Empati


Aku, Kakakku, dan Ponakans
Siang itu adalah hari Ahad. Aku di rumah sendirian. Bapak dan Ibuk sedang pergi kondangan. Aku sengaja tidak pergi kemana-mana. Selain memang tidak punya teman, aku sedang ingin menikmati hari di rumah. Membersihkan dan merapikan rumah, kemudian menikmati kegiatan di dalam rumah. Entah itu menyetrika, nonton film, atau baca buku. Karena terkadang, diam di rumah adalah sebuah kedamaian dan ketenangan tersendiri.

Siang itu aku memang lagi sendu. Aku masih berduka karena sepekan sebelumnya aku mengalami kegagalan. Aku gagal berproses mengenal orang untuk dijadikan teman perjuangan (red: suami). Entah sudah yang keberapa kalinya, tapi waktu itu aku merasa sedih. Aku menangis. Dan aku terus menepuk-nepuk dadaku agar berlapang dada. Aku terus mensujudkan kepalaku agar pertolongan  segera datang. Ya, meskipun sudah sepekan, luka itu masih lebam.

Kakakku tau itu. Tiga hari sebelumya aku mengabarinya kalau aku gagal dengan lelaki itu. Kakakku tau aku sedih. Kakakku tau hatiku masih lebam. Kakakku paham bahwa kejadian yang kualami ini ibarat aku habis jatuh dari pohon yang tinggi. Ya karena aku naiknya terlalu tinggi. Maka, ketika aku terjatuh,  pasti ada luka lebam, dan ada luka patah. Dan untuk menyembuhkan luka itu memerlukan waktu. Siang itu baru seminggu, kakakku tau aku masih nangis tergugu.

Kakakku datang kerumah bersama suaminya naik motor. Memang tidak dikhusukan untuk menemuiku. Mereka datang karena mau takziyah ketempat saudara yang rumahnya dekat rumah.

Ketika kakakku datang, aku tidak menyambutnya. Aku masih mengetik beberapa tulisan yang harus segera diterbitkan. Dia masuk dan menyapaku duluan. Aku membalas sapaannya dengan suara datar. Dia kemudian berusaha untuk memeriahkan suasana. Dia bercerita panjang lebar tentang hal-hal lucu yang dialaminya. Aku mendengarkan dengan wajah dan respon datar. Di depanya, aku tak perlu pura-pura bahagia. Dia terus bercerita. Hingga sudah lelah bercerita, dia kemudian berhenti dan mengajakku untuk takziyah. Aku yang awalnya mau nunggu Ibuk, tidak jadi, dan memilih untuk bareng kakakku. Aku, kakakku, dan kakak iparku pergi naik motor.

Ketika aku sudah siap, dan keluar menuju garasi motor, aku tertegun melihat kakakku memakai motorku dan kakak iparku juga pake motornya.
"Loh, kok kowe nganggo motorku? Kok ora boncengan karo bojomu?", tanyaku.
"Ora popo, aku mesakke kowe dewean", jawabnya singkat.

Dari situ, entah kenapa hatiku merasa hangat. Kakakku ingin aku tidak sedih dengan kesendirianku. Kakakku tidak ingin aku kesepian. Kakakku berempati padaku. Kakakku mengerti rasa yang kurasakan. Makanya kakakku memboncengkanku. Kakakku pun tidak pernah memasang fotonya bersama suaminya di PP WAnya. Kakakku selalu menemamiku di kala liburan tiba. Kakakku tidak pernah memperlihatkan kemesraanya dengan suaminya di depanku. Kakakku dan kakak iparku keduanya saling mengerti bahwa aku butuh dukungan untuk bangkit dan optimis. 

Ya, empati. Sungguh indahnya saling ber-empati.

Be First to Post Comment !
Posting Komentar