Peduli Abai Peduli




Pada awal mula kasus Corona merebak di pertengahan Maret 2020 lalu, aku merasa amat concern terhadapnya. Tak kubiarkan satu berita pun terlewati, hanya semata-mata ingin mengetahui jumlah berapa yang meninggal, terinfeksi/positif, dan orang yang menunjukkan sympton (ODP). Lonjakan setiap harinya sungguh amat mengerikan. 

Aku pun menjadi super ketat kepada diriku. Aku mennjadi amat takut untuk keluar rumah dan menghirup udara luar. Memegang gagang pintu kamar mandi kantor, ataupun melewati pintu-pintu yang dilewati banyak orang menjadi parno sendiri. Tiap jam pasti cuci tangan. Aku benar-benar mengikuti petunjuk yang disarankan oleh pemerintah dan gambar-gambar yang kubaca di media sosial. Ya, saat itu aku hanya peduli dengan diriku sendiri.

Lalu aku pun pulang. Aku berniat mengajak dan mengedukasi keluargaku untuk tetap di rumah saja dan menerapkan kebersihan diri atau personal hygnene. Baru dua hari di rumah, otot punggungku sudah tegang. Aku kewalahan mengedukasi orang tuaku untuk social distancing dan kerap mencuci tangan. Sampai kami hampir berdebat. Dalil mereka adalah yakin ga kena, maka pasti ga akan kena. “Allah pasti menjaga”, begitu ucap bapakku. 

Aku tidak bisa bertahan dengan perbedaan, adu pendapat, dan argumen. Aku pusing dengan semua itu. Disaat aku ketat menjaga diri, dua orang yang tinggal serumah denganku malah santai begitu. Aku tidak tahu harus berjuang bagaimana lagi. Akhirnya aku menggendorkan diri dengan menarik diri untuk tidak membaca berita-berita tentang Corona. Aku menghabiskan waktu dua hari penuh dengan menikmati drama Korea. Bisa dibilang, aku lari dari realita. Bahkan aku tidak menyebut Corona dalam doa-doa.

Lalu, aku merasa hatiku mati. Setiap ada orang yang bilang, “Ayok kita doakan semoga wabah ini segera berlalu.”, “Kita kencengin doa-doa yuk, Tam.”, “Kasihan ya para tenaga medis itu.”, aku hanya tersenyum mengiyakan saja. Padahal sebenarnya kalimat-kalimat mereka itu tidak sama sekali menyentuh dasar hatiku. Sungguh parah aku ini. Ditambah lagi, aku lagi WFH (Work from Home) yang benar-benar kunikmati. 

Ya Rabb, sadarkanlah aku. 

Oh ya, aku juga menyadari bahwa belakangan ini, hubunganku dengan Allah agak jauh. Aku lebih banyak berinteraksi dengan manusia via virtual, ketimbang dengan membaca surat cintaNya. Seharusnya aku tidak begitu kan ya. 

Aku terus memohon dalam keadaan hatiku yang sedang tak hidup. Terus memohon agar diberikan rasa kepedulian terhadap sesama sehingga menjadi penggerak untuk tanganku diangkat dan berdoa agar wabah ini cepat berlalu.

Sampai bertemulah aku dengan tetanggaku. Beliau adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang sehari-harinya bekerja sebagai penjual jajanan untuk anak-anak SD. Karena wabah ini, sekolah diliburkan kurang lebih dua bulan lamanya. Otomatis Si Ibu ini tidak mendapat penghasilan, padahal ada dua anak yang harus dirawatnya. Dia pernah berbagi rasa tentang kesedihan yang dialaminya. Ia bingung harus bertahan dengan cara apa. Sedangkan aku, tak mampu berbuat apa-apa. 

Kasihan aku melihat beliau. Kondisi tersebut membuat hatiku merasa pilu. 

Aku sedih dengan keadaan ini. Aku sedih dengan keluhan-keluhan masyarakat yang bingung mau makan darimana. Aku tidak menyalahkan Corona. Namun, aku sekarang tahu kenapa aku harus berdoa kenceng agar wabah ini segera berlalu. Salah satu alasanya adalah karena aku menyayangi tetanggaku tersebut dan aku ingin beliau bisa berpenghasilan seperti sedia kala.

Klaten, 29 Maret 2020
Waktu senja
Be First to Post Comment !
Posting Komentar