Punya Anak Banyak Bukan Alasan

"Punya anak banyak bukan alasan", ucap Avis.


Pekan ketiga bulan Juli 2016, saya dan Avis berkesempatan untuk berjumpa di kota Jogja setelah hampir 4 bulan tidak bertemu. Avis adalah satu-satunya teman yang mempercayai doa yang tersemat dalam alamat email saya, tami.bijaksana@gmail.com. Baginya, entah jujur atau hanya membumbung, saya terkadang bisa menjadi bijaksana ditengah-tengah dominasi sifat negatif saya yang ceroboh. Hahahaha.

Namun demi kebahagiaan hati, maka saya mengganggap statement Avis itu jujur. Karena itulah saya suka berteman dengannya. I feel I am a good girl when I meet her. She can see the positive things inside myself though others cannot.

Kami bersepekat untuk bertemu di tempat pernikahan teman kami, Mbak Ria di Perumahan Puri Sakinah 2, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Jadilah momen pernikahan Mbak Ria sebagai salah satu ajang reuni dan ajang silaturahim para santri Asma Amanina. Saya bertemu anak-anak Asma lintas angkatan. Saya bertemu dengn Ustadz Deden Anjar (Pengasuh Ponpes Asma Amanina), dan keluarganya (Umi Isma, Haura, Aiman, dan Adiknya Aiman). Tidak ketinggalan, saya bertemu dengan guru-guru tahsin yang pernah mengajari membaca Al Qur'an kepada saya. 

Kami saling bertegur sapa. Bertanya sekedarnya. Saling tersenyum. Saling mendengarkan. Saling mengerti. Tidak ada suasana ingin saling menonjolkan. Kami saling merendah untuk menciptakan pertemuan yang damai. Rasanya adem bisa bertemu kembali dengan orang-orang yang mengusahakan untuk menjadi baik di hadapan Sang Pencipta.

Acara walimahan selesai, saya dan Avis sudah kenyang dan kami pun beranjak pergi. Dia sengaja saya ajak untuk ikut bersama keluarga saya berpiknik ke pantai Goa Cemara. 

Di pantai, sambil menunggu sunset, kami bercerita tentang cerita-cerita yang selama ini saling kami lewatkan. Saat itu, saya berniat untuk melaunching salah satu nilai yang ingin saya jalankan, yakni "tidak ada yang disembunyikan kepada sahabat". Dan Avis adalah salah satu orang yang saya deklrasikan menjadi sahabat dalam hidup saya. 

Avis memulai bercerita tentang rencananya ke depan. Dia bercerita tentang kegiatanya selama menuntut ilmu di Bogor, pelajaran-pelajaran kehidupan yang dia akhirnya petik, cek-cok dengan bapak-ibu nya, dan sampai dengan soal kisah romantikanya. Tidak ada disembuyikan. Dia jujur bahwa dia sedang pusing, takut, dan bingung. All things I did not realize about her condition by only guessing from her happy face. 

Saya akhirnya juga belajar untuk terbuka dengan Avis. Saya pun juga menceritakan tentang apa yang sedang saya rasakan dan fikirkan saat ini, dan kisah-kisah yang Avis lewatkan dari saya. Termasuk juga berbagi tentang masalah-masalah batin yang sedang saya coba untuk selesaikan.

Percakapan saya dan Avis selalu berjalan dan berakhir dengan serius. Kami keseringan terlalu serius menghayati perjalanan hidup masing-masing. Sampai suatu ketika percakapan itu tinggal kenangan saja, seperti saat saya menulis ini, maka saya hanya bisa geleng-geleng kepala sendiri, menertawakan dan sekaligus bangga dengan ulah sok filsuf kita. 

Tapi, setelah bertemu dan bercerita dengan Avis waktu itu, ada beberapa pesan yang membekas dalam benak saya dan memberikan pelajaran kepada saya. Seperti antara lain:
 1. Ketika kami bercerita tentang kesibukan urusan kita masing-masing, dan sampai-sampai tidak tau kabar teman/tetangga kita, Avis kemudian teringat salah satu kata-kata dari seorang working mother, "Punya anak banyak bukan alasan". Iya, saya sepakat. Bahwa ketika kita sudah berubah status menjadi Ibu dengan banyak anak, maka hal tersebut tidak kemudian menjadi alasan kita untuk tidak memperhatikan hak-hak orang-orang disekitar kita, seperti menghadiri pernikahan, membalas sms, datang tepat waktu ke sebuah majelis, mempunyai rumah yang rapi, khatam satu kali selama bulan Ramadhan, dan mempunyai berat badan yang ideal. Hahahaha.
2. Bahwa untuk mencapai kebahagiaan, tidaklah kita perlu mencarinya kemana-mana jika hal itu malah membuat frustasi. Namun yang perlu dilakukan adalah dengan menurunkan standar kebahagiaan kita.
3. Bahwa untuk menciptakan kebahagiaan kepada orang lain, terkadang ada sesuatu yang harus dikorbankan. Kalimat tersebut Avis kirim ke layar handphone saya, ketika saya mengabarkan kondisi saya di malam hari di hari itu, "Avis, di jam segini (21.21), aku masih nganter ponakanku untuk cukur rambut. Aku udah ngantuk. Dan kuputuskan untuk pulang ke rumah besok pagi. Aku memutuskan untuk stay di rumah mbakku semalam lagi".



Be First to Post Comment !
Posting Komentar