Halu City Car

 


You know, jadi akhir Agustus (sekaligus akhir Muharram) ini aku merasa fisikku sedang sakit. 

Pusing. Batuk. Lemas. Kadang badan juga panas. Yang paling ga menggenakkan adalah otot punggungku nyekrekel kata orang Jawa. Itu pertanda kalau kita sedang mikir berat, ruwet, dan stress.

Maklum, kata Ibu. Aku kan selama ini ngglajo dari Klaten-Solo menggunakan motor. Badan setiap hari tersapu angin.


Lalu, aku pun mulai halu tentang moda transportasi yang kugunakan. 


Dalam waktu dekat ini, lima tahun ke depan, sepertinya ga mungkin kalau aku membeli city car secara mandiri. Paling ga kan butuh uang 80 jutaan. Uang dari mana kan yak. Kalau nunggu suami kaya, ya nek kaya. Ataupun kalau si doi punya mobil, ya pasti buat kerja dia sendiri. So, jalan suami kaya kayaknya kurang masuk akal. 

 

Aha!

Gini aja. Siapa tau ada horang kaya raya yang mobilnya turah-turah di rumahnya. Terus ia mengenalku. Nah, si horang kaya ini ceritanya mau ada kerjaan di luar negeri dalam jangka waktu lama. Terus si horang kaya ini bingung gimana ngerawat mobilnya itu. Lalu kepikiran untuk memanfaatkan mobil tersebut dalam jalan kebaikan. 

 

Terseliplah aku dalam fikirannya. "Oh iya ya, Tami kan selama ini nglaju dari Klaten-Solo. Kasihan juga itu anak naik motor tiap hari. Mana gajinya kecil, suami belum punya. Sungguh malang nasib anak itu. Ini mobil yang kecil tak suruh pake dia aja. Nanti pajaknya aku. Biaya service aku. Tapi kalau ada kerusakan semisal cat, Tami harus bertanggung jawab. Bensin juga dibebankan kepada Tami." Gitu kira-kira pikiran horang kaya tersebut. 

 

Hahaha. Apa ya ada ya orang yang sebaik gitu di dunia ini?

Be First to Post Comment !
Posting Komentar