bekerja. Saya tetap bersosialisasi dengan masyarakat. Saya tetap makan. Namun, saya merasa mati dalam melakukan aktivitas itu. Tidak ada ruhnya. Saya hanya ingat (tidak merasa) bahwa kita harus tetap bergerak meskipun lagi tidak mau bergerak. Tapi ya itu tadi, saya merasa semuanya hambar.

Saya risau dengan tidak bisanya saya menemukan nama kondisi untuk kondisi saya itu. Saya bingung ketika menghadap Allah Azza Wa Jalla. Saya bingung mau berdoa seperti apa. I even don't know what I feel and what I want. 

Ya Allah. Help. 
 

Jamil Azzaini dan Apa Mimpimu



Ada yang kenal Jamil Azzaini ga ya? Alhmadulilah deh kalau kenal. Karena beliau lumayan terkenal juga sih di dunia pengembangan diri. Namun ada juga yang kenal. Salah satunya adalah sahabat saya sendiri, Yessy namanya. Saat kusebut-sebut nama Jamil Azzaini di depanya, dia malah marah-marah karena ga ngerti siapa itu Jamil Azzaini. Ah, sudahlah. Kita disini ga akan ngomongin Yessy sih. Tapi kita bakal ngomongin Jamil Azzaini

Saya pribadi sebelumnya sudah pernah cerita tentang beliau di blog ini. Berkali-kali malah. Ya karena banyak kata-kata beliau itu menjadi motor penggerak saya ke arah yang lebih positif.

Dulu, ketika ingin menikmati tulisan-tulisanya, saya harus membuka websitenya atau menunggu tulisannya di majalah bulanannya Solo Peduli, Hadila namanya. Namun, semenjak saya sudah aktif kembali menggunakan IG, saya kemudian follow akunya Kakek Jamil Azzaini ini. Setiap hari saya bisa menikmati inspirasi-inspirasi yang dibagikan oleh beliau. Alhamdulilah.

Nah, beberapa waktu yang lalu, ketika saya sedang malas-malasan di rumah di suatu weekend, saya berselancar di IG. Ya, hitunganya sih saya jarang membuka IG (Sok sibuk emang gue nih..haha). Jadi kalau membuka IG itu paling cuma sehari sekali. Qadarullah, pas waktu itu saya lagi dihinggapi otak iseng, Kakek Jamil membagikan storiesnya di IG, yang judulnya Kekuatan Impian. Disitu Jamil bercerita tentang pengalamanya suatu hari ketika mendampingi guru trainernya, Tun Kelana Jaya, berkeliling Indonesia. Saat itu Tun Kelana Jaya masih bekerja di Standard Chartered Bank (Ini bank gue kagak ngerti sama sekali. Maklum wong ndeso).  Tun Kelana Jaya ini jago berpresentasi. Saat itu, Jamil membatin begini "Ilmu presentasi mas Tun akan saya serap dan 15 tahun yang akan datang saya akan presentasi di Standard Chartered Bank". Jamil sudah lupa dengan batinan itu. 

14 tahun mendatang, tepatnya di bulan Maret 2018 ini, Jamil Azzaini diberikan kesempatan untuk memberikan presentasi di hadapan 142 orang terpilih dari Standard Chartered di Rafles Hotel Kuningan Jakarta. Maha Besar Allah. 

"Jangan takut bermimpi. Nah, apa mimpimu?", begitu kata Jamil Azzaini di akhir story nya.

Saya kasih komen itu story dengan jawaban seperti ini.
".......................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................".

Lah kok cuma titik-titik doank?
Ya iya. Hahahaha. Karena saya cuma mbatin doank. Saya pengen ini. Saya pengen itu. Cukup Allah Yang Maha Tahu yang tahu dan Ibuk saya yang doanya selalu mujur. Btw, malu juga oi saya sharingkan itu mimpi ke sini. Terlalu lebai.

Ketika saya cerita mimpi itu ke Ibuk, komentar Ibuk seperti ini "Wealah, piye carane kuwi?"
Jawab saya, "Emboh. Aku yo ora ngerti. Tapi Gusti Allah selalu ngerti".  

