Cerpen: Aku Diam, Aku Mendengar

Handphoneku tidak pernah sepi. Bukan berarti banyak orang yang menghubungi untuk pesan barang online atau sekedar say hi. Tidak. Aku tidak sepopuler itu. Hanya ada satu orang yang sering menghubungiku hingga si handphone terkesan populer. Yumna namanya. Sahabatku.

Aku suka mendengarnya bercerita. Caranya bercerita menarik. Dia selalu mengebu-ngebu meluapkan perasaannya. Terkadang kata-katanya tidak beraturan. Terkadang intonasinya belepotan. Tidak apa-apa menurutku. Dia tetap terlihat seru. Dia selalu lepas ketika bercerita denganku. Tidak pernah ada yang ditutup-tutupi. 

Seperti sore itu, ketika aku baru saja pulang dari kerja sampai rumah, hapeku berdering.

"Raaaa...hati gue masih ga karuan nih", tanpa halo tanpa apa, dia langsung ke inti pembicaraan.

"Ya Na, gimana?", aku menanggapinya. Aku memang ingin menjadi selalu ada untuknya bercerita.

"Kan beberapa hari ini gue ga ketemu Ando. Kangen Ra. Terus gue berdoa sama Allah biar sore ini ketemu sama dia. Terus nih Ra, sepulang kerja sampe kost, ternyata, Ando ada di kost. Dia lagi ngecek kamar kost yang perlu direnovasi. Ya ampyun Ra, you know what how it feels?", Yumna bercerita berapi-api.

"Kayak apa sih?", tanyaku.

"Kayak guntur Ra. Hati gue runtuh Ra. Gue mati gaya liat dia", 

9 bulan terakhir ini, terhitung sejak Januari hingga September, Yumna yang umurnya sudah lebih dari seperempat abad, suka sama anak bu kostnya. Dari pertama kali bertemu, rasa itu tiba-tiba muncul. Yumna tidak pernah meminta dan memilih untuk menyukainya. Namun, sosok fisik lelaki itu adalah sosok yang selalu diidam-idamkan oleh Yumna. Berkacamata dan berjenggot. Yumna sudah berusaha sangat keras untuk menhambarkanya, termasuk salah satu usahanya adalah menggumbar perasaanya kepadaku. Agar cepat hambar katanya. Namun perjalanan 9 bulan, rasa itu belum juga hambar. Dalam waktu 9 bulan, jantungnya tidak pernah normal jika berada di kost. Selalu terpompa. Selalu dag dig dug ketika bertemu dengan Ando yang rumahnya hanya di depan kamar kost nya.

"Tapi Ra, meskipun gue kangen ketemu sama dia, kalau ketemu, gue ga pernah berani menatap wajahnya. Gue nunduk Ra", intonasi dia mulai melambat. 

Kuakui, Yumna lumayan agak takut sama Tuhanya. Dia sering memperhatikan perintah dan laranganNya. Seperti salah satunya adalah menjaga pandangan dan tidak menggumbar perasaan.

"Iya Na", sesekali aku menimpalinya.

"Gue lelah Ra", nada Yumna berubah.

"Heh?". Aku merespon semampuku. Seperti itulah Yumna. Suka bercerita apa saja. Dan aku sering menjadi saksi perubahan moodnya yang begitu cepat.

"Gue ga ngerti kemana gue mesti melangkah lagi. Apa yang meski gue usahakan. Apa yang meski gue raih. Gue merasa rapuh sendiri Ra. Temen -temen gue udah pada sibuk sama keluarga barunya. Gue udah ga punya temen main. Gue ga punya temen berjuang meraih dan merangkai mimpi."

Ya, bagi Yumna aku bukanlah sahabatnya. Aku hanyalah teman berceritanya. Dia selalu punya temen yang selevel denganya untuk berjuang dan berjalan. Aku memang tidak pernah berharap menjadi temanya berjuang atau berjalan. Aku sudah sangat senang menjadi diam dan mendengarkan ceritanya.

"Yang sabar ya Na", aku memberinya sedikit kata penguat yang mungkin Yumna tidak membutuhkanya.

"Terima kasih Ra. Udah dulu ya. Gue mau mandi."

"Oke".

Percakapan sore itu berakhir. Ya, dan memang begitu biasanya. Yumna selalu menelpon untuk sekedar melepaskan perasaannya yang meluap-luap. Yumna selalu menelpon untuk sekedar melepaskan perasaan-perasaan putus asa yang kadang menghinggap. Yumna selalu menelpon karena dia ingin jiwanya sehat. Yumna selalu menelpon untuk melepaskan beban dan kembali menjadi seorang perempuan kuat.

Aku hanya bisa mendengar. Hanya itulah keahlianku. Ku asah itu dengan baik. Kudengarkan orang becerita. Tidak, aku bukanlah konsultan yang kemudian memberikan solusi bagi masalah-masalah teman bicara. Aku hanya menjadi pendengar untuk Yumna. Dan mungkin untuk Yumna yang lain suatu saat nanti. Bagiku, jika ada orang yang suka bercerita denganku dan mengizinkan aku menjadi pendengar bagi keluh kesahnya, hal itu menjadi kehormatan dan kebahagiaan untukku.
Solo, 20 September 2017


Be First to Post Comment !
Posting Komentar