Lessons from Melan





 Gb1. Melan

Namanya adalah Melanie Fitriani. Perempuan kelahiran Banyumas ini baru kukenal dekat pada tahun 2014 ketika kami sama-sama menjalani pendidikan di Asrama UNY Wates. Sebenarnya aku sudah mengetahui sosoknya sejak kuliah S1, namun tidak ada kesempatan bagi kami untuk berteman dekat. Maklum saja, kami berada di fakultas dan organisasi kampus yang berbeda. 

Aku lupa bagaimana dulu bisa mengenal Melan. Tapi yang kuingat adalah dia temanku untuk mengambil makan di ruang makan, teman berenang pagi-pagi buta, teman mempersiapkan acara pengajian, dan teman berjamaah solat maghrib-isya di Masjid Baiturahman UNY Wates.
Ketika di Masjid, aku sering melihatnya sendirian sambil menghabiskan waktu dengan membaca Al-Qur’an. Ketika di Asrama, aku sering melihatnya di kamarnya, tidak untuk belajar, namun untuk memandangi laptop. Tidak pula untuk menulis, namun untuk menyaksikan sebuah acara paling penting dalam hidupnya, film korea (hahahaha). 

Melan adalah sosok pekerja keras. Dia akan mati-matian untuk melakukan yang terbaik dalam dunia akademiknya, dan tentunya masa depanya. Hasilnya pun terlihat, dia lulus S1 dengan predikat cumlaude dan lulus semua tahap ujian kuliah PPG. Kereen kan. Ahai, namun, ketika kalian melihat sosok Melan dengan segala prestasinya, jangan menganggap Melan orang yang serius dan anggun. Sungguh, dia bukan orang yang seperti itu. Aku kasih tau ya, Melan adalah sosok perempuan pelupa stadium 4. Dia sering lupa menggunakan sandal jenis apa ketika ke masjid, tak heran jika dia akan pulang dengan sandal yang berbeda. Ketika di meja makan dengan banyak orang yang antri untuk mengambil makan dengan kotak makanya masing-masing, dia sering akan mengambil kotak makan yang bukan punya dia. Ahai-ahai.
Tapi itulah Melan, anak pertama dari dua bersaudara yang mandiri, pekerja keras, dermawan, dan pelupa serta atas pengakuanya sendiri dia sedikit malas dalam urusan kerumahtanggaan. Hahaha.

Ramadhan 27, 1436H, adalah hari keputusan untuk hidup Melan. Pagi itu, seperti biasanya, setelah dia sahur, dia kembali istirahat sebentar (red:tidur). Sementara itu, dipagi yang masih buta cahaya sinar matahari, Sang Ibunda dan Adiknya yang bernama Isna melakukan rutinitas pagi yakni pergi ke pasar untuk membeli barang-barang yang akan dijual di warungnya. Hari-hari menjelang lebaran memang waktu yang padat untuk para pedagang. Tak heran Ibunya Melan juga membawa barang dagangan yang banyak.

Sebelum Ibu Melan sampai dirumah, handphone Melan berdering. Ternyata sebuah panggilan dari Isna. Suara jeritan dan tangis meraung-raung terdengar sangat keras di telinga Melan. Melan bingung. Melan cepat-cepat mengambil motor untuk segera pergi kerumah sakit setelah mendengar Ibunya jatuh kecelakaan.

Di tengah perjalanan, Melan melihat ada barang belanjaan banyak sekali tercecer tidak beraturan. Dia juga melihat sebuah mobil hancur di bagian depan, motor adiknya dan motor yang dipake ibunya juga hancur. Tangan Melan mulai bergetar. 

Sampai dirumah sakit, Melan mendengar jelas jeritan adiknya. Melan cepat-cepat berlari ke ruang Unit Gawat Darurat (UGD). Dilihatnya adiknya menangis tersedu-sedu di dekat tubuh Ibunya. Melan mendekati Ibunya, dan kaget ketika mengetahui kulit ibunya dingin seperti es. Belum pernah dia merasakan tubuh seseorang sedingin itu. Melan tidak tau apa yang terjadi dengan Ibunya. Melan masih bingung. Mungkin Melan merasa dia hanya berada di dalam mimpi. Hari itu tidak dianggapnya sebagai kejadian yang nyata.

Dia pulang. Sudah banyak orang yang memadati rumahnya. Melan terlihat tegar, karena Melan masih menganggap itu hanya mimpi. Dilihatnya Eyangnya menangis, para uwaknya pun juga, Ayahnya yang pendiam dilihatnya pingsan dan muntah-muntah berkali-kali. Adiknya masih terus menangis. 

Setelah ambulan datang bersama Ibunya yang tertidur kaku, Melan bersiap untuk menyambutnya. Tetap, dengan Melan yang berusaha tegar. Untuk pertama dan terakhir, Melan memandikan ibunya. Melan menyisir rambut, membedaki wajah, dan memakaikan pakaian terbaik untuk ibunya. Terakhir, Melan mencium ibunya. Melan masih menganggap dia berada di dalam mimpi. 

Tiga hari berlalu, dia melewati lebaran 2015 kala itu tanpa kehadiran Ibunya. Melan mulai menyadari bahwa Ibunya itu tak akan pernah kembali lagi. Badanya sedikit ingin jatuh ketika mengetahui hal itu. Air matanya pun juga. Dia berlari kerumah saudara sepupunya, dan menanangis sejadi-jadinya. Ibunya sudah tiada. Ibunya sudah pergi dan tak akan kembali. Begitu cepat, begitu mendadak. Hari itu, Melan menjadi membiarkan dirinya menjadi orang normal seperti yang lain, menangis karena ditinggal orang paling dicintainya dalam hidup ini.

Life must go on. Begitulah kesimpulan Melan. Bahwa dia harus belajar menerima keputusanNya, bahwa Ramadhan 27, 1436 waktu Ibunya sudah habis di dunia ini. Keadaanya memaksa dia untuk menjadi perempuan yang tegar, berlapang dada, dan sedikit air mata. Kini dia ibarat tulang punggung untuk adiknya yang masih sekolah dan Bapaknya yang sakit-sakitan.

Life must go on. Melan mulai berusaha menata hidupnya. Mengurai benang mimpi, dan berfikir kembali bagaimana merajutnya. Dia sekarang mencoba untuk meneruskan bisnis Ibunya. Pagi-pagi buta, kini dia harus sudah berangkat ke pasar induk untuk membeli kebutuhan warungnya. Sampai rumah, dia memasak, membersihkan rumah, menyuapi ayahya, dan menunggu warung hingga larut malam. 

Life must go on. Rahasia masa depan sungguh menjadi misteri untuknya. Apakah dia harus pergi keluar untuk bekerja, ataukah dirumah mengurus keluarga dan bisnisnya. Baginya, hal terpenting sekarang adalah bergerak, bersibuk ria, agar tidak tenggelam dalam keputusan hidup yang kelam. 

Pesanya adalah kematian itu hanyalah tentang waktu. Setiap orang tua pada akhirnya juga akan meninggal. Hanya masalah waktu saja. Maka, dia berpesan padaku, berbuatlah terbaik untuk kedua orang tuamu, agar kamu tidak menyesal di kemudian hari. 
Pesanya adalah jadilah manusia yang mempunyai hubungan baik dengan Sang Pencipta dan makhluk-makhlukNya, agar kematianmu menjadi kematian yang indah dan terbaik serta disambut oleh Malaikat-Malaikat syurga. 

Terimaksih Melan. 



1 komentar on "Lessons from Melan"