Belajar Berkuda di Klaten

Sudah lama aku punya keinginan untuk belajar berkuda. Belum terealisasikan karena belum ada tempat belajar, dan juga biaya. Saat sudah ada informasi belajar di kota Klaten, di Pondok Pesantren Ibnu Abbas, belum juga aku pergi belajar. Wei? Biayanya masih mahal. Sekali pertemuan 50k. Namun, yang lebih mendasar sebenarnya, bukan karena biaya yang mahal, melainkan keinginan yang kurang kuat. Jadilah keinginan tersebut hanya sebatas keinginan. Belum bisa dibuat status “Dream comes true”. 

 

But hey, akhir tahun 2020 ini,  di kota Klaten ada tempat belajar baru yang lumayan affordable. Namanya adalah D’Wangen. Lokasinya di Jl. Tegalgondo-Janti, Wangen, Polanharjo, Klaten. 

 

Liburan natal kemarin, aku mengajak Kakak Pertamaku kesana dengan menggunakan sepeda. Rumahku di daerah Terminal Penggung. Berangkatnya lewat Jl. Jogja-Solo. Jalanan belum begitu ramai karena kami berangkat bada subuh. Matahari sudah mulai muncul dan memancarkan kehangatan di tubuh kami. Jalanan lumayan naik turun. Kakakku berhenti beberapa kali untuk minum. Jika dilihat di GPS, kami seharusnya membutuhkan waktu dua jam untuk mencapai lokasi. Aku berfikir aku bisa menempuh jarak segitu dan perjalanannya pasti akan menyenangkan. You know what, bersama mbakku aku selalu merasa perjalanan itu menyenangkan. Dia tidak pernah emosi, dan selalu membuat lelucon ketika aku sudah mulai memanas. 

 

Setelah sampai Tegalgondo, kami belok ke kiri ke Jl. Janti-Tegalgondo. MasyaAllah. Takjub aku. Jalanannya tidak begitu ramai, dan aspalnya sangat halus. Tidak ada rusak-rusaknya. Warnanya masih hitam, seolah-olah baru saja diperbaiki. Di kanan kiri, bisa dilihat tanaman padi yang masih hijau dan juga parit yang mengalirkan air yang amat jernih. See! Air di daerah sana memang jernih! Ketika pandangan agak dijauhkan dan dinaikkan, kita akan melihat pemandangan gunung Merapi dan Merbabu yang amat jelas dan amat gagah berdiri. 

 


Aku pun berhenti. Tidak mau aku kehilangan momentum itu. Aku mengabadikan beberapa gambar daerah situ. Jam menunjukkan pukul 7. Matahari belum begitu panas sehingga sangat nyaman untuk berhenti sejenak dan menikmati alam sekitar. Setelah puas, aku melanjutkan perjalanan. Kulihat di GPS, tempat berkuda kurang setengah jam lagi. Jalanannya naik, naik, dan naik. Ngos ngosan? Pastilah. Disaat seperti itu, aku tidak perlu nggoyo. Aku hanya perlu terus mengayuh sepeda tanpa henti. Terserah mau kapan sampainya. Karena kalau aku berhenti, badanku akan terasa berat untuk mengayuh lagi.

 

Aaaaaaaand, the wait is over. Sampailah aku di D’Wangen. Parkirannya luas sekali. Terlihat belum begitu rapi karena memang masih baru mungkin. Belum banyak orang datang karena memang belum dibuka. Petugas tiketnya juga belum ada. Dengan tidak terpaksa, aku menunggunya sebentar. Di pacuan kuda, baru ada satu kuda yang keluar, dan satu orang yang berlatih. Dia bukan pengunjung biasa, tapi dia mengikuti privat berkuda dan sedang mengambil kelas. Pantesan sudah terlihat mahir. Aaaaaah, mupeng aku sama perempuan yang berlatih itu. Sambil menunggu pacuan di buka untuk umum, aku bermain sebentar ke kandang kuda. Ada banyak kuda disana. Dan setiap kuda ada nama-namanya. Aku fikir, kudanya akan gemuk-gemuk dan bersih-bersih seperti Maximus di drama korea The King Eternal Monarch. Namun, ekspekstasiku patah seketika. Haha. Kuda-kudanya jorok dan belum pada mandi. Mungkin kalau dimandikan, dan disisir bulunya, akan terlihat mengkilat dan bagus. 

 

Selfie with Helena



Kandang Kuda

Oh ya, disamping pacuan kuda ternyata ada tempat makan baru yang lagi ngehits di Klaten. Namanya adalah Ketcheh Resto. Ini konsep sangat jenius menurutku. Belum pernah kulihat sebelumnya. Jadi, restonya itu ada di atas sungai. Sungainya mengalir jernih. Tidak deras arusnya, hanya kecil. Suasannya adem karena ada di bawah pohon-pohon besar. Biasanya tempat itu sangat ramai. Berdesak-desakan penggunjung yang datang. Seolah-olah mereka lupa kalau sedang ada pandemi corona. Beruntung aku tidak pengen kesana. Beruntung pemandangan Ketcheh Resto pagi itu hanya sebatas bonus berharga dari niatku ingin bermain kuda. 

 

 



Aaaaaaaaand, once again, the wait is over. Ada kuda baru yang turun ke pacuan. Aha. Itu kuda yang aku ajak ngobrol di kandang. Namanya Helena. Aku menyapanya, dan kelihatanya dia suka padaku. Hahaha. Aku adalah penumpang pertama, dan itu adalah yang pertama pula aku naik hewan. Rasanya tidak seperti yang kubayangkan. Kufikir akan sama naik motor atau naik mobil. Tempat dudukannya bakal tidak berubah. Tappiiiiiiiii….salah ternyata dugaanku. Mengerikan sih pertama kali. Goyang-goyang begitu. Rasanya  seperti mau mabuk. Aku lupa ternyata yang aku tungganggi adalah makhluk hidup yang bergerak, bukan tungganggan benda mati. 

 

Aku pun gugup. Aku berteriak-teriak kepada pawangnya. Kudanya makin limbung. Pak Pelatih marah kepadaku. Katanya aku tidak boleh begitu. Aku diminta untuk tenang. Kuda itu amat perasa. Jika kita tidak tenang, kudanya pun ikutan tidak tenang jalannya. Bagus sekali pelajaran itu. Kuda ternyata mempunyai emosi yang amat menarik. Aku berusaha mengendalikan perasaanku, dan menjaga ketenanganya. Hebat! Helena pun kembali tenang. 

 


Sangat menyenangkan berinteraksi dengan hewan. Tanpa pikir panjang, aku membulatkan tekatku untuk ikut Lesson Berkuda. Bismillah, di Januari tahun depan insyaAllah. Rasanya aku juga ingin memiliki kuda. Taaaapiii, aku sekarang harus sadar. Bahwa mungkin  untuk memiliki itu gampang, namun untuk merawatnya susah. Perlu lahan yang luas. Perlu perawatan yang tidak mudah. Baiklah, untuk saat ini, cukup belajar berkuda dulu saja. 

 

So, skuy! Kalau ada yang ingin belajar menunggang kuda, D’Wangen rekomended dah. 

 


Setelah dua putaran, dan pengunjung sudah ramai datang, aku pulang. Aku dan kakakku memilih jalur yang berbeda. Untuk pulang, kami lewat Cokro, Ponggok, dan Karanganom. Jalannya datar dan rutenya lebih pendek. Puas rasanya! Alhamdulilah. 

Be First to Post Comment !
Posting Komentar