Mari Berdansa




Gadis berusia 25an itu tertiba mengambil tisu tak henti hentinya dari rak mejanya. Cuaca tidak terlalu dingin, dan dia kelihatanya juga sangat sehat sedari pagi. Namun, setelah jam istirahat kerja, dia sepertinya mendadak terserang flu, hidungnya berair dan kelihatanya susah bernafas. Meskipun demikian, dia tetap aktif mengerjakan pekerjaan sambil terus mengambil tisu untuk menyeka hidunya.
Tetapi ternyata, tidak hanya hidung yang ia seka, sesekali matanya juga diseka. Nampaknya, dia baru saja mengalami gonjangan yang luar biasa dari dalam dirinya sehingga membuatnya harus mengeluarkan tetesan tetesan itu.
Dia mencoba untuk duduk tetap tegak. Sedikit sedikit menghela nafas panjang. Tanganya aktif bergerak menekan nekan tombol keyboard, membolak-balik buku, dan memindahkan arah kursor. Namun, dari sorot matanya, jelas sekali terlihat, fikiranya tidak sedang diperuntukkan untuk tulisan tulisan di layar komputer yang ada di depannya.
Dia hanya berusaha untuk terlihat normal, dan tidak meneteskan air dari kedua matanya. Dia malu untuk terlihat lemah. Dia malu untuk terlihat bersedih.
Gerak geriknya semakin gusar. Mungkin dia sudah tidak tau harus bagaimana menahan air matanya yang akan meledak keluar. Kemudian dia terlihat menarik nafas panjang lagi dan memejamkan mata. Mungkin dia sedang berdoa. Mungkin doanya adalah supaya hatinya kembali normal dan lapang.
Setelah membuka mata, dia langsung mengambil telepon gegangamnya. Selanjutnya dia berpindah kesibukan dari memencet keyboard komputer ke tombol layar telepon genggamnya. Lama sekali dia berkutat dengan telepon genggam tersebut. Namun, berangsur-angsur, raut mukanya berseri-seri. Sesekali dia kelepasan tertawa. Dia bahkan lupa dengan sekeliling tempat kerjanya. Dia tenggelam asyik dalam obralan bersama teman temanya di media sosial yang sengaja ia pasang di hape. Dia sudah terlihat bahagia. Flu mata dan hidungnya sudah sembuh.
Tampaknya, menghubungi beberapa temanya adalah jawaban dari doa ketika ia memejamkan mata tadi. Dia tidak mengeluhkan masalahnya, tetapi dia hanya menanyakan kabar dari teman-tema dan dilanjut dengan obrolan obrolan yang lain. Dari situ, dia mungkin mendapatkan kesadaran kembali bahwa dia tidak perlu terlalu bersedih hati karena diluar sana masih banyak yang ujiannya jauh lebih berat dari yang dia alami.
-----
Inilah yang namanya hidup dengan memutuskan untuk mengimani Sang Pemberi Hidup. Maka pasti derajat kecintaan itu akan senantiasa diuji dari waktu ke waktu. Ujian bisa berupa berita gembira dan berita kesedihan. Ada yang goncanganya kecil, ada yang goncanganya besar.
Apapun ujianya, hidup harus dijalani dengan kesempurnaan penerimaan atas kehendakNya, ketabahan, kesabaran, positif thinking, saling mendoakan dan menyayangi.
Meminjam perkataan dari kawanya pak Ali Mochtar, mari berdansa dengan ujianNya sambil tersenyum, meski itu berat.
A day to remember. We have friends for sharing and caring. You are not alone.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar