Between Pain and Suffering (Psychologycal Approach)


 
“Mbak, apa ga capek mba tiap hari bolak balik Klaten-Solo?”, tanya Ibu Handa.

Ya, pertanyaan seperti itu sering nangkring di hadapan saya ketika bertemu dengan orang-orang yang pertama kali bertemu di tempat kerja. Lantas, saya pun akan melakukan repetisi jawaban yakni, “ga bu, biasa saja”.
Kemudian saya berfikir, kenapa sebagian di kantor ini bertanya seperti itu. Mungkin bagi mereka jarak semacam itu terbilang sangat jauh. Untuk kalangan anak anak sekolah atau mahasiswa pun maka mereka sudah akan menjadi anak kost-kostan. 
Lalu, saya pun bertanya kepada diri saya sendiri, “Tami, apakah kamu capek?”. Dan, saya pun akan menjawab “iya”. Iya, jujur, kalau sudah malam tiba, maka saya sudah tidak punya tenaga sama sekali untuk sekedar menulis atau membaca buku. Yang saya lakukan sesampainya rumah adalah langsung istirahat. 
Memang, hal ini manusiawi ketika harus menempuh jarak yang sejauh itu setiap harinya dan kemudian mengatakan “lelah”. It's true that commuting from Klaten to Solo every day is exhausting. Hal itu sungguh normal. Maka jika saya tidak merasa “lelah” atau “sakit badan”, maka sayalah yang sebenarnya tidak normal.
Saya kemudian teringat dengan cerita Alm. H. Pepeng. Kita tau bagaimana sakitnya beliau. Dalam acara Chatting bersama YM yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi swasta di negeri ini, beliau mengakui bahwa ketika penyakitnya itu kumat, maka seluruh badan akan terasa sangat sakit. Dan, hal itu wajar jika dengan penyakit seperti itu bapak Pepeng merasakan kesakitan yang luar biasa. Namun, apakah bapak Pepeng terlihat kesakitan? Tidak, saya pribadi melihatnya tidak kesakitan. 
Well, hal ini yang akan saya bicarakan. Tentang pain, and suffering. Ketika kita terserang suatu penyakit misalnya, sakit gigi, sakit pms, sakit kepala, maka normalnya badan kita akan merasa kesakitan atau pain. Badan saya pegal dan batuk kerap menyerang ketika saya memilih untuk bolak-balik Klaten-Solo. Bapak Pepeng tentunya juga kesakitan. Namun, apakah kemudian kita harus merasa suffering? Apakah kita harus menderita karenanya? Mengeluh, menangis, cemberut, dan lesu? 
Dan disini, ada salah satu ayat Al Qur’an Surat Ar-Ra'd ayat 28:

“..hanya dengan mengingat Allah, hati akan merasa tenang”

Ketika ada serangan dalam tubuh kita yang berupa sakit misalnya, maka kita tidak bisa menolaknya bukan. Sakit itu datang tiba tiba. Badan pegal, demam, nyeri itu hal spontan. Lantas, apakah kamu sedih dan menderita? Itu pilihan. Pain is ineveitbale. Suffering is optional.
Menderita dan sedih itu pilihan kita ternyata. Ditengah-tengah rasa sakit yang luar biasa tidak bisa tertahankan, maka Bapak Pepeng memilih untuk mengingat Allah. Maka, hatinya akan tenteram. Apakah kemudian sakit/nyeri dalam tubuhnya hilang? Tidak, tentu tidak. Rasa sakit itu masih ada disana. Masih ada dalam tubuh Bapak Pepeng. Namun, hati beliau bahagia. Hati beliau tenteram. Oleh sebab itu, yang terlihat dalam wajahnya adalah keadaan baik-baik saja.
So, once again, pain is invetibale, but suffering is optional. Semuanya kembali kepada kita untuk memilih bahagia atau sedih dengan sakit yang diberikan.
Be First to Post Comment !
Posting Komentar