Dan begitulah. Dengan mimpi, paling ga bisa membuat saya semakin hidup dan bersemangat untuk berdoa dan berusaha. Dengan mimpi, paling ga saya tidak asal-asalan menjalani hari tanpa makna. Seperti janji doa setelah bangun pagi, bahwa kita masih diberikan nafas agar selalu menjadi lebih baik dari hari ke hari. Denagn mimpi, semoga hari-hari saya lebih bermakna dan berseri.

Solo, 12 Maret 2018




Empati


Aku, Kakakku, dan Ponakans
Siang itu adalah hari Ahad. Aku di rumah sendirian. Bapak dan Ibuk sedang pergi kondangan. Aku sengaja tidak pergi kemana-mana. Selain memang tidak punya teman, aku sedang ingin menikmati hari di rumah. Membersihkan dan merapikan rumah, kemudian menikmati kegiatan di dalam rumah. Entah itu menyetrika, nonton film, atau baca buku. Karena terkadang, diam di rumah adalah sebuah kedamaian dan ketenangan tersendiri.

Siang itu aku memang lagi sendu. Aku masih berduka karena sepekan sebelumnya aku mengalami kegagalan. Aku gagal berproses mengenal orang untuk dijadikan teman perjuangan (red: suami). Entah sudah yang keberapa kalinya, tapi waktu itu aku merasa sedih. Aku menangis. Dan aku terus menepuk-nepuk dadaku agar berlapang dada. Aku terus mensujudkan kepalaku agar pertolongan  segera datang. Ya, meskipun sudah sepekan, luka itu masih lebam.

Kakakku tau itu. Tiga hari sebelumya aku mengabarinya kalau aku gagal dengan lelaki itu. Kakakku tau aku sedih. Kakakku tau hatiku masih lebam. Kakakku paham bahwa kejadian yang kualami ini ibarat aku habis jatuh dari pohon yang tinggi. Ya karena aku naiknya terlalu tinggi. Maka, ketika aku terjatuh,  pasti ada luka lebam, dan ada luka patah. Dan untuk menyembuhkan luka itu memerlukan waktu. Siang itu baru seminggu, kakakku tau aku masih nangis tergugu.

Kakakku datang kerumah bersama suaminya naik motor. Memang tidak dikhusukan untuk menemuiku. Mereka datang karena mau takziyah ketempat saudara yang rumahnya dekat rumah.

Ketika kakakku datang, aku tidak menyambutnya. Aku masih mengetik beberapa tulisan yang harus segera diterbitkan. Dia masuk dan menyapaku duluan. Aku membalas sapaannya dengan suara datar. Dia kemudian berusaha untuk memeriahkan suasana. Dia bercerita panjang lebar tentang hal-hal lucu yang dialaminya. Aku mendengarkan dengan wajah dan respon datar. Di depanya, aku tak perlu pura-pura bahagia. Dia terus bercerita. Hingga sudah lelah bercerita, dia kemudian berhenti dan mengajakku untuk takziyah. Aku yang awalnya mau nunggu Ibuk, tidak jadi, dan memilih untuk bareng kakakku. Aku, kakakku, dan kakak iparku pergi naik motor.

Ketika aku sudah siap, dan keluar menuju garasi motor, aku tertegun melihat kakakku memakai motorku dan kakak iparku juga pake motornya.
"Loh, kok kowe nganggo motorku? Kok ora boncengan karo bojomu?", tanyaku.
"Ora popo, aku mesakke kowe dewean", jawabnya singkat.

Dari situ, entah kenapa hatiku merasa hangat. Kakakku ingin aku tidak sedih dengan kesendirianku. Kakakku tidak ingin aku kesepian. Kakakku berempati padaku. Kakakku mengerti rasa yang kurasakan. Makanya kakakku memboncengkanku. Kakakku pun tidak pernah memasang fotonya bersama suaminya di PP WAnya. Kakakku selalu menemamiku di kala liburan tiba. Kakakku tidak pernah memperlihatkan kemesraanya dengan suaminya di depanku. Kakakku dan kakak iparku keduanya saling mengerti bahwa aku butuh dukungan untuk bangkit dan optimis. 

Ya, empati. Sungguh indahnya saling ber-empati.